Aku sangat bangga terhadap ayahku, anggota polisi yang berpangkat Brigadir Polisi Kepala. Tugasnya mengatur lalu-lintas. Kalau lihat ayah memakai seragam polisi, berdiri di tengah jalan, hebat sekali. Semua kendaraan takut padanya. Kalau melanggar pasti ditilang. Ayah tidak mengenal kompromi, siapapun, yaa, siapa pun. Karena itu, ayah sangat terkenal. Bahkan, ketenarannya melebihi Kapolres.
Pernah ada pejabat dari pusat, sopirnya ditilang karena melanggar rambu lalu-lintas. Pejabatnya marah-marah. Ayah tidak peduli. Bahkan, ibu pun pernah ditilangnya juga. Saat itu, ibu ke pasar mengendari sepeda motor, melawan arus. “Pak! Aku kan bojomu! Masa ditilang. Lagi pula rumah kita kan dekat. Kalau putar jauh lah, ibu ngomel. Awas yaa, nanti malam. Jangan minta-minta.” Orang-orang yang melihatnya terseyum. Mereka mengenal ayah dan ibuku. Maklum kota kecil.
Karena dedikasinya, ayah mendapat piagam penghargaan dari Bapak Kapolri. Piagamnya dilaminating terus dipanjang di kamar tamu. Anehnya, kenaikan pangkatnya tergolong lambat. Namun, ayah tidak pernah mengeluh. Pekerjaannya dilakukan sesuai peraturan. Pulang dari tugas, ayah mengajar di SD, SMP atau SMA yang ada kegiatan ekstra kurikuler tentang lalu lintas di jalan.
Ibuku, sebagai ibu rumah tangga. Mengasuhku dan kakakku, Mas Pandu. Gaji dan pendapat ayah sebagai polisi dan dari mengajar hanya cukup untuk tiga minggu. Ibu mengakalinya dengan jualan nasi pecel dan berbagai gorengan: pisang, singkong, ubi dan sebagainya. Gorengannya, dijualnya di SD Kepolisian, dekat asrama. Setiap pagi, saat berangkat ke sekolah aku sekaligus membawa gorengan untuk di titipkan pada kantin sekolahan. Pulangnya, bawa duwit hasil penjualan berikut sisa gorengan yang tidak laku.
Tentang Mas Pandu, ingatanku tidak terlalu banyak. Aku sangat sedih, ketika lulus SD, Mas Pandu terus dipindahkan ke pesantren. Mas Pandu selalu menjadi penolongku. Pernah aku dikeroyok dua anak di sekolahan. Tentu saja, aku kalah. Oleh Mas Pandu, kedua anak tadi didatanginya. “Hai, kalau berani satu lawan satu. Berani nggak?” Kedua anak tersebut menggelengkan kepalanya. “Ayo, minta ma’af sama Juno.” Keduanya, minta ma’af kepadaku. Setelah itu yaa, main bersama kembali. Pokoknya Mas Pandu tempat aku mengadu. Setelah selesai dari pondok pesantren keberadaan Mas Pandu tidak diketahui. Hilang ditelan bumi. Ibu sangat sedih kalau ingat sama Mas Pandu.
Perang-perangan merupakan permainan yang paling aku sukai. Lima lawan lima atau tiga lawan tiga, yang penting jumlahnya sama. Pelurunya, pelepah pisang yang sudah dipotong-potong tujuh sentimeteran. Ada satu wasitnya. Begitu wasit membunyikan peluitnya, pemainnya, saling serang, melemparkan peluru ke arah lawan. Sampai semua lawan kena peluru. Yang menang, yang tidak kena peluru. Habis main, pulang ke rumah, ibu marah. “Juno, lihat baju seragammu. Noda getah pelepah pisang tidak bisa hilang.” Besoknya, main lagi. Tapi dengan baju rumah. Permainan yang menyenangkan. Permainan anak laki-laki.
