Ting.. ting… ting.. Kubuka mataku perlahan, kulihat jam tepat menunjukkan pukul 01.00, seperti biasa aku menggeliat dulu sebelum bangun dari ranjangku. Dari luar, sayup-sayup kudengar suara pak To menjemputku ke pasar.
“Bu Mur.. bu Mur.. nggak ke pasar nih?” “Iya pak To, ini saya sedang bersiap tunggu sebentar ya” “Bu Mur.. Bu Mur.. sudah jam 01.15, nanti kesiangan lo bu katanya hari ini mau belanja agak banyak” “Iya ini saya datang pak To” “Bu Mur..” Kretek… “Pak To? Sebentar ya pak, saya bangunkan emak dulu” “Iya mas, tak tunggu di sini saja ya” ucap Pak To.
Kemudian Sarpin berjalan ke kamarku, ia berusaha membangunkanku agar tidak kesiangan ke pasar. “Mak.. mak.. mak.. ayo bangun mak. Itu lo pak To sudah jemput” “Iya Pin.. Emak sudah bangun” “Mak.. mak.. mak… Ya Allah mak!! Innalillahi wa inna ilaihi rojiun” “Ada apa mas?” ucap pak To tergopoh-gopoh masuk ke kamar emakku “Pak To.. emak pak To” “Kenapa mas?” “Emak sudah tiada pak To” ucap Sarpin sambil berlinang air mata “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mas, kalau gitu saya tak ngasih kabar ke tetangga dan kawan-kawan pedagang sayur dulu ya supaya ada yang membantu kita menyemayamkan bu Mur” “Iya pak To, tolong saya”
“Bocah gemblung! Emak e masih hidup kok dibilang mati. Hei, sarpin! Emak di sini. Sarpin! Hei.. Sarpin. Apakah kau tak melihat emakmu ini? Emak ada di sampingmu Sarpin” ucapku namun Sarpin tetap tak bergeming. Kupanggil lagi anakku namun tetap sama ia hanya terdiam. Aku semakin bingung ada apa dengan diriku. Tetanggaku berduyun-duyun datang ke rumahku padahal masih pukul 02.00.
“Hei buk, toko saya belum buka. Saya mau belanja dulu ke pasar” ucapku sambil menyentuh bahu tetanggaku namun aneh, entah apa yang terjadi pada diriku. Tanganku tak mampu menyentuh bahu tetanggaku bahkan tubuhku dengan mudahnya mereka terobos seolah tak ada apa-apa.
“Hu.. hu.. hu.. hu.. Emak.. jangan pergi.. hu.. hu.. hu..” “Sarpin, emak nggak pernah pergi kemana-mana, emak di sini duduk di sampingmu” ucapku sambil menyentuh bahu Sarpin namun tembus “Mas.. Emak sudah tiada, lalu siapa yang akan menemani kita mas? Hu.. hu.. hu..” tangis anak bungsuku Gito.
Aku hanya terdiam, bingung melihat suami, anak, saudara dan tetanggaku menangis tersedu. Apa yang sedang terjadi pada kalian? Kenapa kalian menangisi aku? Aku ada di sini. Lalu, mereka bergotong royong mengganti bajuku bahkan mereka tak tanggung-tanggung menggunting bajuku.
“Hei.. jangan! Apa yang kalian lakukan?” namun mereka tetap saja menggunting setiap serat kain bajuku. Kemudian mereka menggantinya dengan jarik dan dari dagu hingga kepalaku mereka ikat dengan kerudung. Setelah itu, mereka bergotong royong mengangkat tubuhku. Diletakkannya tubuh gendutku di atas sebuah ranjang khusus jenazah yang telah disiapkan sejak tadi. Akupun mengelilingi rumahku, kulihat semua tetanggaku sibuk memasang tenda, bendera duka cita, dan mereka juga mengeluarkan kursi-kursi di rumahku.
“Pak, tikarnya saya gelar sekarang ya biar enak nanti kalau kita mengkafani bu Mur” “Iya silahkan” ucap pak Sabil
Seusai persiapan di dalam rumah, tampak jelas di depan mataku suami, anak dan menantuku menggotong tubuhku ke ranjang tempat jenazah dimandikan. “Hati-hati pak. Kalau nyawa habis tercabut itu badannya masih sakit” “Iya pak Sabil” ucap suamiku. Kemudian pak Sabil memandu keluargaku memandikan jenazah, saat itu semua anakku memandikanku namun Siti memandikanku sambil menangis tersedu-sedu.
“Mak.. mak.. jangan tinggalin Siti mak..” ucap Siti sambil mengusap tubuhku dengan kapas, air matanya terus saja berurai. “Augh sakit! Siti, kenapa kau membakar tanganku?” Kulihat Siti dan badanku sekali lagi, ini benar-benar mimpi yang sangat aneh. Siti memandikanku dengan air dan yang jatuh tertetes ke tanganku adalah air matanya tapi kenapa rasanya seperti api? Mimpi apa aku ini?
Seusai memandikanku, mereka menggotongku ke keranda. Di sana, sudah ada kain kafan berlapis-lapis dan mereka juga menaruh kapas yang dibubuhi aneka wewangian khusus untukku. Tak banyak bicara mereka mengkafaniku namun lagi-lagi mereka menetesiku dengan api. “Hei sakit! Aduh.. panas sekali. Sudah.. sudah kalian pergi sana!” ucapku pada mereka namun tetap saja mereka terus mengkafaniku hingga semua tubuhku terbungkus kain kafan.
