#cerita ini nggak fantasi tapi tetap fiksi kok: Mat Koboi, begitu orang-orang memanggilnya, itu sekarang. Kemarin, ia dipanggil Mamat Bin Surahmat.
Dia ini seorang perantau dari negeri seberang, entah seberang mana hanya dia dan tuhan yang tahu, pokoknya negeri seberang aja.
Jauh-jauh merantau ke negeri ini niatnya cuma satu, kepengin jadi orang kaya, katanya. Bermodalkan apa!? NIAT...! Alias cuma modal Bonek, bondo nekad! Atau tekad!
Tentulah modal niat saja belum cukup, maka untuk menambahnya, setidak-tidaknya untuk bertahan hidup terlebih dahulu, tanpa rasa sungkan dan segan, Mamat Bin Surahmat mau melakukan apa saja, maksudnya bekerja apa saja, alias serabutan, alias freelancer.
Sehari-harinya, Mamat Bin Surahmat, terkadang bekerja sebagai seorang tukang bersih-bersih jalan dan selokan, pekerjaan tersebut dibayar secara tunai dan harian oleh Sheriff Bertnjie; bisa juga sebagai pramusaji di cafe dan bar-nya Mr, Kent, dibayar per-pekan; atau sesekali ia menjadi seorang pramuniaga di toko kelontongnya Nyonya Tince, dibayar pakai sebakul hot dog dan sedikit senyuman khas ala nenek jablay. Apa saja ia kerjakan yang penting bisa bertahan hidup dan menabung, kaya sih masih diangan-angan!
Sampai pada satu momen, di siang yang terik, saat Mamat Bin Surahmat lagi iseng duduk di teras depan kantor Sheriff Bertnjie, yang oleh penduduk lebih sering dipanggil Berri Buntel, karena perawakannya memang Buntel pas seperti karung beras berukuran berat lima puluh kilo. Pada saat itu dengan tergopoh-gopoh si Sheriff Buntel berjalan ke arah papan pengumuman, dengan sedikit mendecis dan berkali menggeleng, terlihat tangannya gesit menempelkan beberapa carik kertas di papan pengumuman tersebut, dari bibirnya yang masih dalam pemulihan itu, yang katanya sih karena ulah seekor lebah beracun, tapi menurut penuturan satu dua warga sempat melihat, kalau kemarin malam ia kedapatan plesiran dari toko kelontongnya Nyonya Tince; jadi itu karena ulah lebah beracun apa nenek beracun, Boss!? Dari bibir yang kemarin dowernya nak ujubilah minjalik itu satu dua kali terdengar gerutuan serupa sumpah serapah dengan gaya khas negeri kincir angin, itu negeri kakek moyangnya.
"Hot Verdome kenapa itu Billy Nde Kill dan gerombolannya selalu bikin susah kompeni!! Kapan itu orang-orang pada mampus!?Hah!!"
Sambil mengunyah sisa hot dog dua hari yang lalu, untungnya belum jamuran, kadas dan kurap sih sudah, Mamat Bin Surahmat pun menoleh, kemudian bertanya: Billy Nde Kill sopo Wan!?
"What's!? Kowe orang apa maksud Mamat Bin Surahmat!?" Si Sheriff Buntel spontan mendengus dan mendelik, sepertinya ia tak paham dengan bahasa yang diucapkan oleh si Mamat Bin Surahmat, bahasa kasarnya dia bingung, tapi tak lupa ia berkacak pinggang.
"Maksud saya Billy Nde Kill itu siapa!?" Ralat Mamat Bin Surahmat sambil mengunyah hot dog yang sudah kadasan.
Sheriff Buntel mengangguk paham. "Dia itu bandit! Bandit tengik! Bandit bau! Bandit lancung! Bandit..." Si Sheriff Buntel tampak berpikir keras. "Si Kribo tompel sialan!!!"
Gantian Mamat Bin Surahmat yang angguk-angguk kepala. Sementara si Sheriff Buntel mendengus kasar, dengusannya itu sudah gak ada beda dengan kerbau di sawah. Tapi tak berselang lama, Berri si Sheriff Buntel terlihat tersenyum sumringah, sepertinya sebuah ide brilian melintas di kepalanya, melintas cepat seperti Komeng, eh, salah deng seperti komet. Si Sheriff Buntel menoleh ke Mamat Bin Surahmat. "Oh iya Mamat bukankah you pernah ngomong ke Ike kalau you punya dream itu pengen jadi orka!?" Si Sheriff Buntel menuding-nudingkan telunjuk.
