Matahari pagi mulai masuk ke dalam kamar gubuk tua tempat Anjani bermalam dua hari belakangan. Kasus penculikan yang dialaminya membuat ia harus menerima kenyataan bahwa gemerlap dunia kota harus sejenak dilupakan dan tinggal di dalam hutan yang sama sekali belum pernah dijamahnya. Ia bangun dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak karena hanya beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman rotan. Setelah dua hari mengurung diri, Ia memberanikan untuk keluar dari gubuk itu. Berjalan ke arah hutan. Ditemuinya Jaka yang saat itu tengah mengumpulkan kayu bakar.
“Syukurlah kamu sudah mau ke luar!” ujar Jaka padanya. Anjani hanya diam tak menyahut. Dilihatnya sekitar, tak tampak nenek yang sehari-hari selalu mengantarkan makanan ke kamarnya. “Kamu tidak usah takut. Jika mungkin nanti kamu butuh apa-apa, kamu bisa panggil saya!” ujar Jaka sambil membawa kayu bakar yang sudah dikumpulkan ke gubuk tuanya.
Jaka menghampiri sang nenek yang ketika itu tengah mempersiapkan makanan. “Coba kau ajak Anjani makan. Dia pasti kelaparan!” ujar sang nenek pada Jaka.
Tak perlu dipanggil Anjani pun datang. Nek Uli pun mempersilahkannya untuk makan. Hidangan yang tersedia sangat sederhana. Hanya nasi putih dan ikan segar hasil tangkapan Jaka yang dimasak dengan cara dibakar dengan bumbu seadanya. Meski sama sekali bentuknya tidak menggugah selera seorang Anjani, namun ia tetap makan dengan lahapnya, karena ia benar-benar merasa perutnya keroncongan.
“Pelan-pelan makannya nak!” ujar Nek Uli. Anjani hanya tersenyum sambil manggut.
Sore harinya seperti biasa Nek Uli dan Jaka harus pergi mandi ke sungai. Jarak Sungai dan gubuk mereka memang cukup jauh. Tak lupa Jaka mengajak serta Anjani. Anjani yang pada awalnya berniat tidak ikut pada akhirnya harus tetap pergi ke sungai, karena dirinya merasa tidak berani sendirian di gubuk tua itu.
Sungai yang jernih dengan aliran air yang tenang serta ikan-ikan kecil yang terlihat bergerombol mendekat ke arah Anjani yang saat itu tengah duduk di pinggirnya. Anjani larut bercengkrama dengan ikan-ikan kecil dan kupu-kupu berwarna biru-hitam yang hinggap di dedaunan dekatnya. Tak lama kemudian Jaka pun memanggilnya untuk segera pulang. Namun Anjani tidak mengindahkan. Ia justru menyuruh Jaka dan Nek Uli untuk pulang terlebih dahulu ke gubuk.
Senja datang. Anjani tersadar dari cengkramanya ketika dilihat warna daun sudah mulai berubah, yang menunjukkan bahwa malam akan segera datang. Anjani bergegas beranjak dan pergi dari sungai. Dirinya yakin bisa menemukan jalan pulang. Namun setelah terasa jauh berjalan ia justru sadar bahwa dirinya sudah tersesat. Jalan yang sekarang ia lalui sama sekali bukanlah jalan yang ia tempuh saat hendak menuju sungai. Anjani mulai merasa panik dan ketakutan seraya memanggil Jaka. Namun tak terdengar Jaka menyahut.
Anjani terus berjalan menelusuri hutan sampai pada akhirnya ia merasa sudah tidak kuat lagi berjalan dan duduk bersandar di sebuah pohon besar. Kedua kakinya ia pegang erat karena kedinginan seraya berdo’a agar Jaka segera datang menemuinya.
Gelap tanpa cahaya sedikitpun ditambah hawa dingin hutan yang terasa begitu menusuk. Anjani berusaha melawan rasa takutnya dengan memejamkan matanya. Ia berharap bisa tertidur sehingga ia tak harus merasakan takut yang luar biasa itu. Namun sama sekali matanya tidak bisa terpejam.
