Di depan rumahku ada sebatang pohon kudu yang sengaja aku tanam untuk obat. Usianya hampir 5 tahun sehingga pohonnya cukup besar dan rindang. Daunnya hijau segar dan buahnya selalu lebat tak kenal musim. Ia termasuk tanaman yang berbuah sepanjang waktu. Karena khasiat obatnya yang sudah diketahui banyak orang, maka banyak orang yang meminta buahnya untuk obat herbal.
“Pak boleh minta mengkudunya?” kata Pur di suatu sore. “Silahkan Pak. monggo diunduh sendiri, itu galanya,” jawabku sambil menunjukkan sebatang bambu apus sebagai galanya. “Waduh, sudah tinggi dan besar pohonnya,” kata Pak Pur lagi. “Memang ditanam ya Pak?” tanya Pur. “Iya, saya konsumsi setiap hari,” jawabku. “Untuk penyakit apa Pak?” “Katanya sih, segala penyakit. Baca saja di internet. Banyak kok bahasan manfaat buah mengkudu ini,” jawabku. “Baiklah, saya ambil ini ya,” katanya sambil membawa beberapa buah mengkudu yang sudah diunduhnya. “Ya. Semoga bermanfaat,” kataku. “Terima kasih,” ucapnya. “Sama-sama,” jawabku.
Sejak minum air rebusan buah mengkudu dan dicampur madu, Pur merasakan badannya ringan dan tak sering pusing-pusing. Tidurnya pun jadi nyenyak. Namun, kini ia sering bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan wanita cantik berbaju putih. Dalam mimpi wanita itu mengaku sebagai penunggu pohon kudu yang ada di depan rumah Pak Son yang ia mintai buah mengkudunya beberapa hari yang lalu.
“Mas, datang dong ke rumahku?” kata wanita itu. “Di mana rumahmu?” tanya Pur. “Ya, di pohon kudu itu,” jawab wanita itu. “Baiklah, besok saya akan ke rumahmu,” jawab Pur. “Kenapa nunggu besok? Sekarang saja Mas. Aku tunggu ya?” rayu wanita itu. Dan Pur terhipnotis rayuannya sehingga tak bisa menolaknya. Lantas ia berjalan menuju pohon Kudu yang berada di depan rumah Pak Son yang tak jauh dari rumahnya. Hanya beda gang saja.
Pur merasa berdiri sebuah gerbang istana yang megah. Sebentar kemudian pintu terbuka dan seorang wanita cantik berpakaian seorang ratu menyambutnya. “Selamat datang Mas,” sambutnya sambil tersenyum. Pur tergagap, tak mampu bicara karena terpesona kecantikan wanita itu. Ia melangkahkan kaki masuk istana itu. Dua langkah masuk, ia dicegat dua pengawal yang memintanya berhenti lalu dua orang abdi istana memakaikan mahkota dan jubah kebesaran raja. Ia sangat tampan dan gagah dengan baju kebesaran istana itu, baju seorang raja.
“Silahkan masuk Baginda,” ucap pengawal sambil membungkuk penuh hormat. Kemudian Sang Ratu mengandeng tangannya berjalan beriringan memasuki istana yang megah berhias emas dan intan berlian. “Acara apa ini?” tanya Pur. “Penobatan raja dan ratu,” jawab Wanita itu. “Apa? Aku bukan raja,” kata Pur. “Kanda raja sekarang dan aku ratumu,” jawab wanita itu sambil tersenyum menggoda.
Waktu terus melaju. Saatnya mereka menuju peraduan. Pak Pur rasakan belaian sang ratu membangkitkan gairah lelakinya. “Mari kita tuntaskan malam ini,” bisik sang ratu di telinga Pur.
Sejak itu Pur beroleh kepintaran menyembuhkan berbagai penyakit melalui media buah mengkudu itu. Pak tekanan darah saya kok tinggi terus ya, sudah berobat ke dokter tak sembuh juga,” kata Pak San pada suatu pagi. “Coba minta Kudu di depan rumah Pak Son, terus bawa ke sini,” jawab Pur. “Baiklah, terima kasih.”
Sebentar kemudian Pak San sudah bergegas meminta kudu kepada Pak Son dan membawanya kembali ke Pur. “Ini Pak kudunya,” kata Pak San. “Waduh, banyak amat?” ujar Pur. Kemudian buah kudu itu didoai oleh oleh Pur. Doa yang diajarkan oleh penunggu pohon kudu itu.
