Delila berjalan pulang dengan lesu. Tubuhnya membungkuk seperti bunga yang layu. Hari ini sungguh berat baginya. Prnya tertinggal di rumah. Nilai ulangannya terjun ke dalam jurang remedial. Tangannya tertusuk pensil. Dan entah bagaimana, penghapusnya terbakar.
Delila menghela napas. Teriknya matahari berhasil membuat tubuhnya bercucuran keringat. Diusapnya keringat yang menetes dari keningnya. “Ah, hari gini, enak kalau minum yang seger–seger,” pikirnya.
Rupanya, ia tidak sepenuhnya tidak mujur hari ini. Mungkin sudah takdir, seorang lelaki—sepertinya pedagang kaki lima—menghampiri Delila dan menawarinya minuman. “Eh, dek, kamu mau tah, es teh?” tanya lelaki itu. “Gratis, lho, dek.” “Wah, mau dong, bang!” seru Delila tanpa berpikir panjang.
Tak diingat perkataan ibunya untuk selalu waspada terhadap pemberian makanan ataupun minuman dari orang asing. Yang hanya di pikirannya, “Asyik! Panas–panas gini, dapet minuman seger, gratis lagi!”
Diambilnya es teh berwadah kantong plastik itu dari tangan si lelaki. Setelah mengucapkan terimakasih, ia melanjutkan perjalanannya.
Rumah Delila memang cukup jauh dari sekolah. Biasanya, perjalanan pulang membutuhkan waktu empat puluh lima menit berjalan kaki. Tetapi, hari ini, Delila memutuskan untuk melewati jalan pintas melalui hutan jati yang hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit karena—entah mengapa—kepalanya terasa sangat berat. Mungkin karena ia terlalu lama terpapar sinar matahari. Entahlah. Yang jelas, ia ingin segera pulang.
Sebenarnya, ia enggan melewati hutan jati. Hutan tersebut terkenal akan pohon–pohon yang lebat dan menjulang tinggi, sehingga tidak banyak cahaya yang dapat memasuki tempat itu. Namun, hari ini, matahari bersinar sangat terang, sehingga hutan jati itu tidak terlalu gelap. Delila pun memberanikan diri untuk memasuki hutan itu.
Delila berjalan dengan cepat. Ia ingin segera keluar dari tempat itu. Tidak lupa sesekali ia menyeruput minuman es tehnya yang ia dapatkan secara gratis.
Ia menyadari ada yang aneh dari es teh tersebut. Seharusnya, es teh itu membuat dirinya merasa segar. Tetapi, setiap meminumnya, rasanya lidahnya semakin kering. Sepertinya ada yang salah dari minuman itu, tetapi Delila tidak dapat menemukan kesalahan apapun.
Es teh itu terlihat seperti es teh biasa. Warnanya seperti teh pada umumnya, cokelat transparan. Rasanya juga biasa saja, manis, seperti—eh? Delila menyeruput lagi minumannya itu. Ia cicipi dengan baik. Kali ini, Delila merasakan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada rasa asin yang samar di dalam tehnya.
Barulah Delila mengingat perkataan ibunya. “Jangan sembarangan makan atau minum pemberian orang yang nggak kamu kenal, lho ya!” begitu kata Ibu.
Matanya melebar ketika ia menyadari apa yang telah ia lakukan. Ia lengah. Tetapi, apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah meminum setengah bungkus es teh tersebut. Hatinya berdegub kencang. Pikirannya kacau.