Sungguh tidak ada satupun hal yang bisa mewakili ketakutannya kala itu. Bahkan ia berfikir ini adalah hari terakhir hidupnya. Ditambah lagi penyesalan muncul ketika ingat bahwa ia belum sempat minta maaf kepada orangtuanya. Untaian do’a tak lupa ia panjatkan seraya terus melawan hawa dingin hutan yang terasa menggigit.
Tak lama setelah itu ia melihat cahaya dari kejauhan. Anjani yakin bahwa itu adalah malaikat penolong yang dikirim Tuhan untuknya. Benar saja yang datang itu ternyata Jaka. Cahaya yang dilihat Anjani adalah obor yang dibawa Jaka. Anjani sangat senang. Rasa takutnya langsung hilang begitu saja dengan kedatangan Jaka. Tak banyak kata yang diucap Jaka selain mengajak Anjani untuk pulang. Namun Anjani menolak. Karena ia merasa tak kuat lagi untuk berjalan.
Hal itu membuat mereka harus bermalam di hutan. Jaka pun mengumpulkan ranting pohon untuk dibuat unggun, sementara Anjani memilih untuk tetap duduk sembari terus memperhatikan Jaka. Rasa kagumnya pada Jaka pun muncul tanpa alasan yang bisa ia jelaskan. Lamunannya larut bersama kantuk berat yang mulai datang.
Bersandar ke sebuah dahan pohon besar yang tumbang Anjani terlihat sangat kedinginan. Jaka menyelimutkan kain sarung yang dibawanya pada Anjani. Jaka berusaha untuk tidak tidur, karena ia khawatir jika sewaktu-waktu ada binatang buas yang datang menerkam mereka.
Matahari pagi mulai muncul. Warna kuning keemasan tampak jelas dipantulan daun-daun disekitar Anjani yang masih larut dalam tidurnya. Tak lama ia pun tersentak. “Pantasan tidurku nyenyak semalam!” ujar Anjani sambil berdiri dan memandang sekeliling berharap bisa melihat Jaka. Jaka ternyata saat itu tengah mengumpulkan kayu bakar untuk dibawa ke gubuk.
“Jaka, makasih ya sudah memakaikan aku selimut tadi malam. Sehingga aku tidak kedinginan!” “Iya, sama-sama!” ujar Jaka singkat.
Jaka membawa tumpukan kayu bakar dan berjalan menelusuri hutan untuk kembali ke gubuk. Sesampainya di gubuk didapati sang nenek tengah membuat anyaman tas dari rotan. Anjani yang baru sampai langsung menghampiri Nek Uli.
Anjani sepertinya mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Ia mulai tampak akrab dengan sunyinya hutan. Ia pun sekarang tak sungkan membantu setiap pekerjaan yang dilakukan Nek Uli dan Jaka. Suatu waktu ketika Jaka berpamitan untuk pergi ke pasar yang terletak puluhan kilometer dari gubuk mereka, Anjani merengek minta ikut. Meskipun Jaka menolak mengajak serta Anjani. Namun Nek Uli berhasil meyakinkan Jaka, bahwa Anjani tidak akan merepotkannya dalam perjalanan. Jaka pun pada akhirnya setuju mengajak serta Anjani.
Puluhan anyaman rotan hasil kerajinan tangan Nek Uli siap untuk dijual. Tak lupa mereka membawa bekal secukupnya selama perjalanan. Meskipun Anjani sedih harus meninggalkan Nek Uli sendirian. Namun ia tetap lebih memilih untuk ikut dengan Jaka ke pasar.
Perjalanan menuju pasar begitu dinikmati Anjani. Bersama Jaka, perjalanan panjang pun terasa singkat baginya. Jaka pun tak mengerti kekuatan apa yang membuat Anjani bisa berjalan sejauh itu tanpa mengeluh sedikitpun.
Sore datang. Mereka harus sejenak menghentikan perjalanan. Pinggiran sungai adalah tempat paling aman untuk bermalam. Selain dekat dengan sumber air, mereka juga bisa menangkap ikan untuk dimakan. Tidak ada tenda untuk menaungi mereka jika sewaktu-waktu hujan turun. Namun untung saja malam itu penuh bintang. Bulan pun bersinar terang. Duduk sambil menghangatkan badan menjadi pilihan terbaik yang dilakukan Anjani kala itu. Sementara Jaka sibuk mencari ikan di sungai. Tak sulit bagi Jaka. Ia sudah membawa dua ikan segar yang akan menjadi pengisi perut mereka malam ini.