"Sepertinya gak bakal kesampaian Meneer!"keluh Mamat Bin Surahmat. Si Sheriff Buntel mendelik heran. "Emangnya kenapa!?"
Mamat Bin Surahmat melayangkan pandangnya ke angkasa. Si Sheriff Buntel pun ikutan. "Di angkasa kamu ada apa!?"
"Ada awan, ada langit, ada..." Ucap Mamat Bin Surahmat. "Maksud saya kamu sedang apa kenapa melihat ke angkasa!!" Seru si Sheriff Buntel menghardik dengan bahasa yang blepotan.
"Nyonya Tince ogah mempekerjakan saya lagi di toko kelontongnya, Mener." Rutuk Mamat Bin Surahmat. Seulas senyum culas terpatri di ujung bibir si Sheriff Buntel, meski kecil. Berlagak penasaran si Sheriff Buntel pun bertanya:"Emangnya kenapa dia tidak mau mempekerjakan you lagi!?"
"Karena saya selalu menolak kalau disuruh bebersih di kamarnya!" Sahut Mamat Bin Surahmat.
Sekonyong-sekonyong pandang mata si Sheriff Buntel menerawang jauh ke satu senja yang kelabu, di sebuah kamar yang awalnya bisu, tapi seketika menjadi riuh oleh karena pekik jerit si Oma genit.
Dengan begitu gegap gempitanya si Sheriff Buntel berlari ke asal suara tersebut, sambil menodongkan pistol revolvernya tentu saja, ia pun masuk ke dalam kamar yang gelap nan menggulita tersebut.
Dan lagi dengan sekonyong-sekonyong dari arah belakang, pintu menutup dengan sendirinya, seperti ada remote control yang mengaturnya, padahal ini jaman belum canggih lho. Begitupun tak berselang sedetik, seketika ragam cahaya berpendaran di ruangan tersebut, dengan ragam warna-warni tentu saja, apa iya si Oma genit ini punya pintu kemana saja, padahal si Thomas Alva Edison aja belum direncanakan sama kakek moyangnya;
Di atas ranjang terdapatlah seorang anak dara yang menuding dengan jari telunjuknya yang lentik, memanggil, membujuk serta merayu (--anak dara disini adalah versinya si Sheriff Buntel lho...!)
Bagai kerbau yang dicokok hidungnya si Sheriff Buntel pun berjalan ke arah ranjang berukuran raksasa tersebut.
"Mener... Mener... Mener...!"Mamat
Bin Surahmat berteriak memanggil. Lagak si Sheriff Buntel berkali-kali menelan ludah bersama keringat dingin yang tampak menjulur turun dari pelipisnya, yang perlahan-lahan tangannya terlihat menggapai-gapai tubuhnya sendiri, desah dan lenguhan mulai tampak samar terdengar (--jangan bilang kalau si raksasa dower ini lagi nepsong-an...!)
Lalu dengan seenak udelnya Mamat Bin Surahmat menjentik bibir si raksasa dower tersebut. Si Sheriff Buntel kaget alang kepalang plus mengaduh kesaktian, eh, salah deng kesakitan. "Aduh biyung..."
"Lagi mikrin apaan!!?" Mamat Bin Surahmat berlagak polos, dengan sorot mata yang ia lirikkan ke bagian mikroponnya si raksasa buntel bin dower.
"Billy Nde Kill...!" Si Sheriff Buntel menghardik galak. Mamat Bin Surahmat mengangguk dengan senyum khas. "Billy Nde Kill binti Tince Sutince toh..."
Si Sheriff Buntel kontan gelapan, melirik kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. "Apa you mau saya bikin inalillahi ah... Jangan macam-macam!" Si Sheriff Buntel menodongkan mikroponnya eh salah deng pistol revolvernya. Itu yang ia tarik dengan begitu kepayahannya. Mamat Bin Surahmat menggeleng geli. "Balik ke laptop!"tuding Si Sheriff Buntel dengan revolvernya. "Kamu punya dream pengen jadi orang kaya toh,"
Mamat Bin Surahmat mengangguk mengiyakan. "Sepertinya you punya God mendengar you punya doa," kata si Sheriff Buntel. Mamat Bin Surahmat terlihat bingung.
"Kamu bisa baca tulis bukan!?" Si Sheriff Buntel menodongkan moncong revolvernya ke arah papan pengumuman.
