“Perjalanan gadis anonim menelusuri rumah misteriusnya”
Secarik kertas diletakkan seseorang di meja untuk ditujukan pada anaknya. “Kami akan meninggalkan rumah ini sementara, semoga kau tidak keluar dari rumah ini dan jangan membuat masalah di rumah, itu akan merepotkan!” Seorang gadis anonim membacanya.
Ia hanya terdiam, entah sudah sekian kalinya orangtuanya meninggalkannya alasan pekerjaan dan selalu mendapat cacian dari mereka. Yang mencurigakan lagi orangtuanya tak akan membiarkannya berkeliaran bahkan di rumahnya sendiri apalagi soal suara tangisan yang didengarnya di rumah, seolah ada sesuatu.
Ia sudah bertekad untuk mencari tahu rumah yang ia tinggali ini, selama orangtuanya pergi. Saat itu malam hari, rumah lebih gelap dari siangnya. Namun tetap saja ia sudah memutuskan untuk melakukannya.
Berbekal senter ia menelusuri rumahnya yang luas. Hingga di dapur, ditemukan sebuah cambuk dan obat tidur yang tidak semestinya di meja makan. Ia tetap melanjutkan penelusuran di berbagai ruangan untuk menemukan sesuatu yang mengobati rasa curiganya. Kini tibalah di ruangan luas dengan foto orangtuanya dan anak lain, membuatnya sedikit tidak nyaman.
Saat tengah berjalan, ia menginjak sesuatu dan sesuatu di belakang terbuka. Refleks menghadap belakang, didapati sebuah tangga yang cukup terjal, curam dan lebih gelap dari rumahnya. Berjalan mundur, mulai ragu akan tindakan berikutnya, ia takut kegelapan. Namun tekadnya kuat, ia turun perlahan dan tiba di ruangan penuh rak besar dengan tumpukan kertas. Ia menelusuri ruangan itu walaupun merasa tidak enak.
Terdengar sesuatu di belakang, ternyata itu hanyalah koran biasa yang jatuh dari rak, tampak menarik baginya. Ia mulai mengamati isi koran. Ketakutan, ia melempar koran itu, yang memberitakan anak hilang yang belum terpecahkan, dan salah satunya adalah dirinya… Tapi mengapa orangtuanya tidak memberitahunya? Seolah belum cukup menakutinya, suara tangisan terdengar di ruangan itu, suasana menjadi mencekam di ruangan gelap itu.
Jantungnya berdegup kencang namun tetap memberanikan diri untuk mencari asal suara yang berasal dari pintu yang terkunci, ia harus mencari kunci untuk membukanya. Tak jauh, ada sebuah brankas di sudut tembok. Gadis itu mulai menelusuri setiap ruang untuk mencari petunjuk dan menemukan ruangan dengan lantai beragam warna. Kebingungan, tidak ada petunjuk di ruangan kosong itu, namun ide cemerlang muncul di kepalanya.
Ia menghitung masing masing warna lantai, 6 warna merah, 4 warna abu, 5 warna hitam. Ya mungkin itu adalah kata sandinya! Gadis itu bergegas menuju brankas dan memasukkan kata sandi. “654” tidak berhasil, “465” belum terbuka, “546” brankas itu terbuka. Ia mengambil kunci di dalamnya dan membuka pintu itu. Terkejut tak main, pandangannya tertuju pada seorang anak yang pucat terduduk lemas.
Merasa iba, ia mencari makanan di dapur dan memberinya. Anak itu mulai mengenalkan dirinya, Sufery. Ia bertanya pada gadis itu namanya, namun hanya senyuman pahit tampak di ekspresinya, karena kenyataannya ia tak diberi nama. Mulailah Sufery menjelaskan apa yang terjadi padanya. Ia sudah terkurung di ruangan ini, dan mencoba berteriak meminta tolong, itulah alasan mengapa si gadis selalu mendengar teriakan, namun orangtua si gadis berusaha menutupi.
Dan ia selalu diancam orangtua si gadis agar tidak berteriak dengan memaksanya memakan pil tidur dan kadang memukulnya dengan cambuk, penyebab pengelangan tangannya memar. Gadis itu teringat akan cambuk dan pil yang dilihatnya. Namun untungnya, Sufery tidak menelan pil itu, ia akan membuang pil itu saat orangtua sudah pergi dari ruangan.
Ia hanya bisa mengamati keadaan luar melalui ventilasi, berharap bisa menghirup udara di luar dan seseorang akan menolongnya. Keluar dari ruangan adalah hal yang paling mustahil baginya, namun kini harapannya terwujud saat seseorang membukakan pintu untuknya, ialah si gadis anonim ini. Mungkin saja, orangtuanya sering pergi untuk menculik anak lain, namun tidak berhasil.
Memang orangtuanya penculik yang manipulatif. Sufery ingin mengajak si gadis untuk kabur dari rumah itu, karena ia adalah anak hilang seperti si gadis. Si gadis juga ingin pergi dan melapor ke polisi, namun tidak ada bukti. Ia mengambil pil tidur dan cambuk di dapur serta kamera untuk mengambil foto bekas memar di tangan Sufery.
Namun, hal yang tak disangka terjadi. Terdengar suara langkah kaki dan obrolan orangtuanya yang lebih tepatnya penculik mereka. Si gadis dan Sufery perlahan keluar lewat pintu belakang untuk kabur. Penculik segera masuk ke ruangan mereka dan mendapati ruangan tempat Sufery sudah kosong. Penculik itu panik dan mencari mereka.
Mereka bersembunyi di balik semak dan Sufery yang tak sabar bebas perlahan menuju halaman depan rumah. Si gadis menegurnya untuk tetap bersembunyi, tapi Sufery tidak mendengarkan. Sialnya, salah satu penculik memergoki Sufery dan menangkapnya. Penculik yang ada di halaman belakang menahan Sufery pula.
Si gadis panik dan berpikir sejenak, ia membawa kamera. Sufery berusaha melawan mereka, namun mereka adalah orang dewasa. Sementara si gadis memasukkan banyak lumpur ke ember, entah apa yang dilakukannya.
Penculik yang melihatnya hendak menahannya, namun si gadis dengan gesit menyiram seember lumpur pada penculik yang mengenai mata mereka. Si gadis dan Sufery segera kabur, tak lupa membawa kamera rekaman dan barang bukti. Mereka sampai di kantor polisi. Namun si gadis mendengar suara, ia ketakutan namun ternyata itu bukan penculik.
Seseorang memanggilnya dari kejauhan. Si gadis terkejut mendengar panggilan itu, mungkin salah orang pikirnya. Sufery meyakinkan si gadis untuk menghampiri orang yang memanggilnya. Si gadis kemudian bertemu dengan pasangan yang tampak mengenalnya. Perempuan itu segera memeluk si gadis, sambil menangis.
“Bika” kata pertama yang terdengar dari mereka. Si gadis memeluknya erat dan senang. Mulai dari titik ini, apa yang ia pertanyakan selama ini akhirnya terjawab, namanya adalah Bika dan ia menemukan keluarganya. Sufery hanya tersenyum bahagia, karena keluarganya akan datang dan memeluknya seperti mereka!
Tamat
Cerpen Karangan: Noli