“Maaf, Pak, tapi Bapak mengikuti saya dari tadi,” ujarku. Si tua itu malah memandangiku lebih intens di bagian dadaku. Aku benar-benar sangat terusik, rasanya aku ingin menggunakan jurus menghilangkan diri, tapi sayangnya aku tak memilikinya. Aku mencoba mengabaikan tua bangkotan itu dengan terus berjalan ke simpang jalan. Ada sedikit rasa menyesal karena aku mencoba jalan pintas baru dari rumahku untuk bisa sampai ke gerobak angkringan Kang Mamat. Aku berjalan terus sambil sesekali melirik tua bangkotan itu. Terlihat sekali si tua itu minum terlalu banyak, bahkan berjalan saja sepertinya harus dituntun.
Mataku terbelalak kala melihat tangannya yang hampir menyentuh tubuhku, untung saja aku cepat menghindar. Aku menggunakan tanganku untuk menghempas tangannya yang liar itu. “Hush.. saya tidak segan untuk menghabisi Anda!” “Anak manis, mari kita bersenang-senang malam ini,” ucapnya dengan kesadaran yang hampir tidak ada. “Mimpi apa saya kemarin sampai saya ketemu orang seperti Anda. Pasti Anda punya anak, kan? Apa Anda tidak memikirkan perasaan anak Anda ketika melihat Ayahnya seperti ini?” ucapku menasehati. Entah atas dasar apa aku menasehati orang mabuk yang sudah jelas-jelas setengah sadar seperti ini. Tapi sepertinya itu cukup untuk menetralkan rasa takutku sekarang, aku takut kalau tua bangkotan itu melihatku takut seperti ini lalu ia akan semakin berani mempermainkanku.
Baru saja tua bangkotan itu akan memelukku, tubuhku merasakan angin yang kuat dan singkat, sekejap saja tua bangkotan itu hilang. Aku jadi merasa sangat takut sekarang. “Oh Tuhan, apa lagi ini?” Tapi tiba-tiba… Aku sudah berada di tempat yang berbeda, tepatnya aku berada di bangunan kosong yang sudah dipenuhi ilalang. Pikiranku hanya tertuju pada satu, Poland.
“Sudah kuduga itu kau,” ujarku. “Hahaha! Wajah takutmu membuatmu semakin jelek,” ujar Poland.
Poland adalah vampir jelek yang sudah bersamaku sejak dua bulan lalu. Kedatangannya di sini bukan tanpa alasan. Ia ditugaskan Kastil untuk mengawal Putri Kastil melakukan beberapa pertemuan dengan kerabat di Jepang. Benar, Poland mengabaikan tugasnya dan malah nyasar sampai ke Indonesia. Katanya, di Alaska ia tak bisa menemukan tempat-tempat seperti yang ada di Indonesia. Kota paling basah itu membosankan, belum lagi ia harus bertugas di Jepang yang sedang musim dingin. Ia sangat ingin memiliki kulit eksotis seperti Rihanna, namun keinginan itu segera dipatahkan dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang vampir. Oh iya, soal vampir jelek itu adalah bohong, ia sangat tampan dengan kulit dinginnya yang hampir membiru.
“Sudah kukatakan, kalau kau memerlukan bantuanku, kau harus menekan tombol di gelangmu itu. Mengapa kau diam saja tadi? Ah.. apakah sebenarnya kau menikmati momen dengan pria itu? Sshh.. sia-sia saja aku menghisap darahnya sampai habis,” ujarnya dengan nada menjengkelkan. ”Jangan sampai ada kasus manusia menggigit vampir karena kesal dituduh sebagai seorang jalang,” ujarku. Ia langsung tertawa, sangat puas kelihatannya. “Hahahahaha!”