Mamat Bin Surahmat menyahut: bisa, tapi bahasa sansekerta,"
"What's!!? Bahasa kera!!!? You mau bilang you orang dari kera!? Maksud you keluarga kera! Mamat, Hot Verdome...!" Si Sheriff Buntel ngakak geli.
"Bahasa sansekerta, tuan Mener...!" Seru Mamat Bin Surahmat sewot terlihat dari moncongnya yang maju sekian senti. "Saya cuma bercanda hey Mamat. Jangan diambil ampela, oke you..." Sambut si Sheriff Buntel prengas-prengos. "Ini, ini jalannya Mamat. Kamu bakal jadi orang kaya. You lihat ini tulisan angka berapa banyak zero-nya, hah. Dengan ini you bisa jadi orang kaya. You understand!"
Sekonyong-sekonyong Mamat Bin Surahmat bangkit berdiri. "Stand, Mener!"
"What's," si Sheriff Buntel mendelik bingung. "Stand, berdiri." Mamat Bin Surahmat tegak berdiri.
"Baca!" Perintah si Sheriff Buntel. Mamat Bin Surahmat melotot kaget. Si Sheriff Buntel mengangguk-angguk girang. "Nah, Mamat... Dengan cara ini you bisa jadi orang kaya,"
"Maksud Mener saya nangkap ini para begundal busuk!?" Mamat Bin Surahmat menuding ke papan pengumuman. Si Sheriff Buntel mengangguk mengiyakan. "Pakai apa!?" Mamat Bin Surahmat kebingungan. "Tentu saja pakai baju dan celana, Mamat! Apa iya you mau berbugil-bugil ria,hah." Si Sheriff Buntel ngakak. "Tidak pantas!"
"Emang situ pantas!?" Mamat Bin Surahmat sewot Alang kepalang. "Setidaknya saya ini punya tinggi badan masih mendukung sementara kalau you... You sama boneka Chucky sudah tidak ada bedanya. Seperti pinang dibelah Kampak!" Makin-makin aja nih si Sheriff Buntel bin dower. Mamat Bin Surahmat menggeleng rusuh.
"Bukankah you sudah saya ajarkan main tembak-tembak..." Ucap si Sheriff Buntel tanpa rasa bersalah.
"Main tembak-tembak, main tembak-tembak... Tembak-tembakannya pakai pistol air juga."Keluh Mamat Bin Surahmat.
"Setidaknya saya sudah kasih you orang strategi tempur. Dasar you orang tidak tahu terima kasih, hah!" Si Sheriff Buntel berlagak galak.
"Iya jangan kebangetan juga dong lawannya. Masak yang kayak beginian, bisa mampus saya!!" Kesal Mamat Bin Surahmat
"Kamu you jangan lihat ini muka-muka, ini semua muka jeleknya nak ujubilah minjalik, tapi lihat ini hadiah. Selain uang berpeti-peti you orang juga bakal dapet itu anak gadisnya tuan gubernur, paham." Tuding Si Sheriff Buntel.
"Kenapa bukan tuan Mener saja," Gerung Mamat Bin Surahmat. "Karena saya mau bikin you orang jadi kaya, beleguk! Saya jatuh iba sama you punya orang, setan!" Seru si Sheriff Buntel pongah.
Mamat Bin Surahmat sepertinya tersadar. "Coba you punya pikir, kapan lagi you bisa kaya, ini satu-satunya cara, apa you punya pikir jadi jongos bisa bikin you jadi kaya, hah!" Desak si Sheriff Buntel.
Mamat Bin Surahmat mengangguk-anggukkan kepala. "Ini waktu you, Mamat." Si Sheriff Buntel menepuk pundak Mamat Bin Surahmat. "Sekarang atau tidak sama sekali. Ini you punya momentum."
Mamat Bin Surahmat kian mengangguk tegas. Si Sheriff Buntel sumringah Alang kepalang. "Tapi saya gak punya pistol, Mener." Keluh Mamat Bin Surahmat. Si Sheriff Buntel mengangguk-angguk. Mamat Bin Surahmat menerawang.
"Sekarang you punya..." Sekonyong-sekonyong si Sheriff Buntel mengasurkan dia punya senjata. Mamat Bin Surahmat kaget.
"Ambil,"ucap si Sheriff Buntel. Mamat Bin Surahmat kebingungan. Tak ayal itu pistol langsung diserahkan ke tangan Mamat Bin Surahmat. Mamat Bin Surahmat hendak menolak.
