Aku adalah orang yang biasa-biasa saja dan lebih biasa diantara teman-temanku. Namaku Alya. Aku hidup sangat sederhana. Walau begitu, aku bersyukur bisa makan dan minum juga sekolah. Tapi, aku hidup tanpa teman. Teman-temanku lebih suka berteman dengan orang yang kehidupannya sederajat (kaya) dengan mereka. Aku sangat sering diejek oleh mereka.
Suatu hari, saat istirahat ke-dua aku berjalan untuk pergi sekedar jalan-jalan. Tiba-tiba, aku diteriaki. “Itu dia! Ayo lemparkan senjata kalian!!!!” tak salah lagi. Itu adalah suara Tyas. Dia yang selalu membuat orang-orang untuk membenciku. Lalu, semua anak melemparkan benda-benda yang tak asing bagiku. Itu adalah telur, tepung, dan sampah. Mereka melemparkan itu berkali-kali. Aku hanya bisa meratapi nasibku sembari menangis sesenggukan. “Survive! Survive!” kataku dalam hati.
“Berhenti!! Hentikan kelakuan kalian!” itu adalah suara Bu Dewi. Semua anak langsung berlarian menuju kelas masing-masing. Bu Dewi langsung mendekatiku.
“Kamu nggak apa-apa?” “Tidak apa-apa, bu” jawabku. Bu Dewi akhirnya, menyuruhku untuk pulang dan membersihkan diri dan seragam yang aku kenakan yang penuh dengan telur dan tepung yang menempel. Aku pulang dengan keadaan kotor. Orang-orang melihatku dengan perasaan iba. Ada juga yang berkata bahwa aku orang gila. Sungguh menyakitkan hatiku. Rasanya seperti tertusuk pisau tajam.
“Assalamualaikum. Ibu!!” Aku langsung menangis dan berlutut di hadapan ibu. “Ibu sudah dengar semuanya. Maafkan ibu, ya” aku langsung membersihkan diriku.
Keesokan paginya… “Anak-anak hari ini kita kedatangan murid baru. Ayo perkenalkan dirimu nak!” kata Bu Dewi. “Assalamualaikum, namaku Ayra Rahesya Putri Raqueila. Panggil saja Ayra. Salam kenal” anak baru itu langsung duduk di kursi yang kosong dan lebih tepatnya di sebelahku. Aku melihatnya. Tampangnya membuatku semakin yakin bahwa dia orang yang berbeda denganku maksudku kaya.
Kulit tangannya yang putih semakin indah dilengkapi dengan jam tangan pink cerah, cincin emas, gelang yang bertuliskan ARPR, dan kutek merah cerah. Mungkin ARPR adalah singkatan namanya. Rambutnya lurus sekali dan hitam dilengkapi dengan bando merah dan anting-anting di telinganya.
“Hai! Siapa namamu?” tanyanya. “Namaku Alya” pelajaran kembali berlangsung. Kami belajar biologi tentang ekosistem.
“Baiklah, ibu akan memberi kalian soal evaluasi. Yang nilainya paling bagus akan ibu beri hadiah setelah ujian besok” kata Bu Dewi. Aku paling bersemangat. Memang biasanya aku yang juara pertama, juara kedua Tyas, juara ketiga biasanya tidak menentu. Tapi, Tyas adalah anak yang paling menyaingi nilaiku. Disamping dia benci karena, aku anak yang tidak sederajat dengannya dia juga benci karena, nilainya yang selalu lebih tinggi darinya.
Soal evaluasi pun dimulai. Kami diberi waktu 20 menit untuk mengerjakan soal evaluasi. Setelah mengerjakan soal, Bu Dewi mengoreksi hasilnya. “Oya, soal ini nilainya akan saya masukkan ke daftar nilai. Jadi, ibu harap nilai kalian bagus-bagus dan yang nilainya jelek itu sudah risiko kalian karena, jarang belajar” ucap Bu Dewi.
Tak lama kemudian, hasil evaluasi kami dibagikan. “Baik. Ibu akan mengambil nilai 5 besar. Satu, Alya Kaylila Gayatri dengan nilai 100. Dua, Tysana Rahma Azhari dengan nilai 98. Tiga, Chloe Rahisma Putri dengan nilai 96” “Empat, Rahmawati Fitria dengan nilai 90. Kelima, Ayra Rahesya Putri Raqueila dengan nilai 88” semua anak yang dipanggil melonjak kegirangan kecuali, Tyas. Dia masih marah denganku.
Krinngg…. Krinngg…. bel istirahat berbunyi nyaring. Aku pergi ke taman. Tiba-tiba, ada seseorang duduk di sebelahku. Itu adalah Ayra. Aku sedikit geser. “Mengapa kamu menjauhiku?” tanyanya. “Itu karena, kita berbeda. Kau kaya dan aku sederhana. Aku takut kalau kau nanti akan membenciku seperti halnya teman-temanku” ucapku. “Aku takkan seperti itu” “Apa buktinya?” Aku berteriak.
“Hai Ayra! Ikut aku yuk!” Tyas lagi dan lagi. Pasti dia mau membuat Ayra supaya, menjauhiku. Sebal…! “Maaf, tapi aku sudah ada janji dengannya. Maaf!” Ayra menunjukku. “Kenapa tidak? Bersamaku lebih asyik dan seru. Kita akan bermain dan aku akan mentraktir kamu makanan sepuasnya!” rayu Tyas lagi. “Tapi, aku sudah janji. Janjiku harus ditepati” tegasnya. Dengan sebal dia pergi.
“Mengapa kau tak bersamanya saja?! Aku yakin sebentar lagi kau akan tergoda oleh rayuannya itu!” ketusku. “Alya, setiap orang itu sama. Mau yang kaya, miskin, tua, ataupun muda. Yang membedakan hanya sifat dan hati nurani yang dimiliki. Aku tahu temanmu, Tyas ingin menjauhkan diriku darimu. Padahal, aku tahu kamu itu orangnya baik hati, sabar, dan bertahan. Aku tahu kamu itu hanya ingin semua orang mengerti perasaanmu. Kamu hanya ingin berteman supaya, makin banyak yang mengenal dan menyayangimu. Aku ingin bersahabat dengan kamu” jelas Ayra. Aku langsung memeluk Ayra. “Terima kasih kamu udah mau ngertiin perasaanku. Maaf, tadi aku sempat marah dan membentakmu. Fine, mulai sekarang kita sahabatan” “Iya” katanya.
Sejak saat itu aku bersahabat dengan Ayra. Dan semakin lama teman-temanku banyak yang berubah. Mereka meminta maaf kepadaku atas kesalahan mereka selama ini terhadapku. Teman-temanku pun semakin banyak. Ini semua berkat Ayra. Terima kasih Ayra!!!