Malam ini tubuhku lelah sekali. Mungkin seharian tadi aku melayani banyak pelanggan. Benar kata Aris, bisnis kedai kopi memang masih laris sampai saat ini. Penikmat kopi baik kalangan muda sampai orang tua pun sering berdatangan ke kedai kopi “KERAMAT” milik Aris. Baru saja dua bulan menggeluti usaha ini kami sudah memiliki beberapa pelanggan tetap dan kedai kami pun cukup ramai hampir tiap hari apalagi jika weekend. Entah karena tempatnya yang strategis yaitu berdekatan dengan kantor dan kampus atau Aris memang memiliki jiwa pebisnis yang kuat seperti ayahnya. Dia memang otak dari bisnis ini, sedangkan aku hanya sidekick yang membantu dia. Untuk kami yang baru lulus kuliah, punya bisnis yang berkembang seperti itu sudah merupakan kepuasan tersendiri.
Tiba di kamar kos, aku langsung merebahkan tubuhku. Memejamkan mataku sebentar dan tiba-tiba “tok… tok… tok…” terdengar suara pintu kamarku diketuk dari luar. Aku bergegas bangun dan membuka pintu, tidak terlihat ada seorang diluar. Tapi sebuah kotak kecil tergeletak di depan pintu kamarku. Aku menengok keluar barangkali orang yang mengirimnya masih ada tetapi tidak ada siapa-siapa. Mungkin kurirnya sudah pergi padahal lorong menuju tangga lumayan jauh. Aku mengetuk pintu kamar Jimmy, kamar di sebelahku dan langsung membuka pintunya.
“Jim, kamu liat siapa yang ngetuk pintu barusan?” Tanyaku pada Jimmy. Dia terlihat sedang asyik main PS di kamar kosnya. Dia tidak menjawabku. “Denger orang lewat gak?” aku berteriak. “Ngga bang, emangnya kenapa?” “Ada kotak ini di depan kamarku.” “Mungkin itu kurir bang, kan udah sering kirim kesini, jadi biasanya langsung pergi lagi.” Jawab dia. “Sini main dulu bang, kita main bola bareng. Lagi nunggu kawanku mau turnamen bola disini” ajak dia sambil memberikan sebuah joystick padaku. “Latihan dulu aja yang bener, kalo udah jago baru ngajak tanding.” Ucapku sambil pergi. “Belagu lu bang, besok-besok gua gak akan kalah lagi, uda punya strategi jitu buat ngalahin abang.”
Aku kembali masuk ke kamarku. Sudahlah mungkin ini memang kiriman buatku, tapi dari siapa? Kotak itu hanya dibungkus karton berwarna cokelat polos, tidak ada stiker dari jasa pengiriman barang, keterangan darimana ini dikirim, dan hanya ada tulisan “open me” saja di kotak tersebut. Aku buka bungkusnya dan didalamnya ada kotak berwarna putih polos. Ternyata lumayan berat juga untuk kotak kecil seukuran remote TV ini. Aku buka kotak itu perlahan dan ternyata isinya sebuah pena berwarna emas. Pena itu hanya berwarna emas polos. Lumayan berat penanya, bahannya mungkin dari besi atau semacamnya. Aku lihat di sekeliling pena tersebut dan menemukan inisial huruf “N” di tutup pena tersebut.
Namaku tidak berawalan huruf “N”. Sepertinya aku juga tidak punya teman dekat yang berinisial “N”. Aku mencoba mengingat kembali semua temanku ketika aku kuliah atau mungkin teman SMA dulu? Mustahil teman SMA bisa mengetahui alamat kos ku karena sekolahku dulu bukan di kota ini. Beberapa teman kuliahku yang berawalan huruf “N” pun rasanya tidak mungkin memberikan ini karena aku tidak memiliki hubungan dekat dengan mereka, hanya sebatas teman saja. Hari in pun bukan hari yang spesial bagiku. Ada sih salah satu temanku yang berinisial “N” yaitu Norman, tapi itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin mengirimkan ini padaku. Tadi pagi kami masih bermain futsal sama-sama, rasanya dia tidak sejahil itu dengan memberikanku pena ini.
Aku berfikir keras untuk mengingat kemungkinan dari siapa aku mendapatkan kiriman ini. Seketika aku teringat Naya, seseorang yang menemani masa-masa kecilku dulu. Ia adalah sahabatku, umurnya sama denganku dan mungkin ia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik jika saja hal buruk tidak menimpa dirinya saat itu. Naya yang aku kenal telah tiada saat aku dulu masih berseragam putih-merah. Penyakit kanker ganas telah menggerogoti tubuhnya saat itu dan pada waktu itu penyembuhannya pun tidak mudah, ditambah lagi orangtuanya yang bukan dari keluarga mampu. Berat bagi mereka untuk bisa mengobatinya secara penuh karena biaya pengobatannya yang cukup mahal.
