Merasa paling pintar memang bukanlah hal yang baik untuk dilakukan, walaupun biasanya tanpa sadar kita lakukan. Hal inilah yang pernah saya alami saat masih di sekolah Dasar, tepatnya di kelas 6 SD. Hal itu datang bukan tanpa sebab, karena saya selalu mendapatkan peringkat 1 di kelas. Tapi tanpa kusadari ada temanku yang lebih pintar dariku, Dhana namanya. Tubuhnya tegap, gagah dan tinggi menjulang. Dia memang di kelas sebelumnya selalu dibawahku tapi entah kenapa pada kelas 6 itu dia begitu pintar melebihi diriku.
Hari itu merupakan hari pertamaku di kelas 6, kata teman-temanku wali kelas 6 galak, jahat dan tegas. Aku sedikit takut pada saat itu.
“Tau tidak?, Wali kelas 6 itu galak loo, kakakku aja pernah dihukum berdiri di lapangan” kata salah satu temanku. “Masa sih, tapi menurutku, kalo nurut pasti tidak galak seperti itu “ jawabku “Ya Semoga begitu” sahut temanku. Ternyata benar perkataanku, beliau tidak begitu galak galak amat, malahan aku suka cara mengajarnya.
Hari demi hari kulalui seperti biasa tanpa adanya masalah serius yang kurasakan. Karena pada saat itu, saya bisa dibilang sangat rajin dan berambisi untuk mendapatkan peringkat 1 lagi.
Tak terasa UTS pun datang, saya menghadapi ulangan tersebut dengan percaya diri dan hasilnya pun memuaskan. Saya mendapatkan nilai yang bisa dibilang sangat bagus. Hal inilah yang membuat rasa itu muncul dengan sendirinya, ditambah lagi aku sering dipuji teman dan guru guruku.
“kamu kok bisa pintar sekali, apakah kamu sering belajar dan makan makanan bergizi?” tanya Fajar, teman sebangkuku “Pasti kamu selalu belajar dengan giat Siang malam ya?” tambah Dhana. “Ah, nggak gitu juga mungkin itu memang kemampuanku, Hehehe” jawabku.
Dari situ, kesombonganku mulai muncul, Aku pun menjadi agak malas belajar dan merasa bahwa aku sudah pintar. ditambah lagi saat itu aku cukup dekat dengan salah satu teman perempuanku. Hari hariku kuhabiskan untuk mengobrol melalui WhatsApp dengannya. Hal itu membuat jam belajarku menurun, yang biasanya setiap malam kuhabiskan untuk belajar pelajaran besok, sekarang untuk hal yang tidak penting ini. Begitu juga nilaiku pada UAS yang ikut berubah karena hal hal yang kulakukan pada saat itu. untungnya nilaiku tidak turun terlalu banyak. Walaupun begitu nilai itu bisa dibilang lebih rendah daripada Dhana.
Pada waktu itu aku belum menyadarinya, karena Dhana tidak mau memperlihatkan nilainya padaku dan juga peringkat kelas tidak diumumkan. Aku tetap melanjutkan kebiasaan burukku. Setelah UAS yang melelahkan, sekolahku mengadakan liburan ke Taman Safari di Prigen. Liburan itu sekaligus sebagai tanda awal perjuangan di kelas 6.
Semester 2 pun datang, disinilah waktunya siswa kelas 6 untuk menentukan masa depannya. Tapi aku malah santai santai dan merasa bahwa aku sudah bisa, aku paling pintar diantara temanku. Padahal setelah dipikir pikir aku masih kalah dengan Dhana. Rasa itu dipicu oleh kata kata guruku yang sampai saat masih saya ingat. “Ini kok bagus saja yang jawab, lainnya mana? Apakah hanya pajangan ataukah hanya untuk melengkapi kelas ini?” Kata itu dikatakan guruku karena aku selalu aktif menjawab pertanyaan guruku, sedangkan teman temanku hanya diam termasuk Dhana. Sampai sekarang aku masih heran kenapa pada saat itu Dhana hanya diam.
Setiap hari aku hanya bercanda dan tidak serius, padahal disinilah nasih ku dipertaruhkan. Pada 1 bulan sebelum Ulangan aku agak tidak bersemangat sekolah karena masalah sepele. Masalah itu membuatku terpuruk dan malas sekolah. Tapi untungnya tidak lama, aku kembali seperti sediakala setelah sadar bahwa masa depanku lebih penting. Walaupun begitu aku tetap saja tidak bergegas untuk segera belajar dengat giat karena rasa itu belum hilang, malahan semakin besar.
Bulan dimana banyak ulangan pun datang. Disitu aku kaget dengan materi yang banyak dan belum aku pahami sama sekali. Aku hanya bisa pasrah, dan menghadapi ulangan demi ulangan pada saat itu. Untungnya keberuntungan masih bersamaku, Ulangan yang baru berjalan 1 minggu pun ditunda akibat Virus Corona masuk ke Indonesia. Sekolah diliburkan sementara selama 2 minggu. Saya menghabiskan liburan tersebut dengan bermain game saja tanpa mempedulikan Ulangan-Ulangan tersebut, padahal jika liburan itu dimanfaatkan untuk belajar mungkin aku bisa memahami semua materi kelas 6.
Karena Virus Corona semakin meyebar luas di Indonesia sekolah tetap libur. Tetapi saya tetap diberikan soal ulangan untuk dikerjakan di rumah masing-masing. Saat itu saya benar benar kesulitan untuk mengerjakannya, karena tidak ada kakak ataupun saudara yang membantu. Ditambah lagi aku juga disuruh buat vidio untuk ujian praktek. Aku pun mengerjakan sebisaku dan tentu saja tidak maksimal. Saat itu juga aku kesusahan untuk mencari bantuan dari teman-temanku, mungkin mereka malas dengan aku.
Satu bulan pun sudah kulalui, sekarang waktunya pembagian nilai rapot. Rapot itu diambil oleh ayahku di sekolah, aku hanya menunggu di rumah dan berharap mendapatkan nilai yang maksimal. Setelah saya lihat rapot tersebut, ternyata nilaiku turun drastis dan aku juga berada di peringkat 2 dibawah Dhana. Disitu saya sedih sekali, hatiku seperti disayat sayat. Aku juga dimarahi habis habisan oleh ibuku karena nilaiku turun drastis.
Saat itu adalah hari terburuk dalam hidupku. Tetapi aku bersyukur karena mendapatkan pelajaran dari hal tersebut. Aku menyesal telah meremehkan teman-temanku dan sadar bahwa diatas langit masih ada langit. Kita tidak boleh merasa di atas karena di atas kita masih ada yang lebih baik. Mungkin aku bisa mendapatkan nilai yang lebih baik jika saja aku tidak sombong dan terus fokus dengan diriku sendiri dan tidak menghiraukan perkataan orang.