Saudara dari Asia yang kami harapkan akan membebaskan kami dari kukungan penjajahan Belanda, datang hanya untuk semakin memperburuk kehidupan kami yang ternyata kedatangannya hanya untuk mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda untuk modal dan markas cadangan mereka selama Perang Dunia II.
Ayah, dan para warga Desa berusaha untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Semua warga Desa saling bekerjasama untuk mengusir si Cahaya Asia yang membuat kami sengsara itu segera pergi dari Negara kami.
Ayah yang saat itu pernah belajar beladiri silat dari Haji Niung mengajarkan ilmu-ilmu dasar silat yang harus dikuasai oleh para pemuda Desa yang saat itu Rata-rata masih berusia 15 tahun. Sedangkan ibu, dan ibu-ibu Desa lainnya menyiapkan makanan, minuman, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu keistrian kepada para Kembang Desa.
Hingga hari yang ditunggu pun tiba. Aku dan pasukan Desa yang sudah siap untuk bertempur dengan para pasukan tentara Jepang mulai menyerbu pos keamanan kecil mereka di sebelah selatan Desa, yang berbatasan dengan Hutan. Dua pasukan Jepang berhasil kami tumbangkan dengan alat seadanya. Hanya Bambu Runcing dan Clurit lah yang jadi senjata mematikan kami.
“Markas mereka ada di sebelah Selatan. Kita berpencar. Yang ada di belakangku, kita pergi ke arah Utara. Dan yang ada di belakang Mas Daryat, pergi ke arah Timur” ucap Ayah memberi aba-aba.
Aku yang berada di belakang Ayah pergi ke arah Utara dengan memutar jalan dari Hutan tempat pos Jepang tadi ke gudang belakang markas dengan sebuah clurit berlumuran darah di tanganku.
“Kalian jangan menyerah! Kalau mau lawan, ya lawan. Jangan tunggu Aku untuk datang. Kita sudah latihan. Terapkan hasil latihan kita sekarang. Buktikan bahwa perjuangan rakyat biasa seperti kita itu sebagai perjuangan untuk meraih kemerdekaan!” Tegas Ayah saat pasukan kami sudah berada tidak jauh dari pintu gudang.
Setelah memberi aba-aba, dan bersiap, pasukan kami mulai memasuki gudang markas yang berisi beberapa bom yang ditaruh dengan rapi. Karena posisi mengancam ini, kami mengatur strategi dadakan. Yaitu aku dan Ayah akan membunuh pimpinan mereka.
Ketika salah seorang pemuda berhasil mengecoh para tentara Jepang itu, Aku dan Ayah memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari pergi ke lantai atas tempat dimana pimpinan para tentara Jepang ini diam. Begitu kami masuk, kesempatan yang sangat beruntung menanti dihadapan kami.
Pimpinan tentara itu sedang menyaksikan bagaimana pasukan kami dengan alat seadanya berusaha melawan pasukannya yang dilengkapi dengan senapan laras panjang, dan siap untuk meledakkan bom jika diperlukan.
“Sttt… kau ambil ini. Jika Aku ditikam atau ditembak mati olehnya, kau lanjutkan perlawanan ini” Ucap Ayah sambil menepuk bahuku dan tersenyum lalu pergi ke arah si pimpinan tentara Jepang itu.
Darah menyembur ke seluruh tempat itu hingga mengenai pipiku yang sedang bersembunyi di balik lemari kayu yang terletak tak jauh dari pintu. Dalam hati aku berdoa, agar pimpinan tentara Jepang itu yang mati. Bukan Ayah.
Perlahan suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku saat itu memegang sebuah clurit dan satu senapan laras panjang curian Ayah yang diberikan padaku. Jika ini akhir dari hidupku, Aku merasa bangga bahwa Aku melakukan ini untuk negaraku.
Langkah kaki itu mulai mendekat dan..
CLEB! Clurit yang Aku pegang yang sebelumnya telah berlumuran darah itu menancap dengan kuat di perut sang Jenderal. Darahnya mulai mengalir dari perut, dan mulutnya. Ia tersenyum padaku lalu jatuh tersungkur.
Dengan perasaan campur aduk, aku merasa jika aku sudah melakukan yang terbaik bagi negaraku. Dengan cepat aku mendekati Ayah yang sudah meregang nyawanya terlebih dahulu dan menggendongnya di punggungku.
“Setidaknya perjuangan Ayah tidak sia-sia”
Malam itu, aku pulang dengan selamat bersama dengan 12 pemuda Desa lainnya yang masih bisa bertahan. Mereka yang gugur, akan selalu kami kenang sebagai pahlawan. Pahlawan untuk kami. Warga Desa yang lemah.
Cerpen Karangan: Kirani Fitri