Jaka yang pendiam mulai terbuka dengan Anjani. Bergegas ia membawa ikan tersebut pada Anjani dan langsung membakarnya. Hutan telah mempertemukan Anjani dan Jaka. Sosok laki-laki yang belum pernah ia temui hingga usianya menginjak 18 tahun.
Pagi datang yang artinya perjalanan harus kembali mereka lanjutkan. Hutan yang mereka telusuri terlihat semakin indah. Sebuah tempat yang belum pernah Anjani kunjungi sebelumnya. Senyumnya ia lemparkan pada Jaka yang berjalan di belakangnya setelah ia mencium sebuah bunga berwarna keunguan dengan kelopak mekar serta aromanya yang khas. Ketika ia berniat memetik bunga tersebut Jaka pun melarangnya. “Kalau kamu petik bunga itu. Saya akan meninggalkan kamu disini!”
Anjani sama sekali tak mengerti ucapan Jaka. Apakah Jaka benar-benar akan meninggalkan dirinya ketika ia memetik satu tangkai saja bunga tersebut. Namun ia paham bahwa memang seharusnya ia tidak memetiknya.
Hutan yang ditelusuri kali ini memang sangat indah. Anjani merasa dirinya tengah berada di sebuah taman istana. Ditambah aliran sungai yang jernih semakin menyejukkan mata siapapun yang melihatnya. Bahkan terucap dari bibirnya kenapa Jaka dan Nek Uli tidak membangun gubuk di tempat itu. Namun Jaka tak banyak bicara. Ia justru mempercepat langkahnya. Anjani sadar, bahwa tak seharusnya ia terus menginterogasi Jaka dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu penting.
Anjani dan Jaka sampai di sebuah pasar tradisional. Aneka hasil bumi dijual di pasar itu. Anjani benar-benar takjub. Ia merasa sedang dibawa ke zaman kerajaan tempo dulu. Dimana orang-orang yang ia temui di pasar itu berpakaian layaknya rakyat zaman kerajaan yang selama ini hanya ia lihat di media televisi. Jaka pun langsung menyuguhkan kerajinan rotan kepada salah seorang pedagang yang menjual aneka ragam barang-barang hasil buatan tangan masyarakat lokal. Semua laku terjual.
Mereka pun menelusuri pasar untuk melihat-lihat sesuatu yang mungkin ingin dibeli. Mereka berhenti di sebuah lapak yang menjual minuman. Minuman yang aneh bagi Anjani karena terbuat dari daun-daun dan akar-akar pohon serta campuran rempah yang membuat dirinya ingin muntah ketika hendak meminumnya. Namun Jaka bilang bahwa minuman itu sangat bermanfaat untuk kesehatan. Anjani pun meminumnya sampai habis.
Ternyata anak dari pedagang penjual minuman itu adalah perempuan sebaya Jaka dan Anjani. Gadis itu bernama Rahayu. Parasnya cantik dengan lesung pipit di pipi sebelah kanannya. Rahayu menawarkan agar Anjani dan Jaka mau untuk makan siang di rumahnya. Namun Anjani menolak mentah niat Rahayu tersebut. Entah hal apa yang membuatnya bersikap demikian. Mungkin dirinya cemburu dengan gadis tersebut. Namun Anjani harus mengaku kalah. Jaka sama sekali tidak keberatan dan menerima tawaran tersebut.
Makan siang di rumah Rahayu menjadi hal yang tidak pernah diimpikan Anjani. Bahkan ia berfikir bahwa Jaka sudah jatuh cinta pada gadis tersebut. Tak berapa suap ia makan. Dirinya langsung mengajak Jaka untuk pulang ke gubuk. Jelas Jaka merasa tidak enak hati dengan Rahayu yang sudah menghidangkan mereka aneka makanan dan harus ditinggalkan begitu saja.