"Ini waktunya you jadi orang kaya. Saya dipihak you!" Tuding si Sheriff Buntel tegas. Sekonyong-sekonyong Mamat Bin Surahmat mencengkeramkan tangannya ke pistol tersebut. Si Sheriff Buntel pun mengangguk tegas. Dan sebentar kemudian...
"You juga perlu ini," kata si Sheriff Buntel menarik emblem bintang yang sekian lama telah tersemat di dada kirinya.
Emblem bintang tersebut tak lain adalah tanda pengenal diri, dengan emblem tersebut ia ditakuti, disegani sekaligus dihormati; Emblem bintang tersebut terbuat dari bahan kuningan yang bercampur dengan tembaga, itu jadi kebangganya selama ini.
"Maksud Mener..." Mamat Bin Surahmat bingung kelimpungan.
"Ini surat jalan you. Kalau you tidak punya ini, jangan harap you bisa dapat itu anak tuan gubernur." Kata si Sheriff Buntel. "Hanya untuk sementara sampai si kompolotan begundal sialan itu bisa you ringkus, paham!"
Mamat Bin Surahmat mengangguk mengiyakan. "Pake dan segera you ringkus itu si begundal sialan." Seru si Sheriff Buntel tegas.
Mamat Bin Surahmat pun menempelkan tanda bintang tersebut ke dada kirinya. Si Sheriff Buntel mengangguk takjim. Mamat Bin Surahmat mengacungkan dada ke depan. "Sebentar," ucap si Sheriff Buntel melonggarkan dan menarik ikat pinggangnya. Kemudian ikat pinggang yang berisi beberapa butir peluru dan sekaligus sarung pistol tersebut ia ikatkan ke pinggang Mamat Bin Surahmat. "Mulai sekarang you punya adalah Mat Koboi!" Kata si Sheriff Buntel memindahkan topi koboi di kepalanya ke kepala Mamat Bin Surahmat. Mamat Bin Surahmat mengangguk tegas dan mengulang omongan tersebut. "Sekarang nama saya adalah Mat Koboi!"
"Kejar dan ringkus itu begundal bau!" Perintah si Sheriff Buntel menepuk pundak Mat Koboi. "Siap!" Seru Mat Koboi berlagak militer.
"Kerjakan," perintah si Sheriff Buntel dengan ketegasan yang sangat berwibawa, lagaknya pas kayak pejabat kelurahan kala memimpin upacara tujuh belasan di kampungnya si Mat Koboi.
Mat Koboi balik kanan, tentunya setelah memberi hormat sebelumnya. Mat Koboi pun berjalan dengan setengah berlari.
Tapi masih separuh ia berlari, si Sheriff Buntel kembali memanggil, dengan siulan khasnya. Mat Koboi berhenti dan kembali balik kanan.
Si Sheriff Buntel menuding ke arah kiri, ke tempat dimana terdapat beberapa ekor kuda yang tengah memamah biak rumput dengan begitu riang gembiranya.
"Ambil yang seukuran badan, Mat Koboi," perintah kedua si Sheriff Buntel.
Mat Koboi mengangguk.
Sebentar kemudian Mat Koboi bergerak mencari-cari tapi tak menemukan soalnya semua kuda-kuda yang ada ukuran jauh lebih tinggi dari ukuran badannya. Sampai pada suatu ketika matanya tertuju ke satu pojok disitu ia mendapati. Mat Koboi mendesah kesal, ia lirik si Sheriff Buntel, si Sheriff Buntel bin dower berlagak dengan kepala yang terangguk-angguk sambil telunjuk ia tuding-tudingkan bersama seulas senyuman. Seekor kuda yang berbeda dari kuda-kuda lainnya.
Bukan cuma ukuran saja yang berbeda tapi secara keseluruhan ia memang berbeda. Benar-benar berbeda, sangat-sangat berbeda, mulai dari: kulit, bulu-bulu di seluruh permukaan kepala dan ekor, kaki, gigi, bahkan tali kekang pun berbeda.Iya, gimana nggak berbeda, wong itu, Kuda Lumping.
"Dasar Prengus! Becanda gak kira-kira!" Seru Mat Koboi menarik kuda tersebut dari tambatannya.
