Masuk ke sebuah ruangan, ada seorang pria dengan ikat kepala berwarna putih, terselip sebuah keris di pinggangnya, kemudian berkumis hitam yang cukup tebal. Ia menatapku dengan lamat. Berdiri dari singgasananya.
“Ananda siapa?” tanya pria paruh baya itu dengan baritonnya sambil mondar-mandir, menyilangkan tangan di belakang punggung. “S-saya di mana ini? Saya di mana? Apa yang terjadi?” Hanya itu pertanyaan yang aku lontarkan, tidak peduli apa pun pertanyaannya. “Ananda ada di kerajaan hamba.” “Kerajaan? Kerajaan di mana?” tanyaku dengan nada gemetar. “Kerajaan Mandalika.”
Akhirnya, semua jelas sudah. Aku tahu alasan apa yang membawaku ke tempat ini. Aku tahu keinginan apa yang membuatku sampai di tempat ini tanpa pernah kusadari.
“Kera … jaan Mandalika? P-Putri Nyale?” “Putri Nyale? Siapa itu Putri Nyale, Ananda? Dan kalau boleh tahu, Ananda utusan siapa?” tanya pria itu terheran-heran. “Saya … saya bukan utusan siapa-siapa. Saya di sini tersesat. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba ada di sini,” jelasku langsung. “Pantas saja. Ananda pasti kebingungan. Tampaknya memang begitu, Ananda terlihat seperti bukan orang kami, atau orang dari kerajaan ini.” “Tolong, tolong saya untuk kembali ke dunia asal saya,” ucapku memohon sambil menyatukan kedua tangan. “Dunia Ananda? Hamba tidak mengerti maksud Ananda bicara seperti itu. Dan Putri Nyale yang Ananda maksud itu siapa? Tolong, jelaskan kepada hamba.”
Aku tahu mungkin sekarang aku ada di dunia tempat Putri Mandalika berada sebelum ia benar-benar berubah menjadi cacing atau Nyale.
“Ayahanda? Dia siapa?” tanya seorang gadis yang begitu cantik dan anggun dengan hanya mengenakan sebuah bawahan sekaligus menjadi atasannya, berwarna hijau, serta selendang yang menghiasi lehernya. Amat sangat memesona. Aku tahu, dialah Putri Mandalika yang sering aku inginkan bertemu. Ya, dialah putri yang terkenal dalam legenda Sasak.
“Putri … Nyale,” ucapku lirih tanpa sadar. “Apa? Ananda menyebut putri hamba dengan sebutan Putri Nyale?” Sang raja semakin heran. “Oh, putriku. Dia adalah anak yang tersesat. Ayahanda mencoba mencari informasi padanya.” “Tapi, Ayahanda, kenapa dia menyebutku dengan sebutan Putri Nyale?” Sang putri melangkah mendekati sang ayah.
Mataku masih tak mampu berpaling dari cantiknya dia. Ternyata benar selama ini Putri Mandalika digambarkan sebagai sesosok perempuan baik hati yang begitu cantik. Pantas saja semua orang menginginkan dia sebagai istri mereka.
“Maaf, Putri Nyale adalah sebutan Putri Mandalika di duniaku.” Aku pun memutuskan bercerita yang sebenarnya. “Sebutan putri hamba di dunia Ananda? Memangnya Ananda asal mana?” Sang Raja masih bingung dengan ucapanku.
Oke, aku tahu semuanya belum mengerti dengan apa yang aku sampaikan. Jika aku ada di masa lampau—saat-saat Putri Nyale—belum berubah menjadi cacing Nyale, kalau aku menceritakan semuanya, aku akan dianggap sebagai orang sakti yang bisa melihat masa depan.
“Iya, benar. Putri akan menjelma menjadi cacing yang bisa dinikmati semua orang.” “Maaf, Ananda sudah lancang berbicara seperti itu!” Tiba-tiba sang raja tampak tidak menerima apa yang aku katakan. “Pengawal! Bawa dia ke penjara. Kurung dia!” titah sang raja, sehingga kedua pengawal menyeretku dengan paksa.
“Tidak! Tolong, dengarkan dulu penjelasan saya!” Aku jelas berontak, tidak mau dipenjara, atau bahkan mungkin akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan dari sekadar dikurung. Aku tahu bahwa hukuman-hukuman di zaman kerajaan ini begitu mengerikan.
“Ayahanda. Kenapa dia dibawa ke penjara?” Aku masih mendengar sang putri kebingungan, bertanya kepada ayahnya. Setelah menuruni sebuah tangga ke penjara, aku tidak bisa lagi mendengar pembicaraan sang putri dengan ayahnya.