Tak mempedulikan Jaka, Anjani langsung pergi meninggalkan Rahayu dan Jaka dan berlari menuju ke arah pasar untuk mencari jalan pulang ke gubuk melalui hutan. Anjani yakin Jaka akan menyusulnya. Namun hampir setengah jam menelusuri hutan tak tampak tanda-tanda bahwa Jaka akan menyusulnya. Ia justru harus bertemu dengan seekor buaya ketika dirinya hendak menyeberang salah satu sungai di hutan tersebut. Anjani pun berteriak histeris.
Anjani tersadar dari mimpinya ketika sang ibu yang tiba-tiba datang dan membangunkannya. Anjani sendiri benar-benar tidak bisa menterjemahkan mimpinya. Indah, aneh sekaligus menakutkan. Namun sosok Jaka masih terngiang jelas difikiran Anjani. Bahkan ia berharap benar-benar bisa bertemu Jaka di dunia nyata.
Sang ibu langsung menyuruhnya untuk mandi dan bersiap-siap, karena guru privat yang akan mengajarnya sudah sampai di rumahnya. Hal ini sama sekali tak disukainya. Menurutnya belajar seorang diri dengan guru privat akan menjadi hal paling membosankan seumur hidupnya. Namun ia pun sadar, ini menjadi salah satu cara agar tak selalu mengecewakan orangtuanya dengan nilai rendah yang selalu didapatkannya di sekolah.
Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, Anjani turun dari kamar di lantai dua rumahnya. Sang ibu dan guru privat yang akan mengajarnya sudah menunggunya dari lima belas menit yang lalu di ruang tamu. Anjani benar-benar terkejut saat melihat bahwa seseorang yang ada di depannya tersebut sangat mirip dengan Jaka, sosok orang yang ada dalam mimpinya. Tanpa ragu ia langsung memperkenalkan diri. “Kamu Jaka kan, aku Anjani!” ujarnya. Sang ibu jelas heran. Sejak kapan anaknya berganti nama. Begitupun halnya dengan Dimas, guru privat yang akan mengajarnya. Dimas hanya bisa tersenyum melihat tingkah calon muridnya itu. “Sayang, apa maksud kamu. Nama kamu tu Vania, bukan Anjani. Guru privat kamu ini namanya Dimas. Bukan Jaka!” ujar Bu Anita heran.
Vania tersentak. Ia sepertinya memang belum move on dari mimpi yang baru saja dialaminya. Dirinya hanya bisa tersenyum malu. Namun dalam hatinya ia begitu sangat senang karena Jaka yang ada dalam mimpinya bukan khayalan. Ia nyata dan saat ini tengah berada di dekatnya. Tak lupa Vania mengucapkan terimakasih pada Bu Anita mamanya. Vania memeluknya seraya meminta maaf selama ini selalu mengecewakan orang yang sudah melahirkannya tersebut. Vania berjanji akan merubah sikapnya selama ini. Dimas yang duduk disebelah mereka juga ikut melihat ketulusan janji seorang anak pada ibunya.
Bu Anita meninggalkan Vania dan Jaka di ruang tamu. Sebelum kegiatan belajar dimulai. Vania meminta waktu pada Dimas untuk menceritakan mimpinya, dengan senang hati Dimas pun mau untuk mendengarnya. Dimas mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Vania sambil sesekali melempar senyum padanya. Vania begitu sangat senang. Dalam hatinya terucap bahwa sosok Anjani memang benar-benar bertemu dengan sosok Jaka yang begitu baik dan sopan, yang membuat dirinya selalu kagum padanya. Ditambah lagi ketampanannya juga luar biasa dengan penampilannya yang tetap sederhana. Sosok itu semuanya ada pada Dimas yang saat ini duduk beberapa meter saja darinya.
Mimpi itu benar-benar membuat seorang Vania berubah menjadi orang yang lebih baik. Nilainya di sekolah berangsur membaik semenjak dirinya belajar bersama Dimas. Bahkan suatu hari nanti ia ingin Dimas tidak hanya menjadi guru privat, namun menjadi pasangan hidupnya suatu saat ujar Vania mengakhiri tulisan dalam buku diarinya.
Cerpen Karangan: Nani Wijaya Blog / Facebook: Nani Wijaya