Aku bahkan tidak dalam keinginan untuk membayangkan ataupun mengharapkan kedatangan makhluk sepertimu. Bersama yang lain, aku sedang menikmati penderitaanku dan mencoba menemukan kata terbaik untuk mengeluh. Sudah terbiasa jika diriku akan menjadi yang terakhir untuk keluar dari permasalahan ini. Lagi pula, itu hanya kandang ayam bekas yang entah mengapa begitu luas hingga teman-temanku dan aku muat di sana. Tidak masalah juga, toh aku masih bisa bernafas dengan baik. Satu hal yang mengusikku adalah pemandangan luar dengan orang-orang yang bebas berlalu-lalang. Satu hal, yaitu kebebasan. Dan ya, satu hal itu adalah rasa iri terhadap kebebasan yang dimiliki orang lain. Hal lain yang bisa menjadi masalah adalah baba pemilik kandang ayam ini. Selain karena kehadirannya yang tidak memberi kebaikan, celotehannya dalam bahasa Mandarin juga membuatku pusing. Wajar saja itu terjadi, aku hanya menghadiri 4 kali pertemuan bahasa Mandarin dalam satu semester. Membaca pinyin saja aku sudah kewalahan, apalagi jika disuguhi hanzi. Aku sungguh makhluk yang payah.
Kemudian ini menjadi lebih menjengkelkan ketika anak-anak kelas lain mulai keluar dan berdatangan untuk melihat kami. Jujur saja, aku tidak ingat mengapa aku dan beberapa temanku berakhir di kandang ayam ini. Apakah ini sejenis hukuman? Untuk apa? Aku tidak ingin mempermalukan diriku dengan permintaan tolong kepada mereka. Kalau bisa, biarkan saja aku membusuk di sini. Dan apa? Dan mengubur semua impianku seperti ketika baba itu mengubur kotoran ayam dengan tanah. Kenapa hal menjijikkan bisa muncul di suasana genting seperti ini?
“Hey” Entah suara siapa itu, begitu dekat namun mataku terlalu malu untuk terbuka. Parahnya, ini bisa jadi hal serius karena kini aku merasakan guncangan di seluruh tubuhku. Gempa bumi? Sepertinya bukan. Ya, seseorang dengan tega mengguncangkan tubuh lemahku ini.
“Hey” Apakah dia sang pemilik suara? Kubuka perlahan mataku. Terasa sangat pusing karena aku tertidur dalam posisi duduk. “Give me your hand” Seorang laki-laki berada tepat di hadapanku. Dia berada di luar kandang. Terlihat seumuran denganku dan bukan wajah yang asing. Jika dia salah satu murid di sekolahku, apa yang dia lakukan dengan kostum pangeran itu? Aku mencoba mengingat tidak ada pentas seni yang sedang atau akan digelar.
“Give me your hand” Dari wajahnya, dia seperti bukan orang Cina. Namun aksen Cinanya sangat kental.
“Believe on me” Dan aku benar-benar mengulurkan tanganku padanya. Tidak ada waktu berpikir lagi. Entah mengapa aku merasa seperti itu.
“Believe on me, believe on me…” Mataku terpejam begitu dalam, yang kulihat hanya hitam. Hitam pekat yang anehnya bisa kurasakan. Dan entah bagaimana awalnya hatiku bergumam “aku percaya”
Mataku kembali terbuka dan dialah yang pertama aku lihat. Aku merasakan sebuah perbedaan dari kandang ayam terkutuk ini. Tidak! Tidak ada kandang ayam lagi! Semua pagarnya lenyap, dan aku bebas!
Dia tersenyum lagi, “give me your hand” “Ada apa lagi?”, kujawab begitu, lupa menggunakan bahasa ibuku, dan berpikir bahwa dia takkan memahaminya. “Give me your hand”, aku tidak bertanya lagi dan hanya menghampirinya dengan mengulurkan tanganku. Biarkan aku jujur di sini, berjaga-jaga jika dia justru membawaku pada kematian. Hmm.. Aku menyukainya, dia penyelamatku. Sudah kubilang aku orang yang payah.
Apakah memang benar jika dia justru akan mengakhiri kehidupanku? Kegelapan yang kini ada kurasakan semakin dalam dan menusuk kepalaku. Beginikah rasanya sekarat? Atau aku sedang menuju surga? Atau.. Neraka? Aku semakin takut dan menggenggam tangannya lebih erat. Sebelum benar-benar mati (jika iya) aku akan mengatakan satu hal lagi. Kupikir aku sangat merasakan kenyamanan bersamanya. Hatiku lebih hangat saat menggenggam tangannya. Adakah sebuah kejanggalan di sini? Di mana otak, kepala serta badanku kesakitan, sedangkan hatiku berada dalam kedamaian. Namun, kenapa ini lebih lama dari sebelumnya?
Sayup-sayup kudengar dentuman lonceng gereja yang semakin lama semakin nyaring. Dan itu berarti aku semakin dekat dengan ajal bukan? Apakah yang kuceritakan baru saja adalah ceritaku menghadapi kematian? Jika benar, terima kasih kepada penyelamatku yang juga malaikat mautku. Selamat tinggal dunia!
Tidak ada kegelapan lagi, aku sungguh merasa sedang berada di depan pintu surga. Tapi, tangan yang kugenggam masih ada. Kini justru mengguncangkan tanganku. Apa ini?! Spontan aku membuka mata dengan paksa dan mendapati wajah laki-laki tadi sedang terkejut menatapku. Aku mengerjapkan kedua mataku berulang, sekitar 3 kali. Lalu aku mengedarkan pandanganku ke tubuhku sendiri karena bajuku terasa berat dan.. Baju pengantin? Kulepaskan tanganku darinya. Dentuman lonceng gereja sangat nyaring kali ini. Benar saja aku sedang berada di gereja.
“Let’s go”, bisiknya, lalu menggandengku masuk ke gereja. “What!” teriakku
Satu dentuman gereja lagi, tapi bagaimana bisa suaranya berpadu dengan deru mesin kereta api? Kubuka mataku perlahan. Aku berada di stasiun kereta api. Semua tulisan yang ada tak bisa kubaca. Di manakah aku kini? Apakah ini ulah dia lagi?
TAMAT
Cerpen Karangan: Sekar