Aku terbangun dari mimpiku. Masih terdiam di tempat tidur sembari menatap langit-langit plafon. Aku mimpi apa yah? Itulah yang tersirat dalam pikiranku ketika bangun. Tak ingin berlama-lama, aku mulai bangun dan melakukan aktivitasku seperti biasa.
“Ana, makan dulu baru berangkat,” sebuah suara menggagalkan niatku yang ingin berangkat sekolah. “hehe, males makan bunda,” balasku disertai senyuman. Bunda. Bunda adalah sosok yang paling kukagumi di dunia ini. Sosoknya yang terlihat kuat padahal rapuh, membuatku tidak bisa berhenti mengaguminya. “kalau gak makan nanti sakit perut loh, makan aja sedikit,”
Aku melepas sepatuku lalu berjalan menuju meja makan. Kuliat masakan bunda yang tertata rapi di meja makan. Dengan cepat aku mulai mengambil nasi dan lauk lalu memakannya dengan terburu-buru. “uhuk… Uhuk!” “duh makannya pelan-pelan aja dong,” Ucap bunda sembari memberikanku segelas air.
Lebih pelan dibandingkan sebelumnya, aku sarapan dengan cepat. Setelah selesai, aku buru-buru memakai sepatu dan mengambil tasku lalu berjalan keluar rumah. “Bunda aku berangkat dulu ya! Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam, hati-hati ya!”
Aku sudah merasakan keanehan semenjak masuk di kelas. Rasanya seperti deja vu. Entah mengapa, sekolah hari itu cepat sekali selesai. Karena bosan di rumah, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke taman lalu pulang ke rumah.
Taman itu terlihat ramai dari biasanya. Banyak anak kecil yang sedang bermain disana. Tetapi setelah kulihat lagi, sepertinya kata bermain itu tidak terlihat cocok. Kata yang lebih cocok adalah… Beberapa anak sedang mengganggu seorang anak perempuan. Mereka mendorong anak itu, menarik rambutnya, bahkan tak sesekali mereka melemparkan benda yang mereka bawa pada anak perempuan itu.
“hei! Kok kalian gituin teman kalian sih? Pergi sana, kakak laporin nih ke orangtua kalian, ” Mendengar ancamanku, beberapa anak itu lantas pergi meninggalkan si gadis kecil yang masih terduduk di tanah.
“masih kecil udah ganggu orang, gimana kalau besar coba?” aku membantu gadis kecil itu lalu menepuk pakaiannya yang kotor terkena tanah. “kamu gak papa?” tanyaku pada gadis itu. Ia mengangguk lalu tersenyum.
“Cecil,” Aku menatap gadis kecil itu dengan bingung. Melihat kebingunganku, ia tersenyum lalu menunjuk dirinya. “nama cecil,” ucapnya. “oh, nama kamu cecil?” Ia mengangguk membenarkan pertanyaanku. Aku tersenyum lalu merapikan rambutnya.
“rumahnya dimana? Mau kakak antar?” Cecil menggelengkan kepalanya lalu memberikanku sebuah kotak tua. Aku memegang kotak itu lalu menatap Cecil. “ini buat kakak, makasih ya,” setelah mengatakan itu Cecil pergi meninggalkanku yang masih terdiam menatap kotak tua itu. Tanpa kusadari, hari mulai sore dan dengan membawa kotak tua itu aku berjalan pulang ke rumah. Tetapi tiba-tiba saja sebuah mobil menghampiriku dengan cepat tanpa sempat aku menghindar.
BRUK Aku membuka mataku. Kurasakan benda empuk di bawahku. Kasur? Dengan tergesa-gesa aku bangkit dan berjalan menuju cermin. “loh? Kok aku baik-baik saja? Bukannya tadi aku ketabrak ya?” kutepuk pipiku berkali-kali. “sakit kok, ah berarti tadi aku sedang mimpi iya gitu!”
Kubalikkan badanku dan terpaku melihat sebuah kotak di samping tempat tidurku. Aku meraih kotak itu dan membukanya. Terdapat beberapa jam pasir dengan waktu yang berbeda-beda. Tapi yang lebih anehnya kotak itu terbagi dua. Di bagian atas seluruh jam pasir berwarna merah. Sedangkan yang bawah jam pasirnya berwarna biru. Kuraih jam pasir berwarna biru. “ini berapa menit ya?” kubalikkan jam pasir itu dan…
BRUK… “Aw…” aku mengelus kepalaku yang terbentur di meja. Aku mengernyitkan dahi bingung. Sekolah? Batinku.