"Nah, Mamat sekarang you resmi jadi seorang koboi ya..." Si Sheriff Buntel mesem-mesem lucu. Mat Koboi mengulang kalimat tersebut dengan sengaja meleotkan bibirnya. Si Sheriff Buntel terkikik geli. Lalu memberi isyarat tangan memerintahkan Mat Koboi untuk segera angkat kaki. "Selamat berjuang Mat Koboi! Itu kuda jangan sampai mati ya soalnya itu inventaris kantor, paham! Aloha...!" Seru si Sheriff Berri Buntel.
"Inventaris pala loe bau menyan! Dasar wedus gembel!" Mat Koboi berseru sambil balik kanan. Si Kuda Lumping di lempar ke jalanan. Si Kuda lumping yang berwarna putih bertotol hitam, yang ukuran badannya tidak lebih tinggi dari ukuran badan si Mat Koboi sekonyong-sekonyong bermandi debu jalanan.
Selang beberapa menit setelah Mat Koboi benar-benar telah berlalu, Berri si Sheriff Buntel bin dower pun ngakak sejadi-jadinya. "Dasar koboi sarap! Yang ada you yang dibikin mampus sama si Billy Nde Kill beserta gerombolannya! Gue aja mikir seribu kali! Dasar koboi pecun! Hahaha..."
Tak berselang lama ia pun berlagak, berdendang riang, dengan lagu bertempo cepat, girang dari tanah seberang. "Lisoi... Lisoi... Lisoi... Oh... Lisoi... Lisoi..."
Suara merdu yang dia pikir indah bukan kepalang itu tak pelak membuat kuda-kuda yang sebelumnya asyik memamah riang rerumputan secara bersamaan sekonyong-sekonyong memuntahkan seluruh isi perut mereka. Tapi si Sheriff Buntel itu tak mau ambil pusing ia terus saja bernyanyi sampai kuda-kuda tersebut pun pingsan satu demi satu.
***
Keesokan harinya. Pukul sepuluh pagi. Tepat di halaman sebuah Bank di kampung koboi. Terdengar bunyi letusan senjata. "Dar.. Der... Dor... Dar... Der... Dor..."
Orang-orang serentak berlarian, berlarian ke sana kemari, tak tentu arah, mereka sudah tidak ubahnya seperti seekor tikus yang tengah diuber-uber oleh seekor kucing, yang berusaha mencari lubang tempat bersembunyi. Sebentar kemudian empat orang lelaki berbaju kumal melompat dari kudanya. Berlari-larian mereka bergegas masuk ke dalam bank, dengan satu orang yang lebih dahulu menendang pintu bank, hingga pintu tersebut terlempar jatuh. "Gol...!" Teriaknya nyaring.
Di luar seorang berjaga, dari atas pelana kudanya, sambil terus-terusan memuntahkan peluru dari moncong senjatanya.
Tak membutuhkan waktu yang lama, dari dalam bank tiga orang lelaki berbadan kumal keluar satu per satu, sambil di pundak mereka tertenteng karung-karung berukuran besar.
Karung-karung tersebut kemudian mereka lemparkan ke jalan, lebih tepatnya mereka lemparkan tepat ke hadapan si lelaki yang terduduk di atas pelana kudanya.
"Sudah kalian habiskan semuanya?!" Tanya si lelaki dari atas kudanya.
Satu orang memberi isyarat dengan jempol yang tertuding. Lelaki yang duduk di atas kuda mengangguk dan tersenyum takzim.
"Si Salvador mana!?" Tanya si lelaki dari atas kuda. Ketiga yang lainnya serentak menoleh ke dalam bank.
Tak sampai sedetik mereka menoleh, dari dalam bank, dengan tergopoh-gopoh, seseorang berlari keluar. Dia yang berlari tergopoh-gopoh keluar itu tampak sangat kesakitan, sebelah tangannya tampak mencengkeram mikroponnya, sementara sebelah tangan yang lain menutupi bagian mulutnya.
"Eh, Salvador Dali Kw kenapa loe!?" Cegat temannya kebingungan. Yang dicegat memberi isyarat dengan tudingan kepala. Ketiga yang lainnya pun serentak melirik ke arah tudingan tersebut. Mereka menunggu, menunggu, dan menunggu hingga bermenit-menit menunggu.
Hingga seseorang pun keluar sambil menarik resleting celananya. "Maaf tadi saya lagi boker. Jadi..."
"Hey koboi Semekot apa ini kerjaan loe!?" Tuding si lelaki dari atas pelana kudanya. Yang kesakitan mengangguk mengiyakan.
"Lah bukan," Yang dituduh menampik. Yang lain sekonyong-sekonyong kebingungan. "Gini loh pak..."
