“Yumna.. yumna!” kata seseorang dari luar rumah suaranya terdengar benar-benar familier di telingaku, itu Fatimah? Ya, itu memang Fatimah gumamku, aku segera membuka pintu setelah mengetahui bahwa yang tadi memanggil namaku adalah teman dekatku Fatimah.
“Eh.. Fatimah masuk yuk..” ajakku kepada Fatimah yang berdiri termangu di ambang pintu saat aku membukakannya pintu rumah, “nggak deh, aku Cuma mau ajak kamu jalan jalan beli milkshake di seberang, tapi kita jemput Amira dulu pakai sepeda!” ajak Fatimah, aku tersenyum senang mendengar ajakannya karena aku juga sedang bosan, “hayo.. aku udah gak sabar nih, lagi bosen juga!” jawabku dengan pipi merona.
Akupun meminta izin kepada ayah dan bunda, dan.. yey! Aku diberi izin! Setelah diberi uang sepuluh ribu rupiah akupun segera mengajak Fatimah untuk keluar dan mengambil sepedaku di garasi, kami naik di atas sepeda masing-masing, kakiku mulai bergerak mengayuh sepeda keluar dari gerbang merah hitam rumahku. Aku menyusuri gang sempit lalu mencapai jalan raya yang lumayan ramai, “eh, kita harus hati-hati nyeberangnya, motor dan mobil yang sedang berseliweran bisa datang kapan saja, kan?” kataku mengomando Fatimah yang ada di belakangku aku bisa melihat dia menganggukan kepalanya.
Kamipun kembali mengayuh sepeda dengan perlahan menyeberangi jalanan yang mulai sepi, setelah menyeberang jalan kami berbelok ke arah rumah Amira melewati perempatan jalan. Setelah sampai di depan rumah Amira kami segera memarkirkan sepeda diantara motor motor yang ramai di depan rumah Amira, jangan bingung! karena sebenarnya orangtua Amira adalah salah satu penjual ASKES atau alat kesehatan yang akan dikirim ke rumah sakit terdekat seperti kasur pasien, kursi roda, beberapa alat medis, dan lain-lain wajar saja kalau Amira sering sendiri di rumah karena orangtuanya terkadang pergi mengurus pekerjaan keluar kota.
“Gimana? Masuk, nih?” tanya Fatimah kepadaku yang juga sedang ragu, aku hanya mengangguk, “mungkin sebaiknya kita ketuk dulu pintunya biar nggak ganggu, siapa tahu dia sedang sibuk?” usulku, Fatimah menjeltikan jari pertanda setuju.
Kamipun berjalan beriringan menuju pintu rumah Amira, “tok… tok… tok…” aku mengetuk pintu, “assalamu’alaikum Amira!, Amiraa..” ucap kami dengan suara yang cukup lantang, “wa’alaikumsalam..” kata seseorang membukakan pintu, itu kakaknya Amira, Arman, yang juga merupakan kakak kelasku dan Fatimah, “eh, kak Arman! Amiranya ada tidak?” tanya Fatimah sopan kepada kak Arman, “oh, masuk saja Amira sedang sarapan,” jawab kak Arman seraya menampakkan deretan giginya yang rapi, aku dan Fatimah segera masuk, kami melihat Amira sedang menyantap sepiring nasi goreng tomat ditemani jus jeruk dingin yang kelihatan segar banget, wajar saja karena diakan orang yang cukup berada.
“Eh, Amira maaf kami ganggu ya?” tanyaku mencoba sesopan mungkin, “ah, nggak kok, silahkan duduk aku juga sudah selesai!” pinta Amira seraya menuju wastafel untuk mencuci tangan, “ada apa memangnya?” tanya Amira, “kami ingin mengajakmu membeli milkshake naik sepeda!” jelas Fatimah, aku hanya mengangguk setuju. “wah.. pasti seru, tuh! Aku gak sabar.. yuk!” balas Amira lalu ngeloyor duduk di dekatku, “hi, hi, hi” aku hanya cekikikan melihat tingkah sahabatku yang satu ini.
