Aku mengerjap-ngerjap. Menyesuaikan pandangan yang masih kabur usai bangun tidur. Bulan baru bermain sebentar dengan para bintang. Tenggorokanku kering, perutku juga kosong. Aku tidak sempat makan malam tadi.
Aku hancur. Hatiku patah. Dia yang aku kira benar-benar mencintaiku, rupanya dia menyimpan perempuan lain. Aku pulang dengan mata sembab. Ibu sempat bertanya kenapa, ada apa, tapi tidak aku jawab. Aku langsung pergi ke kamar, mau menangis sepanjang malam. Memilih untuk tidur cepat, siapa tau sakitnya sedikit mereda.
Aku membuka pintu. Hendak ke dapur mengambil minum. Aku harap ibu juga menyimpan makanan untukku.
Pintu terbuka. “A-apa? Kenapa seperti ini?” Kudapati ruang keluarga yang biasa kulihat ketika aku keluar kamar, kini sudah berganti. Menampilkan sebuah ruangan yang sama seperti kamarku, hanya saja ruangan itu tampak seperti kebalikan. Kamarnya berantakan. Buku-buku berceceran di mana-mana. Selimut membentang di meja belajar. Baju-baju bermain dengan para buku. Semua pintu lemari terbuka, laci juga. Uang berhamburan seisi kamar.
Aku lihat di sana ada seorang perempuan. Rambutnya sebahu. Ia sedang menaiki sebuah bangku kecil dengan seutas tali tambang di tangannya. Dia menggantungkan talinya ke sebuah balok kayu yang membentang di langit-langit kamar.
“Hei!” teriakku. Dia menoleh. Aku sedikit memicingkan mata. Wajahnya tidak asing. Aku perlahan berjalan mendekat. Perempuan itu pun sebentar mengurungkan niatnya. Turun dari bangku kecilnya dan juga berjalan mendekat ke arahku.
“Ba-bagaimana bisa? Kamu si-siapa?” tanyaku gagap. “Ka-kamu yang siapa?” Dia balik tanya.
Aku memperhatikan baik-baik bentuk wajahnya. Tidak ada yang berbeda. Semuanya sama. Kamar ini—kamar perempuan itu— pun persis sama seperti kamarku.
“A-aku… Bella.” seru kami bersamaan.
Hening.
“Ta-tadi kamu sedang apa?” tanyaku. Melupakan sejenak segala keanehan yang ada.
Dia diam. Lalu duduk di kasur yang ada di belakangnya. Aku pun ikut duduk di sampingnya. Dia menghembuskan napas gusar.
“Aku stress. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kenapa masih gagal juga? Sia-sia sudah semua usahaku.” Dia mulai cerita. Air mata turut membasahi pipinya. “Gagal apa?” “Olimpiade sains.”
Aku diam sebentar. Mencoba mencerna dengan baik situasi yang ada. Aku tidak kenal dengan perempuan ini. Kenapa dia tampak sama sepertiku, dan kamar ini pun begitu. Juga nama. Apakah kita orang yang sama?
“Harusnya aku tidak usah se-ambisius itu. Harusnya aku dengar kata teman-teman. Harusnya aku dengar kata ibu. Harusnya aku lebih menikmati hidup. Harusnya aku tidak menolak Geri dulu.” Dia kembali bersuara.
Aku tekejut dengan sebuah nama yang perempuan ini sebutkan di akhir kalimatnya. Geri? Lagi-lagi kami memiliki kesamaan. Geri, laki-laki yang pernah menjalin kisah romansa bersamaku. Sampai sore tadi, aku baru ingat kalau kisah romansa juga punya akhir yang pahit.
“Ka-kamu sebenarnya siapa?” sekali lagi aku bertanya hal yang sama. Dia menghapus air matanya. “Aku Bella.” “Aku juga Bella.”
Kami saling tatap. Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Kemana perginya ruang keluarga yang biasa kulihat ketika aku keluar kamar. Kenapa seisi kamar ini punya isi yang sama dengan kamarku. Kenapa perempuan ini punya wajah yang sama sepertiku. Bahkan sampai bekas luka di lengan kanan ia juga memilikinya. Tahi lalat di pelipis kiri juga ada.
“Apa Geri yang kamu maksud itu adalah ketua futsal di sekolah?” tanyaku. Dia mengangguk. “Apa Geri menembakmu di hari kamis tanggal lima maret tiga bulan lalu?” tanyaku lagi. “Iya.” Dia mengangguk lagi. “Bodohnya aku. Menolak laki-laki sebaik dia hanya karena ambisiku untuk memenangkan olimpiade.”
Aku semakin kacau dengan pikiranku sendiri. Ingin sekali aku kembali ke kamarku dan kembali tidur. Tapi perutku tidak mendukung hal itu. Aku hanya ingin pergi ke dapur, mengambil makan dan minum lalu kembali ke sini dan lanjut tidur.
“Akh!!! Sebenarnya aku sedang ada di mana sekarang?” Aku mengacak-acak rambutku. “Kamu masih di Bumi. Di Indonesia, Jawa Barat, Bandung, Komplek Pelangi, jalan biru nomor sebelas. Dan ini kamarku.” Aku menoleh cepat ke arah perempuan ini. Lagi-lagi alamat yang dia jelaskan persis sama dengan letak rumahku. Apa ada yang salah dengan pintu kamarku?
“Kamu datang dari mana?” Kali ini dia yang bertanya. “Aku dari Bumi. Indonesia, Jawa Barat, Bandung, Komplek Pelangi, Jalan Biru nomor sebelas. Dan itu kamarku.” jelasku sembari menunjuk ke arah pintu kamar yang terbuka. “Kamu pasti bertanya ke mana perginya ruang keluarga, kan?” Dia diam sebentar. “I-iya.”
Aku kembali mengacak-acak rambutku. “Jadi, waktu Geri menembakmu, apa kamu menerimanya?” Dia bertanya lagi Aku kembali menatapnya. “Iya.” Dia mulai melengkungkan senyuman. “Pasti bahagia, ya. Tidak pusing dengan rumus-rumus fisika. Tidak sampai kurang tidur. Punya banyak teman. Hidup lebih berwarna. Dan yang terpenting, tidak pernah sampai kepikiran untuk bunuh diri.” “Memang tidak. Tapi kamu akan bertemu dengan yang namanya patah hati.” Aku mulai meneteskan air mata. “Aku kira, seharusnya aku tidak menerima Geri. Fokus menempuh olimpiade, dan akhirnya mengangkat piala dan membanggakan ayah dan ibu.” “Tapi tidak semudah itu. Kamu akan kalah sebelum berperang.” “Pacaran dengan Geri hanya indah di awal. Pahit di akhir. Dia selingkuh.”
Mata kami kembali bertemu. Dia masih konsisten dengan senyumannya. Aku pun menyeka air mataku dan mulai tersenyum juga. Dia memelukku.
“Terima kasih sudah membuatku tetap hidup.” katanya. Aku menyambut pelukannya dengan hangat. “Terima kasih juga sudah membuatku kembali semangat menjalani hidup.”
—
Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar. Dengan sepiring nasi—lengkap dengan lauk-pauknya—di tangan kanan, dan segelas susu hangat di tangan kiri. Ibu menaruh barang bawaannya di meja dekat ranjang. Dia ikut senang melihat anaknya yang sudah tertidur nyenyak dengan senyuman terukir di bibirnya.
“Syukurlah dia sudah membaik.”
Cerpen Karangan: Ruang Tahul Blog: ruangtahul.blogspot.com Seorang pemuda hampir kuliah yang tidak suka menulis tapi entah kenapa dia masih mau menulis.