Sejak dilahirkan, kata itu terdengar. Sejak bayi, bagai larangan. Memasuki sekolah dengan seragam yang rapi dan seadanya. Lagi dan lagi mereka mengejek diriku. Kata-kata buruk tercoret di atas mejaku. Guru hanya membentak dan memerintahkan diriku untuk menghapus coretan tersebut. Lirikan banyak mata yang membuat diriku menggigil dan bulu kuduk naik.
Bell berbunyi. Bell yang menandakan saatnya dipukul di belakang sekolah. Kata mereka lelaki tidak boleh menangis, jadi hanya kutatap mereka dengan mata yang kosong. Suster klinik hanya ngomelin diriku yang selalu datang. Berjalan pulang pun aku tak terelakan oleh palakan mereka.
Sepulang sekolah hanya ada tatapan orangtua dan kemarahan mengenai nilai. Menunjukan kertas ulangan bagai dosa di depan mata. Aku ingat kejadian itu pertama kalinya. Aku menangis lagi dan lagi selagi mereka memarahiku. Mereka bilang “laki-laki kok nangis?” Sejak saat itu menerima apa adanya. Makna malam selalu tersedia di meja yang besar dan ku duduk sendiri di sana. Mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, merupakan kekhawatiran terakhirku.
Lagi dan lagi kulakukan hingga suatu saat aku berjalan melalui jembatan yang sama di kota tersebut. Jembatan penyeberangan dengan bunga di ujungnya. Setiap sore seorang kakek datang membawa sepucuk bunga dan menaruhnya di situ. Membuatku bertanya-tanya mengapa ia membawa bunga itu ke sini. Kakek itu tak menghiraukan diriku yang berada di sebelahnya.
Tetapi tidak semuanya begitu negatif, dalam hidup ini hanya satu orang yang selalu menghiburku. Kami selalu bertemu dengan temanku di taman dekat rumah sakit. Pada hari itu juga ia berkata padaku bahwa hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Ia berkata untuk tidak menghiraukan dirinya. Namanya Andi, seorang gadis yang imut dan baik hati. Walau begitu tubuhnya yang kurus memberitahuku bahwa waktunya memanglah sebentar. Ketika dia pergi ibunya menanyakan dengan siapa dia berbicara. Andi menunjuk diriku yang duduk di bawah pohon. Kemudian ibunya tersenyum dan menatap diriku. Aku hanya melambai selagi mereka berbalik menuju arah rumah sakit.
Besoknya lagi dan lagi, kulakukan keseharianku. Sang kakek menaruh bunga di ujung jembatan yang sama, tetapi sekarang dia berkata maaf berulang kali. Menunduk sambil menatap matanya aku bertanya kepadanya mengenai siapa kakek meminta maaf. Ia hanya membuka matanya lebar-lebar dan berjalan menuju mobilnya yang menunggu di bawah jembatan. Itu membuatku sadar bahwa sang kakek sebenarnya orang kaya walau terlihat dekil. Ia memiliki mobil dan supir tersendiri.
Bertemu Andi yang memiliki kepala yang gundul membuatku terlihat sedih. Ia mengatakan untuk tidak menunjukan wajah murung. Ia kemudian melihatkan sebuah buku, dan menuliskan beberapa pesan yang ia kan berikan terhadap seseorang. Aku bertanya terhadapnya, mengapa ia yakin bahwa penyakitnya akan memakan jiwanya. Ia hanya menggelengkan kepala dan berkata bahwa besok akan menjadi pertemuan terakhir kita.
Pada esok harinya dengan cepat aku setelah bell berbunyi menghindari tempat dimana aku terpalak, dan lebih cepat dari sebelumnya. Saat ku melewati jembatan sang kakek belum datang. Setibanya di bawah pohon tersebut Andi duduk sambil menghadap ke arah pohon tersebut. Ia berkata terhadap diriku, “indahnya ya pohon ini” ku hanya bisa terdiam mengangguk.
“Kau tahu, hari ini adalah hari terakhir bagi diriku” ku hanya terdiam “Jangan terlihat murung, sebentar lagi aku bisa bersamamu” Wajah murung berubah menjadi bingung. Andi melirik dan hanya tersenyum.
“Tidak ada yang sekolah pada hari minggu?” Aku meliriknya dengan wajah bingung, Andi kemudian pergi sambil berkata “apakah kau ingat namamu, wahai sahabatku?” Aku kebingungan dan berlari pergi menjauhi Andi selagi ia berteriak “sampai jumpa”
Ku berlari dan mengangkat telepon lipatku. Menunjukan hari jumat dan kemudian aku tiba di jembatan yang sama. Kulihat Kakek itu keluar dari mobilnya membawa bunga dan alat berbentuk kotak. Kuikuti dari belakang. Ia menaruh bunganya dan menunjukan sebuah foto. Foto tersebut adalah wajahku.
Aku berdiri terdiam di sebelah bunga tersebut. Tiba-tiba Andi datang dan menyenggolku. Kulihat wajahnya yang bersinar dan rambutnya yang panjang. “Jadi selama ini..” itu hanya kata terakhir yang kukatakan sebelum aku menangis dipelukan Andi Sahabatku.
Cerpen Karangan: Ymir Blog / Facebook: Amir Yahya Fauzi