Kamipun bergandeng tangan menuju keluar rumah Amira, “eh, Yumna, Fatimah, aku lupa! Kalau sepeda merahku masih di bengkel, nih, karena rantainya lepas!” kata Amira mengeluh, aku dan Fatimah benar-benar terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Amira, padahal kami sudah sang siap, aku bahkan sudah duduk di atas sepeda, “trus, gimana dong?” tanya Fatimah, napasnya terdengar berat, “kenapa kita bingung? Kan, sepedanya Fatimah punya boncengan!” ucapku baru sadar, “iyaaa! Yumna bener banget! Aku hampir lupa!” seru Amira sambil melompat ke atas boncengan sepeda Fatimah, kamipun segera mengayuh sepeda menuju kedai milkshake, yang terletak di dekat rumahku dan Fatimah.
Sesampai kami di depan kedai milkshake, “yah.. tutup!” seru kami kompak, padahal kami sangat menunggu momen ini, “gimana, nih!” seruku sambil menghela napas. “gimana kalau kita berkunjung ke rumahnya Khumaira, tadi dia nelepon aku katanya sedang bosen banget!” usul Amira, yang langsung diiringi anggukan kepala dariku dan Fatimah. “wuuussshhhh…” dua sepeda itu melaju di jalan yang kebetulan sepi.
Kami sampai di depan rumah Khumaira, “eh, ada Aisyah juga ya, disana?” seruku ketika melihat Aisyah sedang mengobrol bersama Khumaira, “masuk yuk!” ajak Fatimah yang diiringi anggukan kepalaku dan Amira, kami segera melangkahkan kaki kedalam rumah Khumaira, “hai Khumaira, Aisyah, sedang apa, tuh?” tanyaku sambil melongokkan kepalaku ke arah mereka berdua, “eh, selamat datang! Kami Cuma sedang ngomong-ngomong tentang sinetron terbaru yang tayang perdana di televisi,” ucap Khumaira sambil cengingiran, kami bertiga tersenyum simpul.
“oh ya, yuk mumpung ada kalian, kita main apa?” tanya Aisyah dengan senyuman berkibar-kibar *itu ciri khasnya. Aku, Fatimah, dan Amira mengangguk serempak, “umm.. main petak umpet yuk!” ajak Fatimah, “enggak ah! Panas nih..” tolak Khumaira, yang lain juga sama, akhirnya Fatimah hanya bisa mengeluh kesal.
“masak yuuukk!” ajak Aisyah menunjukan senyuman khasnya, “setuju.. banget..” sambar Fatimah yang jago makan, yang lain juga setuju. Akhirnya kami semua pergi ke dapur Khumaira setelah minta izin kepada bibi Sulhiati, ibunya Khumaira.
“Masak apaan nih?” tanyaku bingung melihat banyak sekali bahan mentah di lemari es atau kulkas Khumaira, “bikin kornet yuk! Aku baru saja beli di kios satu kemasan kemarin.” Ucap Khumaira sambil menunjuk sebungkus kornet di kulkas dengan tangan kanannya, (wah walaupun mentah tapi baunya enak banget…). “aku yang goreng ya,” pinta Aisyah sambil meronta ronta tak jelas seperti orang gila, hi.. hi.. hi.. “iya, Aisyah yang pinter masaaaaaak…” seru kami semua kompak tepat di dekat telinga Aisyah, sehingga tangannya tanpa sadar langsung menutupi kedua lubang telinganya, “ya, udah cepetan mana bungkusan kornetnya!” ujar Aisyah sok kesal, “eh, Aisyah jangan ngambek dong..” pinta Khumaira, “ha.. ha.. ha.. kena tipu aku nggak ngambek kok! Cuma bercanda doang!” sorak Aisyah sambil tertawa terbahak-bahak hingga suaranya menjadi serak-serak, “rasain tuh!” kata Amira senang, “eh, sudah deh, jangan berdebat terus, gak mau makan nih?” tanyaku menengahi perdebatan mereka yang mulai memanas, bisa-bisa rumahnya Khumaira terbakar lagi karena perdebatan mereka yang tak habis-habis sampai ke puncak gunung, hi.. hi.. hi..