Tanpa sadar aku mulai meneteskan air mata, aku merindukan dirinya. Sudah lama aku melupakan temanku yang sudah mengisi waktu aku kecil dulu. Kenapa aku bisa membayangkannya saat ini? Aku melihat kembali pena itu. Aku ambil secarik kertas kosong dan aku letakkan di atas meja. Aku duduk dan membuka tutup pena itu dan mulai menggoreskan ujung pena itu dan tinta hitam pun tergores tegas di kertas putih yang kosong itu. Aku mulai meliuk-liukkan pena tersebut, aku mencoba menggambar raut wajah seseorang yang samar-samar aku ingat dengan rambut hitamnya yang terjulur lurus sebahu. Aku ingat tatapan mata dia yang tajam namun hangat. Bibir mungilnya yang tak segan memberikan senyuman lebar ketika kami bertemu. Aku menggambar seseorang yang pernah mengisi memori indahku saat kecil. Naya, gambar wajah yang aku gambar itu mirip seperti mendiang Naya ketika dulu ia masih kecil. Kutambahkan dengan menggambar kemeja putih dan rok merah seragam anak sekolah. Dulu Naya memang sering bermain dengan pakaian seragamnya, meskipun seringkali ia ditegur orangtuanya namun ia tetap saja ngeyel. Gambarku pun telah selesai. Seorang gadis mungil dengan baju seragamnya.
Tanpa sadar air mata menetes membasahi gambar tersebut, dan aku seketika mengambil kertas tisu dan mengelap perlahan tetesan air itu agar gambarku tidak rusak. Dengan teliti aku keringkan gambar tersebut dan aku lap tetesan air itu perlahan. Aku melihat lebih dekat apakah gambar buatanku itu rusak atau tidak dan alangkah terkejutnya ketika melihat gambar gadis itu, matanya berkedip seolah-olah gambar itu bergerak.
Aku kaget bukan main dan hampir saja aku jatuh dari kursi. Aku mengedipkan mata beberapa kali dan berusaha memegang wajahku dengan kencang. Aku mencubit pipiku dan aku tidak bermimpi. Tapi yang tadi aku lihat adalah gambarku bergerak. Tidak mungkin. Itu mustahil. Mana mungkin sebuah gambar bisa bergerak.
Aku beranjak dari kursi dan mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai habis. Aku melihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin aku mengantuk dan berimajinasi. Lebih baik aku tidur saja. Sudah lelah seharian membuatku berkhayal dan butuh istirahat. Kuambil pena itu, kututup kembali dan kuletakkan begitu saja di meja. Aku ambil kertas itu untuk aku buang tetapi aku penasaran dan memperhatikan kembali gambar yang aku buat tadi. Mataku terbelalak dan mulutku ternganga melihat gambar gadis tersebut benar-benar bergerak.
Gambar gadis itu tersenyum.
Aku terjerembab ke tempat tidur karena tidak mempercayai apa yang aku lihat. Gambar gadis itu memang bergerak gerak sendiri. Tubuhku bergetar tak henti. Mungkinkah itu hantu? Atau pena ini memiliki kekuatan gaib, atau malah pena ini terkutuk?
Aku memperhatikan gambar itu dan memang gadis itu menggerakkan tubuhnya dan berlari-lari di sehelai kertas di genggamanku itu. Seperti sebuah gambar tiga dimensi, dia seolah-olah bisa bergerak menjauh dan mendekat di dalam kertas tersebut. Gambarnya membesar dan mengecil dengan sendirinya. Kertas putih itu bagaikan dunia yang luas baginya.
Aku melihat pena yang ada di genggamanku dan tidak percaya dengan apa yang barusan aku lihat. Namun aku penasaran dan meletakkan kembali kertas tersebut diatas meja, kemudian aku duduk kembali di kursi dan mulai memikirkan apa yang aku harus lakukan selanjutnya. Aku melihat sekarang “Naya” (aku panggil gambar itu Naya) sedang melihatku dan melambaikan tangan ke arahku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini tetapi aku pun kagum dengan kejadian ini. Entah ajaib atau kutukan, pena itu memiliki daya magis. Aku mencoba menggambar sesuatu untuk dirinya. Sebuah kursi aku gambarkan untuk Naya dan dia pun sepertinya menyukai kursi itu dan langsung saja duduk di sana segera setelah aku selesai menggambarnya.
Dia mencoba mengucapkan sesuatu tetapi aku tidak bisa mendengarnya. Tidak ada suara yang keluar dari gambar tersebut. Hanya gerakan bibir yang tidak aku mengerti sama sekali. Kemudian dia membuat gestur “terimakasih” dengan bahasa isyarat. Gerakan isyarat itu mengingatkanku kembali ke masa lalu. Dulu ibunya Naya mengajari dia bahasa isyarat karena memang pekerjaan ibunya mengharuskan dia untuk belajar bahasa isyarat. Ibu Naya seorang Guru di sebuah sekolah luar biasa di daerah kami.
