Adella telah jatuh cinta pada seorang pangeran yang tampan luar biasa, gagah dan perkasa. Kerajaan pangeran bertengger megah di tepi pantai berpasir putih yang berkilauan jika diterpa cahaya. Sayangnya, pangeran adalah seorang manusia. Mencintai seorang manusia, tentu saja ayahnya yang merupakan Raja Duyung menolak mentah-mentah. Kakak-kakaknya mencibir. Rakyat duyung mencela. Sayangnya semua itu tidak bisa mendangkalkan rasa cinta Adella pada sang pangeran. Justru semakin hari rasa itu semakin dalam, lebih dalam dari pada laut tempat ia tinggal.
“Cinta terlarang. Kau tahu itu Adella.” Raja laut menatap Adella penuh murka. Adella yang bersimpuh di hadapan ayahnya semakin menundukkan kepala. “Tapi dia juga seorang anak raja, Ayah. Derajat kami sama,” bela Adella. “Aku tidak bicara kasta Adella. Aku bicara tentang dunia. Dunia kita berbeda, jauh sekali.” “Tapi kita bisa hidup berdampingan, Yah.” “Hidup berdampingan bukan berarti bisa hidup bersama.” “Tapi-“ “Jangan membantah lagi. Pergi ke kamar dan sisir rambut emasmu itu. Ibumu sudah menunggu. Gara-gara kau yang sering naik ke permukaan, ibumu jadi jarang menyisir rambutmu. Wajahnya terlalu keriput sekarang. Sana cepat!” suruh sang raja dengan garang.
Dengan perasaaan enggan, Adella menuju kamarnya. Benar saja di sana ibunya sudah menunggu dengan sisir di tangan dan tersenyum penuh harap padanya. “Jangan naik ke permukaan lagi, permukaan tidak pernah mau bersahabat dengan kita,” kata ibunya sambil menyisir rambut Adella. Ibunya lalu menyanyi sambil tetap menyisir. Ajaibnya rambut Adella menjadi bercahaya. Lebih ajaib lagi saat goresan keriput di wajah wanita tua itu sirna seketika. Ia kembali muda.
Jangan pernah berharap Adella akan menuruti perkataan ayah dan ibunya. Ia sekarang sedang mabuk cinta. Baginya menatap wajah pangeran di atas sana adalah sebuah pemandangan yang luar biasa. Jujur saja ia sudah bosan dengan pemandangan bawah laut yang itu-itu saja.
“Pangeran akan mengadakan pesta dansa besok malam.” Suara cempreng si burung elang sahabatnya membuat Adella mengalihkan pandangan dari pangeran. Adella beralih menatap burung elang yang kini bertengger di batu karang tepat di hadapannya. “Pesta dansa? Aku ingin ikut,” pekik Adella. “Kau tidak punya kaki. Tidak bisa ikut berdansa.” “Bantu aku mendapatkan kaki.” “Minta dengan ayahmu.” Adella membelalakkan mata mendengarnya. “Ayah akan memenggal kepalaku lalu membaluri tubuhku dengan tepung,” kata Adella kemudian. Ia tergidik ngeri. “Kalau begitu, datangilah Ursula,” usul si burung elang. “Ah! Benar penyihir laut itu, dia pasti bisa mengabulkan keinginanku”
Maka esok harinya pergilah Adella ke palung laut paling dalam tempat penyihir laut Ursula tinggal. “Bisakah kau memberiku kaki?” tanya Adella kepada duyung wanita yang gendut, tua dan berdandan menor. Ursula terkekeh. Kekehannya menggetarkan gua tempat mereka berada. “Aku penyihir laut paling mumpuni anakku. Akulah yang terhebat dan hanya aku satu-satunya. Apapun bisa kukabulkan. Kau minta kaki? Gampang sekali.” “Imbalan apa yang harus kuberikan?” “Imbalan? Ah, aku tidak minta imbalan apa-apa darimu anakku. Kau adalah anak raja duyung. Aku menghormati ayahmu, dia adalah raja yang baik, sangat bijaksana, juga peduli dengan rakyatnya dan untuk berterimakasih padanya, aku akan membantumu mengabulkan apapun yang kau inginkan, Sayang.”
Mata Adella berbinar-binar mendengarnya. Ia sangat bangga menjadi anak raja duyung. Dimana-mana dihormati dan dipuji, semua yang diinginkannya bisa didapatkan dengan mudah. Kurang apalagi? Kurang restu orangtua saja. Tapi tak mengapa, direstui atau tidak Adella akan tetap menikah dengan pangeran. Titik.
“Pangeran akan mengadakan pesta dansa malam ini. Aku ingin pergi dan berdansa dengan pangeran.” “Oh, tentu saja gadis cantik.” Duyung tua itu lalu duduk dan menghadap bola kristal yang berkilat-kilat. Mata Ursula menatap lekat bola kristal itu. “Jika pangeran melihatmu, dia akan langsung jatuh cinta,” katanya. “Benarkah?” Mata Adella berbinar mendengarnya. “Bola kristal tidak pernah salah,” jawab Ursula.
Jika memang pangeran langsung jatuh cinta padanya, maka mereka tinggal nikah saja. Tidak peduli apa kata orang-orang nanti. Asal sudah cinta sama cinta maka biarlah apa kata dunia. Yang penting aku padamu, batin Adella kegirangan.
Ursula lalu menghampiri kuali hitam yang ada di belakangnya. Ia menggapai beberapa botol yang berbeda warna dan bentuk lalu menuangkan isinya ke dalam kuali. Air di dalam kuali itu berkilat-kilat seiring dengan dimasukkannya cairan di dalam botol. Tak lama setelahnya, sebuah apel merah mengambang di permukaan kuali.
“Makanlah apel ini saat kau sudah berada di tepi pantai.” Diberikannya apel itu pada Adella. “Kau harus sudah kembali ke lautan saat jam berdentang dua belas kali. Jika kau tidak berhasil kembali pada saat itu maka kau akan menjadi buih seketika.” Adella menerima apel itu dengan perasaan luar biasa gembira. Ia bergegas berenang menuju pantai, tanpa lupa berterimakasih sebelumnya.
Sesampainya di tepi pantai, Adella menggigit apel itu dengan satu gigitan besar. Memakannya dengan cepat. Namun tiba-tiba kepalanya pusing dan pandangannya gelap. Ia linglung beberapa detik lalu kembali membaik. Muncullah cahaya keemasan mengelilingi tubuhnya. Dari cahaya-cahaya itu terciptalah sepasang kaki jenjang yang ia impikan. Sebuah gaun berwarna biru muda membungkus seluruh tubuhnya yang ramping. Gaun yang begitu memesona, berkilat-kilat terkena cahaya. Semua itu adalah pemberian Ursula. Katanya, agar terlihat sebagai manusia seutuhnya maka penampilan haruslah seperti mereka.
Kini Adella sudah berada di istana. Di tengah pesta dansa yang dihadiri oleh semua rakyat manusia. Adella melihat pangeran pujaannya sedang bercengkrama dengan raja. “Berdansalah dengan gadis-gadis itu,” kata sang raja. Pengeran hanya menggeleng. “Mereka tidak menarik di mataku, Yah,” jawab pangeran lesu.
Adella lalu berjalan menuju ke arah pangeran dengan hati-hati. Berjalan di daratan dengan dua kaki adalah hal yang sangat-sangat baru baginya. Apalagi sepatu kaca yang menghiasi kakinya tidak begitu nyaman dipakai. Gaun panjang itu juga mengganggunya. Terlalu berat, terlalu tebal, terlalu panas, terlalu ribet. Adella tidak menyukainya. Ah, ia jadi merindukan baju duyungnya. Ia yakin baju duyung adalah baju paling simple di dunia.
Tidak ada yang ia sukai dari gaya busana manusia, makanan manusia, dan tempat tinggal manusia. Satu-satunya yang disukai Adella dari manusia adalah pangerannya. Sekarang ia sudah sampai di hadapan pangeran. Adella menyunggingkan senyum -yang diusahakannya semanis mungkin- kepada pangeran. Benar saja kata Ursula, pangeran langsung jatuh cinta padanya.
Pangeran lalu mengajak berdansa. Adella enggan sekali menyanggupinya. Ia seorang duyung mana tahu gaya dansa manusia. Gaya dansa duyung mudah saja, hanya perlu berputar-putar, pindah ke kanan dan ke kiri, lalu berputar lagi, selesai. Tapi ini gaya dansa manusia. Langkah kaki harus seirama. Gerakan tangan harus gemulai, tubuh harus lentur seperti karet. Adella meringis dalam hati. Namun pangeran dengan tidak sabaran menarik tangan Adella, membawa tubuh gadis itu ketengah-tengah aula kerajaan dan mereka mulai berdansa.
Mula-mula Adella merasa kikuk, namun lama-kelamaan jadi terbiasa lalu mereka berdansa sampai lupa dunia. Adella baru tersadar saat mendengar suara gelas pecah yang dijatuhkan oleh seorang wanita tua yang mirip Ursula. Wanita tua itu memandang Adella yang juga memandangnya, lalu ia menunjuk ke jam besar yang tergantung di dinding istana. Jam dua belas kurang lima menit! Adella kaget dan langsung pamit pergi, meninggalkan pangeran yang terbingung-bingung.
Adella terus berlari menuruni anak tangga istana yang –memang- tidak terlalu banyak, tapi sekali lagi sepatu kaca ini menyulitkan langkahnya. Ia lepas sepatu kaca itu sambil terus berlari. Ia lempar sepatunya ke sembarang tempat. Satu sepatunya ternyata terlepas dari tangannya dan jatuh di anak tangga. “Ah, biarlah!” kata Adella tanpa memungut sepatunya.
Saat kakinya memijak anak tangga terakhir. Telinganya mulai mendengar bisikan seorang wanita. Adella berdiri mematung seperti terhipnotis, ia lalu berjalan ke suatu tempat seolah bisikan itu yang menuntunnya. “Adella.” “Adella.” “Tuan putri akan jatuh tertidur bagaikan mati.” “Adella.” “Adella.” Bisikan itu masih menggema di telinga Adella yang sedang berdiri di sebuah pintu besar yang usang. Ia menggapai gagang pintu dan menariknya. Pintu terbuka dengan suara mendecit nyaring. Tempat yang dipijaknya itu remang-remang. Cahaya bulan hanya mampu menembus satu-satunya jendela dan menerangi satu-satunya benda yang ada di sana. Pemintal benang.
Adella dengan tatapan kosong menuju ke tempat pemintal benang itu. Tangannya terulur menyentuh ujung jarum pemintal yang berkilat. Jarinya tertusuk. Ia pun tumbang. Alat pemintal benang seketika berubah menjadi sesosok wanita dengan tanduk dan sayap yang hitam legam. Bola matanya berwarna emas dengan sinar yang jahat. Bibirnya berwarna merah darah. Dan tongkat di tangan kanannya memancarkan cahaya hijau. Wanita itu tertawa terbahak-bahak lalu lenyap.
Tak lama kemudian pangeran datang. Ia menatap pilu Adella yang sudah tertidur pulas di lantai. Dihampirinya tubuh gadis itu. Dipeluknya dengan erat. “Ayah, aku sudah dapatkan wanita yang aku cintai,” katanya. Pangeran lalu mengecup bibir Adella singkat. “Maafkan aku.”
Tepat saat itu jam berdentang dua belas kali. Tubuh pangeran dikelilingi oleh cahaya keemasan. Cahaya itu mengubah pangeran menjadi sosok besar dan berbulu lebat di seluruh tubuhnya. Matanya kecil dan taringnya mencuat ke luar dari mulut. Rupanya seiring pangeran yang berubah menjadi monster Adella sadar dari tidurnya dan turut berubah menjadi sosok yang serupa dengan pangeran.
Raja yang melihat semua itu tersenyum puas. Akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun kutukan menyelimuti kerajaannya sekarang sudah musnah berkat Adella. Binatang jadi-jadian yang meneror istana telah menemukan istrinya. Kutukan telah musnah seiring kepergian mereka. Raja berjalan menuju ruang dansa dengan hati bahagia. Di sana Ursula dan wanita bertanduk yang bersayap hitam sudah menunggu. Senyum merekah di bibir keduanya.
“Kuharap raja laut tidak marah,” kata wanita bertanduk. “Tentu tidak,” sahut Ursula. “Justru raja lautlah yang meminta Adella disingkirkan dari istananya, bahkan dari dunia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil sesekali menenggak anggur hitam buatan Ursula.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea IG: @zaijeelea