"Panggil gue Billy De Kill!" Seru si lelaki dari atas pelana kudanya.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ucap girang si lelaki yang tadi menarik resleting celananya. Dia yang tak ada lain adalah Mat Koboi.
"Pucuk, pucuk, apa maksud loe!? Loe kata gue minuman teh kemasan!? Teh Pucuk harum, hah!!!" Billy De Kill sewot Alang kepalang, pistolnya ia tudingkan ke depan.
"Tadi nih iya saya lagi kebelet tuh di toilet. Lah dia dengan sekonyong-sekonyong bodat main tendang itu pintu toilet. Lah saya kagetkan, refleks saya tendang balik itu pintu toilet. Lah menghantam ke muka dia. Kan bukan salah saya. Wong, saya kaget!" Mat Koboi mengurai kejadian tersebut.
"Kaget, kaget pala loe! Kaget juga kira-kira dong! Loe tahu nggak kita siapa, hah!" Gerung Billy De Kill.
"Iya, orang-lah! Emang sampeyan mau saya katain bedes!" Cerecau Mat Koboi.
"Eh, Koboi Kontet! Loe jangan sekonyong-sekonyong ya! Mau gue jadiin semur orok loe!" Billy De Kill menuding geram, yang lain terkikik geli, kecuali si Salvador yang masih setia dengan lagaknya, kesakitan.
"Semur orok loe kata, emang situ pikir saya apakah," lagak Mat Koboi.
"Loe! Koboi Semekot! Koboi Kontet! Koboi Bala-bala! Mau apa loe!? Ngajak ribut!? Ayo! Loe jual, gue beli!!!" Seru Billy De Kill meloncat heboh dari atas pelana kudanya. Saking hebohnya ia pun terjatuh. Ini tak lain dan tak bukan disebabkan karena sebelah sepatunya tersangkut di pijakan kaki pelana kuda tersebut.
Seru sekalian orang pun terkekeh dengan peristiwa tersebut, tak terkecuali si Salvador Dali Kw. Sekonyong-sekonyong orang pun kaget karena sebelah kumis khasnya telah tandas dari persadanya. Tambah ngakaklah itu orang-orangan sawah.
"Bener-bener loe ya," Amuk Billy De Kill sambil bangkit berdiri. "Kumis tuh orang loe kemanain, hah! Itu kumis sampai melintang begitu dia boleh merawat sampai tujuh purnama lebih tahu nggak loe!?"
"Lah dia juga ngacem nggak pake kira-kira masak mikropon saya mau dia bikin dendeng. Ini kan satu-satunya harta pusaka saya, tuan Billy Nde Kill." Ucap Mat Koboi.
"Loe kata gue apa!? Coba ulangi!!"Billy De Kill menuding.
"Tuan Billy Nde Kill,"ucap Mat Koboi santai.
"Billy Nde Kill!? Loe ngatain gue ndekil gitu,hah!? Gue bau, gitu maksud loe!?" Gerung Billy De Kill.
"Lah situ ngerasa nggak. Lah wong nama situ ditulis begitu di papan pengumuman Sheriff." Kata Mat Koboi.
"Eh, koboi Bala-bala, kayaknya loe udah bosan bernafas dengan paru-paru ya," Billy De Kill berjalan menghampiri Mat Koboi. Mereka pun berhadap-hadapan. Tapi Billy De Kill malah terlihat gelapan. "Mana tuh topeng ketek!"
"Eh, tuan Billy Nde Kill jangan sekate-kate loe!" Gerung Mat Koboi sewot. "Oh loe ada di sini." Billy De Kill menunduk. Yang lain ngakak. Bisa saja nih orang bercandaannya...
"Nama loe Ucok Bala-bala kan," tuding Billy De Kill.
"Ucok Bala-bala?" Ulang Mat Koboi kebingungan.
"Loe bukan kembarannya si Ucok baba!?" Lagak Billy De Kill.
"Dasar Koboi Prengus! Sekate-kate aja kalo ngebacot! Nama gue Mat Koboi tahu nggak loe!" Amuk Mat Koboi gegas mengangkat dan menghentakkan sebelah kaki yang tengah bersepatu jinggle koboi tersebut.
Dengan kekuatan penuh sepatu jinggle tersebut ia hantamkan ke kaki Billy De Kill. Ke kaki bagian kiri.