Aku memutar bola mataku malas, aku memutuskan untuk berjalan keluar bangunan. Namun dalam 3 detik aku sudah berada di luar bangunan. Benar saja, vampir itu melesat sambil menarikku. “Selanjutnya apa?” tanyanya. “Aku lapar bodoh!” Pasalnya, alasan aku sehingga berada di luar rumah adalah ingin mengunjungi Kang Mamat, si penjual sate padang. Ia mengangguk dan berancang-ancang akan melesat, lagi. Tapi dengan segera aku menarik tanganku dan menggeleng pada Poland yang tampak kebingungan sekarang. “Aku mau memanfaatkan pemberian dua kaki dari Tuhanku,” ujarku sambil menatap kedua kakiku. Poland mengernyit tak paham, membuat napasku lolos begitu saja. “Aku tidak mau melesat, aku ingin berjalan dengan kakiku”. Poland mengangguk paham. “Ya sudah, ayo! Setelahnya kau harus menemaniku seperti biasa, oke?” “Ya ya ya, seperti biasa pukul 12.00”. Vampir itu tersenyum menanggapi jawabanku. Lihat wajahnya, sudah kubilang kalau ia tampan. Kalau saja ia manusia sepertiku, mungkin aku akan melamarnya menjadi suamiku.
Tak sampai 10 menit berjalan, akhirnya kami tiba di gerobak Kang Mamat. “Kang! Rindu saya gak?” tanyaku sambil duduk di bangku plastik yang hampir patah. “Rindu lah, neng. Sudah satu hari tidak bertemu,” ujar Kang Mamat. “Jelek seperti ini apa yang harus dirindukan”. Tiba-tiba vampir ini mencela. “Kau diam saja bodoh! Pendapatmu tidak perhitungkan disini!” balasku. “Kau yang diam! Kau terlalu over percaya diri, banyak yang akan tidak suka denganmu!” ujarnya. “Sudah kuberitahu, pendapatmu tidak diperhitungkan!” balasku sambil berdekap dada.
“Berhenti!!!” Suara Kang Mamat berhasil meninterupsiku, aku beralih menatap Kang Mamat yang pasti sangat jenuh melihat aku dan Poland berdebat sejak dua bulan lalu. Pasalnya ini bukan malam pertama kami berdebat, sudah seperti rutinitas bagi kami. Aku menyengir pada Kang mamat. “Satu porsi seperti biasa, Kang. Tidak pakai kecap, bawang goreng yang banyak, sambal yang banyak,” ucapku. Kang Mamat langsung sigap untuk menyiapkan pesananku.
“Kau, bukannya ini hari terakhir pengawalanmu?” tanyaku pada Poland setelah diam beberapa saat. Ia mengangguk, “Besok malam aku kembali ke Alaska. Oh tidak, itu artinya aku akan meninggalkan bocah ini sendirian, pasti sangat berat bagimu jauh dariku,” ujarnya sambil mengelus rambutku. Layaknya seorang ibu yang berpamitan dengan anaknya ketika ingin pergi arisan. “Jauhkan tanganmu yang kotor itu dari kepalaku! Seandainya saja kau pulang sekarang juga, pasti akan sangat menyenangkan bagiku,” balasku.
Tak lama, Kang Mamat membawa satu piring sate padang yang sangat lezat. Tanpa menunggu perintah siapapun, aku langsung melahap makananku tanpa memikirkan Poland yang terus melihatku. Mungkin di pikirannya sekarang adalah ingin melahap dan menghabisi darahku.
Setelah aku menghabiskan sate padangku, tak lupa aku membayar dengan dua lembar uang sepuluh ribuan. Aku dan Poland berdiri dari bangku, untungnya selama duduk tidak ada adegan tersungkur. Aku melihat jam di ponselku, sudah pukul 23.00 malam. Tak lama Poland langsung menarik tanganku sambil berjalan ke balik pohon, setelahnya ia melesat sambil terus memegang tanganku.