“Ini direbus dengan air sampai mendidih, terus sisakan sampai satu gelas dan diminum sebelum tidur,” kata Pur. “Terima kasih Pak,” ucap Pak San. “Sama-sama,” jawab Pur. “Ketika Pak San pulang ia ternyata menaruh selembar uang biru di bawah cangkir kopi yang disuguhkan istri Pur. Pur tersenyum dan menganggap itu rejeki, toh ia tidak memintanya.
Mulut memang lebih panjang dari jalan. Dari bisik-bisik, ngomong pelan-pelan, akhirnya sampai pada bicara terang-terangan bahwa Pak Pur sekarang punya keahlian mengobati orang sakit. Sejak itu Pak Pur terkenal sebagai “dukun tiban”. Orang-orang semakin banyak yang minta “tolong” mengobati berbagai keluhan sakit bahkan yang tak kasat mata.
Suatu malam Pur dan Son bertemu di gardu ronda untuk jaga desa. “Hati-hati lo Pur, niatmu menolong orang ya?” “Maksudmu?” “Jangan komersial, jangan mematok tarif.” “Sumpah, demi Allah aku tak pasang tarif!” “Syukurlah.”
Buah kudu di depan rumah Pak Son setiap hari ada saja yang meminta. Ketika keluarga Pak Son pergi keluar kota, secara tak sengaja ada seorang peternak lele yang mencari buah kudu. Dulu, bertahun yang lalu, ia pernah membeli kudu itu. Dan tanpa memberitahu, semua buah kudu di pohon itu diunduhnya sampai habis, tinggal yang masih muda dan kecil. Dan seperti biasa ia lemparkan saja uang pembelian kudu itu ke teras rumah Pak Son karena kelihatan tak ada orang.
“Lho, kok dihabisin kudunya Pak?” tanya Bang Tom, tetangga Pak Son. “Saya beli Pak,” jawab orang itu. “Pak Son kan gak ada di rumah. Sampean beli ke siapa?” bantah Bang Tom. “Dulu orangnya pernah bilang kalo mau beli kudu ini, ambil saja, uangnya lempar ke teras kalau tak ada orang,” jawab lelaki itu. “Masa?” tanya Bang Tom tak percaya. “Iya Pak. Tuh, uangnya udah saya lempar ke teras,” jawab lelaki itu. Bang tom melihat bungkusan uang biru dalam plastik yang tergeletak di teras rumah Pak Son yang pagarnya terkunci.
Esoknya banyak orang yang akan meminta kudu itu kaget dan kecewa karena tak ada satu pun kudu yang bisa dibawa ke Pur. Namun orang-orang itu mengakalinya dengan membawa buah kudu dari tempat lain. “Yang penting bawa kudu,” kata mereka. “Iya, masak tahu kalo kudu yang kita bawa bukan kudu dari pohon itu,” timpal yang lain.
Dan sejak itu banyak orang kecewa dengan Pak Pur. Ia tak tahu bahwa kudu di rumah tetangganya itu telah habis. Ia terlalu asyik dengan profesi barunya sehingga jarang keluar rumah untuk sekedar melihat pohon kudu itu.
Hari ini hari Kamis malam Jumat Legi. Ia datangi pohon kudu itu. Ia terkejut ketika ternyata tak ada satu pun buah kudu tersisa. “Oh, mungkin ini sebabnya,” katanya dalam hati.
Ketika berangkat tidur, ia berharap bertemu dengan penunggu pohon kudu itu dalam mimpi. Dan benarlah harapannya. Ia bermimpi memasuki istananya tapi tak ada seorang pun di sana. Ia mencari-cari ratunya. Ketika masuk kamar ratu ia dapati ratu tergolek lemas tak berdaya.
“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Pur sambil memeluk wanita itu. “Aku lupa memberitahumu bahwa kudu itu tak boleh habis,” kata wanita itu dengan sisa-sisa tenaganya. “Maafkan aku, aku tak tahu ada orang yang menghabiskannya.” “Karena kamu sibuk dengan tamu-tamu, bahkan aku jarang kamu datangi.” “Maafkan aku.” “Mulai besok kamu akan kembali seperti dulu lagi. Kamu tak bisa lagi menolong orang-orang,” kata ratu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
“Tebang saja pohon kudu itu,” kata Pur di suatu malam ketika berjaga kamling bersama dengan Pak Son. “Lho kenapa?” “Tak ada khasiatnya sekarang,” jawab Pur. “Biarlah Pur. Aku kuatir jika pohon kudu itu aku tebang, kau pun ikut mati,” kata Pak Son jengkel. “Apa?” “Kau kira aku tak tahu dengan persekutuanmu dengan wanita di pohon kudu itu?” Pur terdiam. Ia malu sekali. Ternyata tetangganya itu tahu apa yang dilakukannya.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S.