Tidak tahu diriku berapa lama waktu sudah berlalu. Yang pasti, aku tidak pernah bisa tidur berada di penjara ini. Dingin dan lembab, tak ada selimut yang disediakan. Makanan pun tidak pernah disajikan untukku. Aku berharap putri bisa menemuiku, dan membebaskan, mencari cara untuk bisa kembali ke duniaku.
Aku terkantuk-kantuk sambil meringkuk, tetapi mata tak dapat terpejam. Aku yakin mataku sudah berkantung. Tak lama kemudian, aku mendengar derap langkah menuju ke penjara ini. Dengan sayu, aku menatap jeruji besi. Di baliknya ada sang putri yang amat cantik, berlesung pipit, putih, dengan membawa sebuah nampan berisi piring kayu dan gelas yang terbuat dari kayu pula.
“Namamu Zahroni, kan?” katanya seraya menjongkok, membuka jeruji dan masuk menemuiku. Ia letakkan nampan di depanku. “Kau harus makan.” “Putri …” Aku berlirih, tetapi senang karena bisa melihat sang putri dengan jelas, tepat di hadapanku. “Kau tampaknya tidak pernah tidur. Kau makanlah dulu, dan istirahat kemudian,” ucapnya dengan senyum yang begitu manis tanpa bisa lagi kudeskripsikan.
Sang putri segera beranjak, tetapi langsung kuhentikan. “Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu, Putri.” Putri membalik badannya, kembali duduk di depanku. “Memangnya kau mengenalku?” “Aku sangat mengenalmu, Putri. Bahkan, aku sudah mempelajari tentang sejarahmu di duniaku.” “Apakah ada hubungannya dengan perkataanmu bahwa aku akan menjelma sebagai Putri Nyale?” “Iya, Putri. Akan ada tiga pria dari kerajaan berbeda melamarmu. Aku tahu Putri tidak akan bisa memilih salah satu dari mereka. Takdir Putri sudah digariskan Tuhan. Putri rela berkorban, memohon kepada Tuhan untuk menjadi sesuatu yang bisa dinikmati semua orang,” jelasku padanya.
“Tapi, kenapa kau sangat ingin bertemu denganku, padahal di duniamu aku sudah tidak ada?” “Putri selalu ada. Kita selalu bisa bertemu setiap tahun, tetapi putri hanya menjelma sebagai cacing. Aku ingin sekali bertemu dirimu sebagai manusia biasa. Aku rasa, aku sudah jatuh cinta denganmu, Putri.”
Sang putri tertawa pelan. Suaranya begitu anggun terdengar. Ya, tidak pernah aku bertemu gadis secantik dirinya di dunia nyata. Jika saja aku bisa membawanya ke duniaku, kemudian akan kujadikan dia sebagai istri di dunia nyata. Pasti semua orang iri denganku, semua orang akan berusaha merebut dia dariku.
“Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu, Putri. Meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya kembali ke duniaku yang sebenarnya.” “Aku pikir kau menyenangkan orangnya. Kalau begitu, kau istirahat saja. Aku akan meminta ayahanda untuk membebaskanmu esok hari. Kau bisa ikut denganku besok. Akan kutunjukkan segala hal yang ada di sini padamu, yang mungkin tidak ada di duniamu.”
Aku senang. Akhirnya, aku bisa makan bubur yang dibuat putri, dan tidur setelahnya.
Esoknya, putri menepati janjinya. Ayahandanya juga setuju aku dibebaskan karena terbukti tidak berbahaya. Yah, pada dasarnya aku juga bukan orang sakti yang punya kekuatan atau ilmu bela diri di zaman kerajaan seperti saat ini. Tidak kalah senang diriku karena putri mengajarkan segala hal tentang kerajaan di sini. Mengenalkanku pada putri-putri cantik lain yang merupakan temannya. Mengajakku ke sebuah sungai, bermain dengan banyak satwa yang mencintai putri.
Ternyata, begini kehidupannya. Kehidupan yang tidak pernah diketahui orang lain, yang juga tidak pernah ditulis dalam legenda. Selain cantik, dia memang putri yang baik dan murah senyum.
“Aku tidak pernah mengenal lelaki selain dikau, Zahroni. Ya, selama hidup, aku hanya berada di kerajaan bersama Ayah. Atau kadang hanya bermain bersama teman-teman gadisku,” tutur putri sambil memainkan air sungai yang begitu jernih. “Aku juga. Aku tidak pernah mengenal seorang gadis yang begitu baik dan cantik sepertimu, Putri. Itulah kenapa aku sangat ingin bertemu denganmu di duniaku. Salah satu alasan tidak hanya itu, stok perempuan sepertimu di duniaku perlahan sudah berkurang.” Sang putri cekikikan, ia lalu menjuntai kakinya sambil duduk di atas sebuah batu besar sungai ini. Berhadapan denganku. Ia menatap lamat bola mataku.