Billy De Kill kontan kesakitan, merutuk dan meringis. Padahal itu jempol kaki belum lagi sembuh dari cantengan. "Sompret bocah dedemit!Gue kirim ke neraka loe!"
"Nih neraka!" Seru Mat Koboi sambil menghantamkan tangannya. Hantaman tangan yang sengaja menyasarkan ke bagian mikropon Billy De Kill. Pukulan tersebut tak ayal membuat Billy De Kill terjungkal jatuh. Dengan satu gerak cepat Mat Koboi menarik pistolnya lalu mengarahkan moncong pistol tersebut ke kening Billy De Kill. "Tamat riwat loe!" Ancam Mat Koboi.
"Macak cih..." Lagak Billy De Kill yang jauh dari kata takut. Keempat gerombolan koboi yang lain yang awalnya pada semaput ketakutan tak urung ngakak bareng-bareng. "Masa kecil suram nih Koboi Boncel!" Begitu tuduh mereka. Geram, sekonyong-sekonyong, Mat Koboi menarik pelatuk pistol. Billy De Kill kian terkekeh. "Gue tunggu!"
Satu...
Dua...
Ti...
Ga...
Pelatuk pistol dihentakkan. Sekejap kemudian yang terdengar bukanlah suara letusan melainkan... suara bunyi-bunyian beserta lampu warna-warni yang menyala di seluruh permukaan pistol.
Mat Koboi kaget Alang kepalang. Tertanya pistol tersebut adalah pistol mainan. "Sheriff Kompeni sialan!"
"Karungi tuh Koboi Bonsai!" Pekik Bill De Kill memerintahkan keempat gerombolannya untuk meringkus Mat Koboi.
Keempat gerombolan koboi penyamun bergerak meringkus. Untung, Mat Koboi gesit berkelit.
Tak pelak hal tersebut membuat para gerombolan penyamun saling bertubrukan.
"Dasar koboi pesong!" Tuding Billy De Kill yang turut menjadi korban, ia tertindih oleh keempat gerombolan tersebut.
"Makan aja loe segerobak, kerja begituan aja kagak becus loe pada!" Sergah Billy De Kill geram. Selemparan batu dari mereka, Mat Koboi pasang aksi. Mat Koboi tegak berdiri. Kedua tangannya saling mengapit, matanya dipejamkan, mulut berkomat-kamit. "Ngapain tuh Koboi Bonsai!?" Billy De Kill tampak kebingungan.
"Ajian Dasa Muka!" Pekik Mat Koboi. Sekonyong-sekonyong Mat Koboi menjadi banyak. Sontak itu gerombolan penyamun pada terheran-heran plus ketakutan. "Kok bisa jadi selusinan begitu," tanya Billy De Kill. Yang lain pada geleng kepala.
"Ringkus..." Tuding Billy De Kill.
"Yang ditangkap yang mana nih..." Tanya si Salvador Dali Kw.
"Tangkap semuanya..." Pekik Billy De Kill bangkit berdiri.
Salvador Dali Kw pun beraksi, satu dari kian puluh Mat Koboi hendak ia ringkus. Tapi ketika diringkus itu Mat Koboi kok iya malah membelah menjadi lima bagian. Si Mat Koboi sudah gak ada beda dengan amuba. Tak pelak itu membuat Billy De Kill jadi tambah kebingungan. "Lah, lah, lah..."
"Hei Koboi Bandot menyerah kau!" Pekik Mat Koboi menuding. "Ogah!" Tolak Billy De Kill yang bersamaan dengan itu meletuskan senjatanya. Mat Koboi ditembak satu demi satu. Yang lain pun pada ikutan menembak.
Tapi bukannya lenyap itu Mat Koboi malah bertambah jadi lebih banyak. Dan sekarang si Mat Koboi sudah gak ada bedanya dengan segerembolan zombie yang hendak menggeruduk korbannya.
"Boss gimana sih?!" Tanya si Salvador Dali Kw. "Kalung. Kalung salib loe. Tunjukin kalung salib loe!" Tuding Billy De Kill ke Salvador Dali Kw. Dengan kebingungan Salvador Dali Kw menarik kalung salib tersebut dari lehernya, yang kemudian ia tuding-tudingkan.
Mat Koboi teriak seperti cacing kepanasan. "Panas! Panas! Jauhkan benda siewalan itu dari padaku! Oh, Tidak..." Rutuk Mat Koboi. Lalu satu demi satu dari jelmaan Mat Koboi pun lenyap kemudian.
