Ini adalah pengalamanku sewaktu SD. Walaupun sudah berlalu bertahun-tahun lamanya, tapi ingatan itu masih membekas di kepalaku. Aku Alena Mauliya Hamada. Semasa kecil teman-teman memanggilku dengan nama Maul. Terdengar seperti nama anak laki-laki, yah karena tingkahku waktu SD memang seperti anak laki-laki alias tomboi. Aku tinggal bersama keluargaku di desa yang jauh dari kota.
Waktu itu, berita mengenai penculikan anak marak diperbincangkan dimasyarakat hingga sampai ditelinga bocah bau kencur seperti kami. Bahkan cerita itu dibuat sedikit berlebih-lebihan membuat kami bergidik ngeri. Bagaimana tidak, mereka bercerita mengenai penculik yang suka menculik anak-anak yang nakal, bandel, cengeng dan pelit berbagi. Mereka akan diikat lalu dipenggal atau digantung di jembatan sebagai sesembahan atau apalah, membuat kami benar-benar takut dan tidak berani pulang sendiri atau lewat di jalan raya. Begitu juga denganku, tidak berani pulang sendirian.
Jarak dari rumahku ke sekolah lumayan jauh. Tapi saat pulang sekolah, kami beramai-ramai karena sebagian temanku satu kampung denganku. Jadi kami tidak terlalu takut untuk pulang. Aku pun juga merasa aman.
Saat itu, aku pikir penculikan anak hanya di waktu-waktu pulang sekolah. Ternyata aku sadar, itu bisa terjadi kapan pun saat mereka punya kesempatan. Kuakui aku memang sedikit polos waktu kecil dan mau mengikuti orang yang memang tampan baik di mataku. Dan waktu itu pun terjadi, aku tanpa sadar mengikuti orang yang memberikanku permen yang banyak.
“Hei boy, mau permen?” Tanya yang kuingat seorang laki-laki jangkung. Aku mengangguk. “Kalau begitu ikut kakak yah?” Aku lagi-lagi mengangguk.
Waktu itu, aku masih belum merasakan takut. Aku malah menghabiskan semua permen yang orang itu berikan sewaktu dia membawaku entah kemana. Jalan yang asing, melewati pepohonan dan rumah warga yang tampak sepi. Aku celingak-celinguk dengan dahi mengerut.
“Kak, kita mau ke mana?” Tanyaku kala itu. “Rumahku, tidak jauh kok. Di sana ada banyak permen yang bisa kamu makan”
Bodohnya aku masih mengikutinya hingga sampai di rumahnya. Dia mendorongku masuk dan mengunci pintu, kemudian berlalu masuk sambil menelepon seseorang.
Kulirik jendela yang tanpa terbuka, aku bersyukur otakku masih bisa jalan dengan keluar melewati jendela dan kabur sebelum orang itu sadar. Jika kalian pikir aku anak yang mudah tersesat, kalian salah. Jiwaku dulu adalah jiwa petualang. Sekali lewati jalan, aku bisa kembali pulang. Aku juga anak yang tidak mudah cengeng.
Aku berlari melewati semak, pohon, dan rumah warga yang tadi kulewati. Kuingat ada seorang pria paruh baya yang memanggilku.
“Acok, kamu dari mana? Kok sendirian. Mama kamu di mana?” (Acok biasanya artinya bocah laki-laki). “Di lumah. Tadi ada kakak yang kasih aku pelmen, lalu bawa aku kesini” jawabanku membuat orang itu terkejut. Dia segera mengantarku pulang. Tentu dengan arahanku. Aku bersyukur punya ingatan yang bagus mengenai jalan pulang. Waktu itu aku masih bingung kenapa orang itu terkejut?
Sesampainya di rumah, aku melihat beberapa orang yang kutau mereka adalah tetanggaku dan juga mama sama bapak yang terlihat panik. Begitu melihatku, mereka tampak terkejut dan memelukku erat hingga sesak nafas.
“Oh anakku, kamu dari mana saja nak? Kami khawatir” “Tadi ada kakak laki-laki yang kasih pelmen. Lalu bawa aku ke lumahnya” jawabku membuat mereka terkejut. “Lain kali yah nak, jangan ikuti orang asing. Biar dikasih makanan atau permen, jangan ikuti” nasihat bapakku. Aku mengangguk.
“Syukurlah, anakmu sudah pulang. Bagaimana dengan penelepon tadi?” “Laporan segera ke polisi. Orang itu harus ditangkap” Ujar tetanggaku. Waktu itu aku masih bingung.
“Makasih yah pak udah menolong anak saya” kata bapakku ke pria yang tadi mengantarkanku pulang. “Anda tidak perlu berterimakasih. Justru anak bapak hebat bisa kabur sendiri dari orang itu. Jika saja anak bapak tidak kabur, mungkin dia sudah benar-benar diculik” dan saat itu juga aku tersadar, ternyata aku hampir saja diculik.
Itu adalah salah satu pengalaman yang tidak pernah kulupakan. Setelah kutanya bapakku mengenai hal itu lebih lanjut. Ternyata saat aku hilang, seseorang meneleponnya dan meminta tebusan untuk membebaskanku. Tentu keluargaku panik, ditambah uang tebusan yang tidak main-main, alias luar biasa banyaknya. Para tetanggaku juga panik setelah mendengar berita itu. Syukurlah aku pulang sebelum keluargaku mengirimkan uang tebusan.
Sampai sekarang aku masih tidak menyangka hampir diculik. Tapi syukurlah, aku selamat dan masih hidup sampai sekarang, dan kejadian itu tidak mempengaruhi psikisku. Setelah kejadian itu pun, aku tidak pernah mengikuti orang asing lagi.
End