Aku benar-benar tidak tahan ia memandangku dengan teduh sambil sesekali memancarkan senyuman. Hidungnya yang lancip, rambutnya yang panjang tergerai lurus, bola matanya yang hitam dan bulat, serta kulitnya yang putih bersih. Aku rasa, aku menginginkan dirinya menyentuhku walau hanya sejenak.
“Andai saja putri bisa kubawa ke duniaku.” “Kalau bisa, apa yang akan kau lakukan padaku?” “Menikah. Aku akan menikahimu, Putri. Semua orang pasti akan iri padaku dan berusaha merebutmu dariku.” Aku tertawa pelan membayangkan itu bisa terjadi. “Kau begitu lucu, Zahroni. Mengapa ada lelaki sebaik dirimu tersesat di duniaku?” “Aku tidak tahu, Putri. Tuhan mungkin menjawab doaku yang ingin bertemu denganmu. Mungkin kedengaran konyol jika berbicara soal berdoa untuk bertemu denganmu di duniaku. Tapi di dunia ini, aku yakin ini nyata. Bukankah begitu, Putri?” Putri manggut-manggut. “Mungkin. Tetapi, kau tahu, kan, kalau aku akan menghilang selamanya? Kalau itu benar-benar terjadi, mari kita bertemu lagi saat aku sudah menjelma sebagai cacing Nyale.”
“Putri, sebelum semua ini benar-benar berakhir, bolehkah untuk yang terakhir kalinya, aku ingin merasakan bagaimana rasanya memelukmu. Kalau tidak boleh—“ “Boleh, Zahroni. Silakan, peluk aku.” Aku tak percaya ini bisa terjadi di hidupku. Apakah aku berada di dunia khayal? Kalau iya, biarkan saja. Aku ingin tetap ada di sini, meninggalkan kehidupan nyataku.
Dengan perasaan berdebar, aku melangkah ke tempat di mana putri duduk. Ia di sana, masih tersenyum, kini memejamkan kedua matanya. Aku pun memeluknya dengan mesra. Memeluk tubuh yang putih dan lembut. Kecantikannya yang alami, begitu meresap di ingatanku. Napasku menderu hebat, tetapi sedih kini datang. Mengapa? Aku menumpahkan air mata yang cukup banyak tanpa bisa kuhentikan.
“Semoga kita bisa bertemu kembali, Zahroni.” Hanya itu yang mampu kudengar untuk terakhir kalinya. Dalam beberapa menit, tubuh hangatnya tidak lagi dapat kurasakan menyentuh tubuhku. Ketika mata kubuka, banyak orang yang kulihat berwajah khawatir, tidak terkecuali Andi.
Aku menemukan diriku basah kuyup, dikerumuni orang-orang.
“Aku … kenapa?” “Zahroni! Kamu sudah sadar?” Andi yang panik, menatapku heran, tetapi lega. “Aku kenapa, Ndi?” tanyaku, masih tak mampu bangkit dari posisi berbaring. “Kamu tadi tenggelam di laut, Ron. Kamu terseret ombak cukup jauh, kita semua panik. Untung kita dengar kamu meminta tolong. Jadi, kamu diselamatkan tim penjaga pantai dan warga yang ada di sini,” jelas Andi.
Jadi, begitu. Semuanya kini jelas, siapa yang membawaku bertemu Putri Nyale. Ya, dialah yang membawaku menuju dirinya. Dia—sang putri itu sendiri. Ingatan masih jelas di kepala, rasanya tubuhku masih jelas merasa, aromanya masih lamat di bulu-bulu hidungku. Menempel, terasa, teringat, serta terkenang. Dialah yang selama ini mengawasi diriku selama ikut dalam acara Bau Nyale. Dia tahu apa yang aku inginkan. Dia tahu kalau aku selalu ingin bertemu dengannya. Penasaran, serta ingin melihat dengan jelas bagaimana cantik dirinya. Namun, tak hanya kecantikan yang aku harapkan, melainkan kebaikan dan kelembutan hatinya. Itulah sosok Putri Nyale yang sebenarnya.
Aku sudah bertemu Putri Nyale.
Terima kasih, Putri.
Cerpen Karangan: Imron Rosyadi Blog: ahochord.blogspot.com Momoy, penulis buku Bintang Tak Lagi Menanti Senja, Paradoks Waktu, Last Affection, DÉJÀ VU: Unforgettable Moments dan masih banyak karyanya yang telah terbit dalam bentuk digital di berbagai platform dan google playbook. Sekarang bekerja sebagai Ghost Writer. Untuk mengenal penulis lebih dekat, Anda bisa menghubunginya melalui: Facebook: Momoy Instagram: @momoy_official_ Wattpad: @mariondrossi