Aku hanya duduk terdiam sambil menunggu bala bantuan datang. Tangan dan tubuhku terlumuri darah hijau. Aku tidak tahu mengapa air mataku mengucur deras. Mungkin karena ayahku sudah termakan oleh makhluk menyeramkan di depan mataku sendiri. Duduk di dalam lemari baju sangatlah sempit dan tidak menyenangkan. Tapi aku tahu, kalau aku bersembunyi di luar selain lemari, aku akan termakan hidup hidup oleh sekelompok Buruieni
Buruieni adalah makhluk menyeramkan yang telah memburu kaum manusia selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Buruieni merupakan bahasa latin dari ‘gulma’. Bentuk mereka yang ditutupi berbagai macam rumput sudah cukup untuk menakutkan kaum manusia. Mereka melahap manusia yang mereka jumpai. Syukurlah, kami, para kaum manusia dapat berlindung dari monster menyeramkan itu. Berkelana di berbagai penjuru dunia, hanya untuk berlindung dari makhluk yang tidak memiliki wajah dan otak yang cerdas. Namun anehnya, makhluk itu tetap saja muncul, dan melahap manusia sampai ratusan. Itu pun tidak cukup bagi mereka. Makan, makan dan terus makan
Sekarang, aku hanya bisa berdoa kepada sang tuhan. Berharap aku cepat ditemukan oleh tim penyelamat dan memakan bubur yang hangat. ‘kriettt…’ pintu lemari terbuka. Disitulah para bala bantuan datang menyelamatkanku. tubuhku digendong dan dibaringkan di dalam suatu kereta. Dan kereta itu pun berjalan menuju ke arah timur. Mataku hanya bisa menatap langit langit berwarna abu gelap. Menandakan hujan akan mengguyurkan airnya kepadaku. rintik rintik hujan mengenai wajahku. Seketika itu, darah hijau yang ada di tangan dan tubuhku hilang dengan sekejap. Bajuku basah semuanya. Kereta itu pun berubah arah untuk mencari tempat berteduh.
Kami sampai di tempat berbatu yang dimana Buruieni tidak akan muncul. Kami mencari gua untuk berteduh. Semua korban yang selamat diturunkan dan dirawat oleh relawan yang ada. aku hanya tergores besi, jadi aku bisa merawatnya dengan menempelkan kain kepada bagian tubuhku yang terdapat luka gores. aku mendapatkan semangkok bubur dengan sendok di dalamnya. Karena bubur itu baru dimasak, bubur itu masih hangat. Karena perutku sudah kelaparan dari jam 6 pagi, sedangkan sekarang sudah siang, aku pun melahap bubur itu sampai tidak tersisa.
Aku berbaring di selimut yang lusuh sambil memikirkan apa yang akan terjadi kepada kita. Apakah kita akan pergi dari sini, atau tetap disini sambil menunggu siapa yang akan termakan? Pikirku. Aku tidak tahan dengan situasi ini. Tetapi, aku tidak sengaja mendengar percakapan para relawan. Aku dengar, mereka akan membawa kami ke pantai, lalu menaikkan kami ke kapal relawan dan pergi dari pulau ini. Aku tercengang. Bagaimana bisa aku tidak memikirkan hal hal seperti itu? Tapi aku hanya bisa tidur terdiam dan menunggu arahan para relawan.
Ternyata dugaanku benar, para relawan membawa kami menuju pantai. Pantai berbatu batu yang dimana para Buruieni tidak sanggup muncul. Satu persatu orang menaiki kapal itu. Dengan Langkah yang berhati hati, aku pun menaiki kapal itu. Setelah tidak ada orang tersisa, jangkar kapal dinaikkan. Dengan awak kapal yang profesional, kapal itu pun berangkat dari pantai. Dikarenakan kapal yang begitu kecil, aku pun berdiri di sebelah tiang bendera. Hari itu sudah malam. Penglihatanku mulai kabur. Kapal itu tidak memiliki lampu yang cukup banyak, jadi lampu lampu hanya ditempatkan di tempat yang dibutuhkan saja.