“Pak.. Mas.. Mbak.. sudah ikhlas ditinggal bu Mur?” “Ya.. ikhlas nggak ikhlas harus ikhlas pak, mau bagaimana lagi istri saya sudah meninggal dunia” “Apa? Aku meninggal dunia? Bapak.. ibu di sini, kok dibilang meninggal?” “Ayo kalau begitu kita semuanya mendo’akan almarhumah agar khusnul qotimah”
Kebingunganku semakin bertambah ketika di pagi hari suami, anak, menantu, sanak saudara dan tetangga mengantarku ke kuburan dengan isak tangis tak tertahan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kudekati Sarpin namun ia tak menghiraukan, kudekati suamiku namun ia tetap terdiam, Siti dan Gitopun hanya menjawabku dengan isakan. Kemudian mereka berduyun-duyun membawa tubuhku ke kuburan. Di sana, kulihat sebuah lobang yang siap yang telah sengaja digali untukku. “Ya Allah! Liang lahaat”
Lukman, Handak, kang So dan Marwan menurunkan keranda. Mereka telah bersiap membuka keranda itu dan mengangkat tubuhku kemudian memasukkannya ke dalam lubang itu. “Maann jangan! Jangan.. jangan!” teriakku namun tetap saja mereka tak menggubris teriakanku seolah mereka tak menganggap keberadaanku. Dimasukkannya tubuhku ke lubang itu, dan di lubang itu suami, anak dan menantuku bersiap menerima tubuhku.
“Kamu, baik-baik di sana ya” ucap suamiku dengan lelehan air matanya “Augh.. sakit pak! Kenapa bapak memberiku tetesan api?” tuturku namun ia tetap tak menjawab Kemudian mereka membuka tali kepalaku, dihadapkannya pipiku ke gumpalan-gumpalan tanah lalu menutupi tubuhku dengan papan-papan kayu yang ditata seperti papan seluncur. Tak hanya itu mereka juga dengan sengaja menutupi tubuhku dengan tanah galian lubang tadi.
“Apa? Aku dikubur? Aku habis menonton apa ya kok mimpi dikubur?” gumamku Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya bisa duduk terdiam di atas pusara yang bertuliskan namaku. Aku bingung, semuanya bergotong-royong menyemayamkan aku dengan tangisan padahal aku masih hidup dan anehnya mereka tak menggubris setiap kata ataupun teriakanku.
“Bapak.. adik-adik.. marilah kita bersama-sama mendo’akan almarhumah bu Mur supaya tenang di sisi Allah ta’ala. Al-fatihah” ucap pak Sabil Aku semakin bingung dengan tingkah mereka semuanya almarhumah? Benarkah aku sudah meninggal? Aku tak percaya, ini hanyalah sebuah mimpi belaka. Setelah membaca do’a, pak Sabil mengajak semua pelayat meninggalkan pusara yang bertulis namaku.
Tiba-tiba aku terjaga dari tidur panjangku. “Ah.. ternyata ini hanyalah sebuah mimpi belaka. Bangun ah.. aku mau ke pasar” gumamku Namun kusadari aku mencium bau tanah, semua gelap. Kupanggil-panggil semua keluargaku, sanak saudaraku namun tak ada seorangpun yang menjawab. Benarkah aku telah wafat?
Tiba-tiba kudengar langkah kaki yang menghampiriku. Kutatap wajah tampannya yang murah senyum. “Pak, saya dimana?” “Bu.. ibu ada di liang lahat, sebentar lagi ibu akan saya antar ke alam barzah” ucap pria tampan itu dengan ramahnya “Jadi, saya sudah meninggal?” “Iya bu. Ibu sudah meninggal saat ibu sedang tidur kemarin malam” “Ha? Orang tidur bisa meninggal?” “Bisa bu karena nyawa adalah milik Allah, kapanpun Allah menginginkannya maka nyawa itu akan kembali padaNya” “Kenapa kau tak memberi tahuku tanda-tanda aku akan berpulang? Setidaknya jika kau memberitahuku maka aku bisa berpamitan pada keluargaku” “Bu aku sudah memberi tahumu 3 kali. Pertama saat pusarmu berkedut, itu artinya daun namamu di Arsy sudah gugur. Kedua, saat kau enggan menatap saat kau diajak bicara ataupun berjumpa dengan manusia, itu berarti umurmu hanya tinggal 3 hari. Dan yang ketiga di saat kepalamu berdenyut sampai ubun-ubun, itu tandanya kau sudah tak bisa menikmati hari esok” ucap pria tampan itu padaku
Kemudian pria itu mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku dan kujawab sebisaku. Namun, sedikitpun pria itu tak marah kepadaku bahkan diakhir pertanyaanya ia memberikan sebuah senyuman manis padaku. “Bu, semua pertanyaanku telah ibu jawab setulus hati sekarang tugasku adalah memberimu hadiah. Kau akan aku ajak ke sebuah tempat yang nyaman, senyaman saat kau beribadah” “Iya” jawabku
Kuulurkan tanganku dan dia mengajakku ke sebuah tempat yang nyaman, tempat itu seperti taman namun tak dingin dan bernyamuk. Indah, ada banyak bunga dan juga buah-buahan, aku tak pernah menjumpai tempat seindah ini di dunia.
“Bu, tempat ini ibu bangun sendiri lewat amal ibadah ibu. Nikmatilah tempat ini sampai nanti ibu mendengar sangkakala dari malaikat Isrofil” “Terimakasih pak” jawabku singkat
Bapak, Sarpin, Siti dan Gito. Emak sudah bahagia di sini. Di sini, emak sudah mendapat sebuah tempat yang indah. Emak ingin kita bisa berkumpul di sini namun emak yakin pertemuan kita akan membutuhkan waktu yang panjang. Emak hanya berpesan jagalah diri kalian baik-baik, tingkatkan ibadah kalian agar kalian memiliki tempat yang lebih indah daripada emak. Bapak dan anak-anakku, meskipun kita sudah berjauhan namun emak tetap sayang kalian..
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho