Pagi yang sangat cerah, sinar mentari begitu hangat masuk ke sela-sela jendela menghangatkan keningku. Semakin lama hangatnya semakin menusuk dan terasa hampir membakar kulit di dahiku. Kubuka mata dengan maksud menutup tirai jendela yang sedikit terbuka.
Kutengok jam dinding masih menunjukkan pukul setengah sembilan, masih cukup pagi bagiku untuk melanjutkan tidur lagi di hari minggu seperti ini. Kepalaku masih terasa berat dan masih terasa sangat pusing untuk bisa kuangkat. Aku berusaha mengangkat namun sia-sia, kepalaku masih lengket dengan bantal yang menyangga kepalaku dari bawah. Aku hanya bisa pasrah untuk memejamkan mata.
Terdengar langkah kaki masuk ke dalam kamarku, semakin lama langkah itu terdengar makin dekat ke arahku. Kubuka mataku terlihat sosok perempuan cantik sudah berada di samping ranjangku. Wajahnya begitu mulus, mata belok ditanami bulu mata panjang yang sangat lentik bagai sayap kupu-kupu sedang hinggap di kelopak matanya, hidungnya mancung, bibir basah berwarna merah muda terlihat begitu menggairahkan bagiku. Aku tak tahu siapa perempuan yang tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Selamat pagi, Mas,” terucap kata dari bibir basahnya. Aku terkesima hingga tak mampu berkata-kata. Dalam hati ingin sekali menjawab salam selamat paginya, namun bibir ini terasa sulit untuk mengucapkannya. “Siapa kamu?” tanyaku tanpa menjawab salamnya. Dua kata itu yang terasa sangat mudah keluar dari lidah.
Pandangan matanya sedang menatap ke arahku dengan penuh cinta. Lesung pipi dan bibir tipis membumbui senyum manis yang dilemparkannya. Dengan suara lembut dia membisikkan suara yang terdengar bagai alunan nada yang begitu indah di telingaku, “Aku isterimu, mas.” Perempuan cantik itu mengaku isteriku. “Apa?” lagi-lagi terucap kata tanya karena aku sangat terkejut mendengarnya.
“Kata dokter, benturan di kepala menyebabkan amnesia. Mungkin sekarang kamu masih tak bisa mengingatnya, tapi sedikit demi sedikit Dysta akan membuatmu ingat semuanya, Mas,” jawabnya lagi-lagi sambil menawarkan senyuman yang begitu indah. Sepertinya aku jatuh cinta kepada perempuan yang mengaku isteriku pada pandangan yang pertama.
“Dysta bawakan makanan untuk kamu, Mas. Mari Dysta suapin,” ucap dia sambil mengarahkan sesendok makanan ke depan mulutku.
Aku tak mampu menolak meski perutku masih terasa agak mual. Ku berusaha membuka mulut, dengan otomatis makanan itu masuk ke dalam rongga mulutku. “Mungkin beginilah rasanya disuapi bidadari,” gumamku dalam hati sambil menikmati cantiknya perempuan ini. Kedua mataku masih berjalan memutari permukaan kulit wajah yang tampak ayu. Membelai, mengusap dan mengelus kedua pipi yang ditumbuhi lesung pipi itu.
Aku sangat iri dengan sendok dan piring yang dipegang Dysta (aku tahu namanya karena dia sendiri yang menyebut dirinya ‘Dysta’), telapak tangan dan jari-jarinya menjamah kedua benda itu dengan gemulainya. Aku membayangkan betapa nikmatnya dipegang kedua tangan itu. Bayangan dan khayalanku mengarah kemana-mana, otak mesumku seolah tak mau terkurung di kepala. Dia berusaha kabur dan keluar dari dalam kepalaku, menyelinap melewati jari-jari yang lentik itu, berjalan menyusuri lembutnya kulit yang membalut kedua lengan yang ditumbuhi bulu-bulu halus di atasnya. Terus masuk sampai ke pangkal lengannya, hingga …
“Ayo dibuka lagi mulutnya, Mas,” terdengar suara Dysta menghentikan langkah otak mesumku. “Sial!” Satu kata yang keluar dari otakku. Dengan terpaksa aku kembali membuka mulutku.
Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya, yang jelas dia memandangku dengan senyuman yang terlihat tak sama. Bagiku apapun bentuk senyumnya, asalkan dari bibirnya terasa sangat istimewa. Tatapannya menyusuri sekujur tubuhku, mungkin dia menyadari ada sesuatu yang menyembul dari bawah selimut di pertengahan tubuhku. Biarlah, aku memang tak bisa menyembunyikannya.
“Haak …!” aku sengaja membuka mulut untuk menghentikan tatapannya yang seolah bisa menembus sampai balik selimut. Sedikit risih dan terasa agak geli ketika ada perempuan yang menatap bagian yang menyembul di bagian itu.
Beberapa suapan mampu kutelan hingga sampai tinggal tiga suapan yang tak mampu kuhabiskan. “Sudah, aku sudah kenyang,” pemberitahuanku kepada Dysta. “Satu suap lagi, ya, Mas,” rayunya agar aku mau menerima suapannya sekali lagi. Dysta menggoda dengan kedipan mata yang mengibas-ngibaskan bulu mata yang seperti sayap kupu-kupu naik-turun keatas dan ke bawah dengan centilnya.
Aku sudah membulatkan tekadku untuk tidak mau menerima suapan lagi, meskipun Dysta merayu dengan segala cara. Jujur aku sangat tergoda dengan rayuannya, tidak untuk menelan makanan tapi untuk sesuatu yang lain. Sepertinya Dysta mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiranku, dia segera berdiri dan beranjak dari samping tempat tidur. Perlahan bibirnya mendekat ke telingaku, aroma wangi khas bedak perempuan menyeruak masuk menyengat ke dalam hidungku.
Terucap satu kalimat dari bubirnya sambil menyentuh daun telingaku, “Akan kuambilkan segenggam obat dari dokter, Mas.” Hembusan nafasnya terasa masuk ke lubang telingaku, menggetarkan kendang telinga dengan frekuensi yang sangat berbeda dari suara-suara yang pernah kudengar sebelumnya. Sontak membuat merinding bulu kuduk yang ada di tengkukku.
Dysta menarik kedua bibirnya dari telingaku, menyeret kedua kakinya melangkah keluar dari kamarku. Kuamati tubuh langsing itu dari belakang, ada beberapa bagian yang menari-nari dan bergoyang kesana kemari menemani langkahnya pergi. Kunikmati tiap langkah Dysta sebagai pemandangan gratis yang cukup membuat senang kedua mataku.
Aku sadari diriku sepertinya berbeda dengan diriku sebelumnya. Seingatku dulu diriku tak seperti ini.
“Apakah aku benar-benar amnesia ataukan aku berada dalam kisah yang berbeda, berperan sebagai sosok yang berbeda, untuk menjalani jalan cerita yang berbeda?” terbesit satu pertanyaan yang terus menggangguku di dalam jiwaku.
Aku benar-benar tak bisa mengerti diriku, lebih tepatnya aku sudah tak bisa mengenali diriku sendiri. Padahal seingatku usiaku sudah mendekati tiga puluh tahun, tapi terasa aneh jika aku tak bisa mengenali diriku sendiri dalam waktu selama itu. ‘Amnesia’ yang diucapkan Dysta bukanlah satu-satunya alasan untuk aku tidak bisa mengenali diriku sendiri.
Ada sesuatu yang janggal, pasti ada seorang penulis yang sengaja memasukanku kedalam cerita yang sangat berbeda dari sebelumnya. Aku ingin tahu siapa penulis yang sangat tega menuliskan diriku dengan karakter berotak mesum seperti itu.
Dalam hati aku berbisik, “Siapa penulis itu? Dia pasti membenciku.” Aku tahu apapun yang aku ucapkan di dalam hati, yang kurencanakan di dalam pikiran, bahkan yang sedang aku niatkan, penulis itu pasti tahu. Dia lebih tahu tentang segala hal mengenai diriku lebih dari aku mengenal diriku sendiri.
Mungkin penulis itu sedang mengerutkan dahi, menatap serius kedalam cerita yang dituliskannya. Dia menyadari bahwa aku sebagai tokoh fiksi di dalam ceritanya, sudah menyadari keberadaannya. Aku menjadi tokoh yang mengerti ada seorang penulis yang sedang kehabisan ide membawaku masuk ke dalam cerita yang tengah ditulisnya. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dituliskannya kepadaku. Sementara ini, aku hanya bisa menikmati waktuku di tempat tidur ditemani oleh perempuan cantik yang mengaku sebagai isteriku. Aku masih menunggu apa yang akan dituliskannya untukku.
Cerpen Karangan: Pangeran_Cinta Blog / Facebook: Joni Saputra Aku bukan siapa-siapa, seringkali tak mempunyai makna, meskipun kadangkala mempunyai banyak makna.