Terlihat seorang gadis dan beberapa anak lainnya mendekati gadis berambut kepang. “heh, katanya kamu cuman tinggal sama ibu kamu ya? Kasihan deh gak punya ayah!”
Ah… Aku ingat, ini adalah saat aku diejek karena hanya tinggal bersama bunda. Aku menatap gadis berkepang dua yang sedang dikelilingi gadis lainnya. Ia menangis, gadis kepang dua itu menangis. Senyum getir terlukis di wajahku. Ah… Begitu rupanya aku di masa lalu. Padahal aku bisa melawan mereka, padahal aku bisa menyuruh mereka pergi… Kenapa aku hanya diam?
Suara bunyi jam pasir mengalihkan pandanganku. Eh? Jam pasirnya hanya lima menit? Di depanku adalah aku lima tahun yang lalu. Apakah aku… Kembali ke lima tahun yang lalu?
Belum sempat pertanyaanku terjawab aku sudah terduduk di atas kasur. Kulirik jam pasir yang kupegang. Kini warna pasir itu berubah menjadi abu-abu. Aku turun dari kasur dan berjalan menuju cermin.
“apa aku… Benar-benar kembali ke masa lalu? Lalu setelah itu aku kembali lagi?” kucubit diriku berusaha memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. “okay… Tenang, kita harus coba sekali lagi,” ku raih jam pasir berwarna biru dengan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya. “3… 2… 1…”
“pemenangnya adalah Ariana Leteshia!!! ” Sorakan dan teriakan memenuhi ruangan tempatku berada. Semuanya bersorak untuk seseorang bernama Ariana Leteshia itu. Aku tersenyum melihat diriku berdiri di atas panggung di hadapan banyak orang. “padahal saat itu adalah hari yang paling sulit bagiku, tetapi setelah kulihat lagi… Ternyata… Rasanya bangga ya… ”
Aku menengok kanan kiri mencari seseorang yang dulu sangat kunantikan datang. Badanku terpaku melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri menatap panggung. Setelah menatap panggung, laki-laki itu mengalihkan pandangannya dan tanpa sengaja kami bertatapan. “Ry…”
BRUK… Aku kembali lagi di kamarku masih dengan posisi yang sama. Dengan cepat aku mengambil kotak yang berisi 1 jam pasir berwarna merah. Kubalikkan jam pasir itu.
CRIIING… Suara bel membuatku memfokuskan pandanganku. Hm… Tempat yang bagus, batinku sembari berjalan menyelusuri tempat itu. Tatapanku tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk di hadapan kanvas besar. Gadis itu melukis dengan sangat fokus. Tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan yang memekakkan telinga. Entah kenapa orang-orang yang tadi tidak terlihat, kini terlihat dan berlari melewati gadis yang sedang melukis itu.
Gadis itu terjatuh dan terdorong oleh orang-orang. Gedung di tempat itu hancur, kebakaran terjadi di gedung lainnya. Semua orang menjadi panik. Sedangkan gadis pelukis itu pingsan di lantai. Aku berusaha membangunkan gadis itu tapi tak bisa.
“Ariana!” terdengar teriakan laki-laki dari kejauhan. Aku segera berlari mencari sumber suara itu. Aku berdiri di hadapan laki-laki yang sedang meneriakkan nama ‘Ariana’ itu. Kupejamkan mataku.
“kumohon… Tolong! Tolong aku Ryan!” teriakku. “Ariana?” Ryan menatapku. “kamu… Kenapa kamu jadi kayak dulu?” Aku terpaku. “tolong, disana ada aku. Tolong aku!”
Ryan mengikuti instruksiku dan membawa gadis ah, tidak. Ryan mengikuti instruksiku dan membawa ‘aku’ di masa depan keluar dari sana.
Mereka selamat. Ryan dan ‘aku’ berhasil keluar dari tempat itu dengan selamat. Aku tersenyum lega sebelum akhirnya aku kembali terduduk di kasur.
Kini di tanganku bukanlah jam pasir melainkan sebuah kertas.
Kamu mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kamu bisa mengubah masa depan. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan. Dibanding kamu hanya terlarut pada masa kelammu, mulailah untuk membuat masa bahagiamu di masa depan…
Cerpen Karangan: Allisa Nayla Novayanti