Kami sudah berlayar selama 4 jam. Kata salah satu awak kapal, kita akan datang di Pelabuhan luar dalam 6 jam. Sungguh waktu yang lama. Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak ada kapal yang lain selain kapal kecil ini. Aku termenung sambil menatap bulan yang menerangi lautan. Tiba tiba, dari dalam kapal, terdengar suatu jeritan. Jeritan manusia yang sedang kesakitan. Karena aku sudah terbiasa dengan jeritan manusia di kampungku dulu, aku hanya diam diam saja. Anehnya, jeritan itu berlangsung cukup lama. Disitulah aku mulai sedikit curiga. Aku menjauh dari tiang bendera kapal, lalu menuju ke dek kapal bagian depan.
Tiba tiba, lantai kapal yang terbuat dari kayu bolong, dan muncul sebuah Buruieni dari dalam. Semua orang terkejut dan melarikan diri. Aku yang memiliki penglihatan kabur pada malam hari, bingung mau kemana. Tiba tiba, Buruieni itu mendorongku sehingga membuatku terjatuh. Makhluk itu berusaha memakanku. Dengan tanganku yang kecil, aku berusaha untuk mendorong makhluk itu. Aku berhasil mendorongnya. Aku mengambil salah satu kayu yang patah, lalu menancapkan kayu itu ke kepala dan titik jantung makhluk itu. Aku pun berhasil mengalahkannya. Aku menjatuhkan Buruieni ke laut agar hancur lebur. Namun, semua orang menggeliat di lantai kapal dengan wajah yang kesakitan. Sebenarnya, apa yang terjadi?
Ternyata, luka yang disebabkan oleh Buruieni menyebabkan infeksi kepada manusia, lalu membuat manusia itu menjadi Buruieni yang baru, semacam infeksi zombie pada film film yang terkenal. Sayangnya, Buruieni tadi sudah melukai seluruh orang. Yang tandanya, mereka akan berubah menjadi Buruieni yang menyeramkan. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Dalam sekejap, semua orang berubah menjadi Buruieni. Dengan mata yang kabur, aku terjatuh dari kapal dan tercebur ke laut. Aku tidak bisa berenang. Aku takut. Penglihatanku menjadi hitam. Aku ingin ayahku menjulurkan tanganku dan menolongku. Tapi, hal seperti itu tidak akan terjadi. Aku akan mati dalam beberapa detik.
Suara ombak yang begitu merdu menenangkan diriku. pasir yang lembut membuatku nyaman. Tiba tiba sebuah kepiting mencabit kakiku. Aku yang tidak berdaya bangun terkejut dan berusaha menyingkirkan kepiting kecil itu dari kakiku. sinar matahari membuat mataku sakit saat melihatnya. aku masih hidup. Aku masih bisa merasakan sejuknya oksigen bumi. Ombak laut membawaku kemari. Aku ingin berdiri, namun tak bisa. Sepertinya kakiku terkilir karena terjatuh ke laut, ditambah lagi tercabit oleh kepiting kecil tadi. aku haus, aku ingin minum air yang segar, bukan air laut yang asin.
Terdengar suara beberapa anak kecil sedang bermain di daun telingaku. Mereka mulai terdiam Ketika melihatku terbaring dengan wajah yang kesakitan. Mereka memanggil seseorang, lalu berlari ke arahku. Dalam sekejap, mereka ketakutan melihat wajahku yang penuh akan goresan. Mereka menangis dan pergi ke orangtuanya. Sungguh hal yang sangat umum bagi anak anak yang masih berumur 5-6 tahun. Setelah itu, beberapa orang menggendongku dan membawaku ke sebuah gubuk kecil yang berada di dekat pantai indah itu.
Mereka merawatku dengan sepenuh hati. berbeda dengan relawan sebelumnya, dengan fisik dan jiwa yang Lelah, mereka pasrah melindungi kami yang bodoh dalam bertarung dengan Buruieni itu. Mereka menyediakan air putih yang segar, dan kentang rebus. Aku tidak sadar, bahwa aku merupakan orang terakhir yang selamat dari insiden kapal itu. Dan sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melihat Buruieni itu.
Cerpen Karangan: Puruhitatapin