"Gue bilang juga apa," lagak Billy De Kill kegirangan. "Eh, Koboi Bonsai jelek-jelek begini gue ingat tuhan tahu gak loe!"
"Lah ini kan kalung salib gue, Boss." Debat Salvador Dali Kw. "Sama aje," gerutu Billy De Kill. Tak ayal Mat Koboi bersisa satu. "Hajar!" Seperti Genghis Khan Pekik perang menyeru dari Billy De Kill. Yang lain serentak menyerbu.
Mat Koboi komat-kamit lagi. Tak berselang kemudian tubuh Mat Koboi membesar.
Para penyamun dibuat kaget lagi. Sementara Mat Koboi terus membesar dan membesar. Kini, Mat Koboi sudah gak ada beda dengan balon udara. Sampai pada satu titik dimana kepala Mat Koboi sudah menyentuh awan-awan di langit, ia pun berhenti membesar. Para penyamun mundur ketakutan.
"Menyerah atau loe gue buat jadi pergedel," pekik Mat Koboi membahana.
"Pergedel bapak moyang loe! Loe kata gue kentang apa!?" Gerung Billy De Kill. Yang lain pada semaput, Billy De Kill malah terlihat santai. "Ini mah gampang..." Lagak Billy De Kill menarik sesuatu dari bajunya. Yang tak ada lain adalah kancing peniti.
"Loe lihat ini pada," ucap Billy De Kill mengarahkan tajam mata kancing ke jempol kakinya Mat Koboi. Yang lain serentak berhitung.
Satu...
Dua...
Tiga...
Tajam mata peniti pun ditusukkan. Gerombolan koboi penyamun serentak bernyanyi. "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you..."
Billy De Kill girang bertepuk tangan. Benar saja, Mat Koboi perlahan-lahan mengecil.
"Sekarang mau loe apalagi," lagak Billy De Kill berkacak pinggang. Sekonyong-sekonyong Mat Koboi jatuh bersimpuh ke kaki Billy De Kill. "Maafkan saya tuan Billy Ndekill saya kagak lagi-lagi dah..." Mat Koboi memohon belas kasihan.
"Moyangnya Einstein mau loe lawan! Ke laut aja loe," Gerung Billy De Kill mendorong tubuh Mat Koboi menjauh daripadanya. Keempat gerombolan koboi penyamun mengakak kegirangan.
"Jadiin tempe bacem," tuding Billy De Kill. Keempat gerombolan koboi penyamun serentak mengiyakan. Mat Koboi disergap, tapi tak keburu. Sebab Mat Koboi seketika menghilang dari pandangan mata. "Lah kemana tuh Koboi Bala-bala!?" Tanya Salvador Dali Kw kebingungan. Yang lain pada menggeleng resah. "Gimana nih, Boss!?"
Sekali ini Billy De Kill mati kutu bisanya cuma garuk-garuk kepala. "Dia itu manusia apa setan iya!?"
"Billy Ndekill menyerahlah..." Suara dari balik awan-awan di atas langit menggema seketika. "Apa jangan-jangan dia..." Salvador Dali Kw menuding resah. Yang lain saling berpandangan. Dari balik salah satu gumpalan awan sesosok tubuh meluncur turun. Sesosok tubuh dengan kepak sayap yang membentang di kanan kirinya. Sesosok tubuh itu terus meluncur turun. Dan mendarat tepat di hadapan Billy De Kill.
"Mat Koboi... Loe..." Billy De Kill setengah mati ketakutan. "Gue adalah malaikat Jibril..." Ucap sesosok tubuh tersebut, yang wajahnya serupa dengan Mat Koboi.
"Malaikat Jibril!?" Tuding Salvador Dali Kw kebingungan. "Sorry, gue, malaikat Gabriel." Ralat Mat Koboi. Sekonyong-sekonyong Salvador Dali Kw jatuh bersimpuh dan mencium kaki malaikat tersebut. "Ampuni Baim ya Alloh..."
"Gue bukan Alloh, gue malaikat pesong!" Seru Mat Koboi menuding ubun kepala Salvador Dali Kw. Yang lain pada ikutan bersimpuh termasuk Billy De Kill. Tak berselang lama Berri si Sheriff Buntel pun tiba tak lupa ia bernyanyi-nyanyi riang. "We wish you Merry Christmas... We wish you Merry Christmas... We wish you Merry Christmas... And Happy New York..."
Akhir kata Billy De Kill dan gerombolannya pun diringkus tanpa perlawanan.