Akhirnya kami tiba di hutan ini lagi, rutinitas si vampir ini untuk menyembah bulan. Ia biasa melakukan ini pukul 24.00 tepat, sambil membasuh wajah dengan satu cangkir wine. Sejujurnya aku tak tahu apa maksud dan tujuan dari ritualnya ini, tapi biasanya setelah melakukan ritual Poland akan kehilangan kendali. Poland pernah mengatakan ia tak akan mengapa-apakanku, katanya aku memiliki darah keturunan Impaler yang sebenarnya aku tidak tau seperti apa. Ia juga menambahkan kalau aku beruntung lahir tepat di saat pergantian tahun, aku diperbolehkan memilih untuk lahir sebagai manusia atau vampir. Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya bahwa vampir itu benar adanya. Memiliki teman seorang vampir cukup mencampur adukkan hidupku selama dua bulan.
12.00 PM “Argh!” Wajah Poland menghitam, taringnya muncul, kuku-kuku jari tangannya memanjang, tak lupa aku melakukan sesuatu seperti biasa. Aku memeluknya tenang, menangkup wajahnya dan menciumnya sekilas di bibir. Cup
Tubuh Poland terjatuh ke rumput, aku tak sanggup menahan tubuhnya yang mendadak berat. Akhirnya aku ikut duduk memangku kepalanya dengan tanganku. Perlahan Poland sadar, ia menatapku lekat tepat di bola mataku. “Seandainya kau vampir, aku akan menikahimu”. “Mari antarkan aku pulang, aku sudah kabur terlalu lama, ibu kost akan memarahiku kalau tau aku tidak disana,” ujarku. Poland mengangguk dan menarik tanganku untuk segera melesat dengannya.
Pukul 01.17 aku tiba di rumah, aku masuk ke kamarku dan bersiap untuk tidur. Aku membasuh wajah dan kaki dengan air. Sangat melelahkan sekali perjalanan kali ini, rasanya ada yang mengganjal. Ah iya, ini artinya akan menjadi 12.00 PM terakhirku dengan vampir bodoh dan jelek itu. Memikirkannya membuatku ketiduran.
Tok tok Tok tok Aku sedikit terkejut ada yang mengetuk jendelaku di jam segini, aku melihat jam, pukul 03.00 pagi. Aku berpura-pura tidak mendengar dan mengurung diriku dalam selimut. Jendelaku masih terus diketuk dari luar. Benar-benar aku kehilangan keberanianku sekarang, rasanya aku ingin memotong telingaku sebentar saja.
“Buka bodoh!” Tunggu sebentar.. sepertinya aku mengenali suara ini. Aku meyibakkan selimut dan berjalan pelan menuju jendela. “S-siapa?” tanyaku dengan hati-hati. Bisa saja ini hanya tipuan. “Ini Kang Mamat bawain sate padang”. Baik, aku tau ini Poland, tapi untuk apa dia datang sekarang.
Aku membuka jendela perlahan sehingga memperlihatkan wajah tampan dingin itu. Ternyata yang diucapkannya benar, ia membawa 12 porsi sate padang. Aku tertegun dengan bawaan Poland, sangat berlebihan. “Gila, kau menyuruhku menjadi reseller Kang Mamat?!” geramku. “Aku harus kembali ke Alaska sekarang, aku tidak mau terlalu terang saat aku kembali nanti,” ujarnya membuatku diam. “Hei..” panggilnya. “Pulang sana! Jangan membuatku susah lebih lama, cepat!” ujarku. Aku berusaha untuk tidak menangis sekarang.
Deg Poland mengelus rambutku, lagi. “Ya sudah, sesuai keinginanmu sayang, aku pamit”.
Seketika Poland benar-benar hilang dari pandanganku, ia melesat begitu cepat. Padahal belum sempat aku memeluknya. Ya sudah tak apa, aku akan kembali menjadi diriku sebelum dua bulan lalu. Terimakasih vampir tampan, Poland.
Tamat
Cerpen Karangan: Josepin Putri Nadya Blog / Facebook: Josephine Purba
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 14 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com