Menjadi polisi adalah cita-citaku sejak kecil. Mungkin pengaruh dari ayah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu kata pepatah. Lulus dari SMA terus melamar jadi polisi. Alhammdulillah, diterima. Pangkat pertama, Brigadir Polisi Dua. Selama empat tahun, aku belajar tentang kepolisian secara menyeluruh. Berpindah dari satu bagian ke bagian lainnya. Pernah di intelelijen, reserse kriminal, keamanan, lalu-lintas, Brimob dan Densus 88 Anti Teror. Setelah mengetahui tugas-tugas kepolisian, menjadi bagian dari Densus 88, cita-cita berikutnya. Kembali, keberuntungan berpihak kepadaku. Aku lulus berbagai seleksi dan dipersiapkan menjadi sniper.
Berbagai latihan sniper aku ikuti. Namun, paling berkesan ketika ikut latihan bersama prajurit Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ada nuansa kompetisi. Selama tiga bulan, fisik dan mental digembleng. Menembak menjadi menu makanan sehari-hari. Ilmu menembak dipelajari, berbagai senjata laras pendek dan laras panjang harus dikuasainya. Kemampuan menembak polisi dikembangkan, bukan hanya di perkotaan, tetapi juga pertempuran di hutan. Akhirnya, aku berhasil mendapat kualifikasi sniper. Cukup membanggakan, meski tidak terbaik. Orang menyebutnya penembak runduk atau penembak jitu. Aku lebih suka disebut sniper, nama yang keren menurutku.
Sniper selalu digambarkan sebagai prajurit. Memang sejarahnya demikian. Kemampuan utamanya, menembak musuh secara tersembunyi dari jarak jauh. Menonton film-film sniper merupakan salah satu hobbyku, seperti: Jack Reacher, American Sniper, Phone Booth, Shooter, Ghost Shooter, Bitva za Sevastopol dan The Jackal. Aku sampai hafal jalan cerita dan adegannya. Beberapa kali aku menontonnya, tidak bosan juga. Aku juga kagum terhadap empat belas sniper yang telah tercatat dalam Sniper’s Roll of Honour. Tiga orang diantaranya yang aku kagumi: Pertama, Simo Hayha, tentara Finlandia. Tadinya seorang petani dan pemburu. Mengikuti wajib militer satu tahun di negaranya, kemudian menjadi tentara. Ketika berperang dengan Rusia, ia membunuh lebih dari seribu tentara Rusia dalam waktu kurang dari seratus hari. Oleh tentara Rusia ia dijuluki “White Death”. Uniknya senjata yang digunakan hanya menggunakan pisir senapan, tanpa teropong. Kedua, Lyudmila Mikhailovna Pavlichenko, perempuan tentara Tentara Merah Rusia. Saat Perang Dunia II, ia membunuh 309 musuhnya. Ia penembak militer perempuan tersukses dalam sejarah. Ketiga, Tatang Koswara sniper tentara Indonesia, yang masuk dalam tujuh sniper terbaik dunia. Ia telah menembak mati delapan puluh musuhnya.
Sebagai sniper, aku pernah mendapat tugas menjadi regu tembak. Mengeksekusi terpidana mati kasus nark*ba dan pembunuhan berencana. Satu regu tembak, terdiri dari empat belas personil, dua belas sebagai penembak, satu orang komandan dan satu orang perwira pengawas. Hanya tiga senjata yang diisi peluru tajam. Mereka tidak tahu senjatanya siapa. Moncong senapan diarahkan pada satu titik di tubuh, jantung. Pelatuknya ditarik secara bersamaan setelah mendengar suara “Tembak!” dari komandan. Kepala terpidana terkulai. Tiga peluru tajam itu menembus tubuhnya, entah satu lubang atau tiga lubang. Namun kalau seluruh penembaknya sniper, aku pastikan hanya ada satu lubang.
Sebenarnya, aku tidak suka menjadi eksekutor. Menembak orang yang sudah tidak berdaya. Kalau boleh menolak, aku akan menolaknya. Tapi di kepolisian, bawahan tidak boleh menolak perintah. Desersi.
Tugas lainnya melakukan pengamanan Presiden. Skenario pengamanannya di bawah komando Paspanpres. Aku tinggal menempati pos yang telah ditetapkan. Senjata siap tembak, mengawasi orang yang berada dekat Presiden dan di sekitarnya yang mempunyai radius sekitar lima ratus meter.
Suatu ketika, aku mendapat tugas untuk mengejar teroris yang melarikan diri ke hutan. Menurut komandan, pengejarannya melibatkan tentara Angkatan Darat yang sudah berpengalaman dalam pertempuran di hutan.