Aku hanya mengerti isyarat terima kasih saja karena Naya dulu sering menggunakannya ketika kami bermain, selebihnya aku pun tidak tahu menahu soal bahasa isyarat. Naya kemudian terlihat membuat bulatan dan menunjuk keatas. Aku mencoba mengambar matahari dengan pena itu dan dia kembali terlihat senang dan berlari kesana-kemari tanpa henti. Hal itu kembali mengingatkanku pada waktu dia sering bermain kucing-kucingan denganku dan teman yang lainnya. Sebagai seorang anak perempuan, Naya terbilang cukup aktif dan memiliki stamina diatas anak-anak pada umumnya, terlebih dia adalah seorang perempuan. Jika dia menjadi kucing maka hampir dipastikan dia menangkap anak lain dengan cepat, dan ketika anak lain berusaha mengejar dia, kemungkinan anak tersebut menangkap Naya dengan keringat deras bercucuran.
Naya pun terlihat bercucuran keringat karena terus berlari dan mungkin merasa panas dengan matahari yang aku gambar. Aku menggambarkan sebuah pohon yang rindang agar Naya bisa berteduh dan setelah gambar itu selesai Naya segera menghampiri pohon tersebut untuk berteduh. Aku gambar juga sebotol air dan tikar di bawah pohon itu agar Naya nyaman duduk disana dan bisa melepas dahaga. Naya pun tersenyum puas dan melambaikan tangan sambil menepuk-nepuk tikar sembari mengajakku untuk duduk di sebelahnya. Aku pun menggelengkan kepala dan ia hanya tersenyum.
Aku menggambar sebuah rumah dan dia terlihat senang dan dengan penasaran menunggu hasilnya jadi. Setelah jadi dia pun langsung bergegas menghampiri rumah tersebut dan masuk melalui pintu yang aku buat. Tak lama dia pun kembali tapi dengan wajah menunduk lesu. Dia mengisyaratkan bahwa tidak ada apa-apa di dalam rumah itu. Ya, memang gambar yang aku buat hanya dua dimensi. Hanya bentuk depan rumah yang aku gambar, tidak dengan isinya. Naya mulai terlihat kecewa. Sepertinya hanya Naya yang bisa bergerak mendekat dan menjauh. Objek lain yang aku gambar hanya sebatas gambar dua dimensi saja.
Aku mencoba menggambar seekor kucing. Naya sangat suka dengan kucing dan ia pernah memelihara beberapa ekor kucing di rumahnya. Dia senang saat melihatku menggambarkan seekor kucing. Ia langsung menghampiri dan menggendong kucing tersebut, mengelus kepala dan punggungnya. Tapi, tak lama kemudian dia pun menunjukkan wajah sedihnya lagi padaku. Dia memperlihatkan kucing yang aku gambar hanya diam tidak bergerak. Ternyata benda hidup lain yang aku gambar tidak bergerak seperti Naya. Dia pun duduk di kursi dan termenung sedih sambil mengusap-usap kepala kucing itu. Ia pun menyimpan kucing itu di sebelahnya. Ia pun menangis.
Naya pun terlihat menangis terisak-isak. Terlihat dari bahunya yang naik-turun tidak berhenti. Aku mencoba membuat makanan dari mulai pizza, roti, hingga makanan lainnya, dia hanya melirik dan kembali menangis. Aku pun mencoba mengambar seseorang lagi supaya dia mempunyai teman, mungkin saja anak laki-laki yang aku gambar akan bisa bergerak layaknya Naya. Dia berhenti menangis dan menatap pada gambar anak laki-laki itu dan mencoba mendekatinya. Dia mencolek dan melambaikan tanganya tapi gambar anak laki-laki itu tidak bergerak. Ia menjauhinya dan kembali menangis. Gambar anak kecil itu ternyata sama seperti kucing tadi, ia tidak bergerak. Hanya Naya sendiri yang “hidup”. Aku mencoba kembali menggambarkan sesuatu untuknya tapi dia segera melarangku dengan berusaha menghentikannya dengan menghalangiku saat aku akan menekankan pena itu.
Terlihat dia menatapku dengan mata yang berlinang air mata. Dia berusaha menghampiriku dan mendekatiku namun semua terhenti seperti ada penghalang. Sejatinya “Naya” dan aku memang terhalang batas dimensi yang berbeda dimana ia hanyalah gambar yang terkurung di dalam sebuah kertas. Duniaku dunia nyata dan Naya hanyalah sebuah objek gambar dua dimensi yang hidup ketika selesai aku gambar. Dia menangis sejadi-jadinya dan mungkin dia berteriak sekencang-kencangnya tetapi mustahil bagiku bisa mendengarnya. Dia seperti ingin keluar dengan mengetuk kertas itu sambil memandangiku namun sekeras-kerasnya pukulan dia kertas itu tetap saja tidak bergeming. Dia seolah-olah terhalang sebuah tembok tebal transparan yang tidak mungkin bisa dihancurkan. Dia berusaha berlari menjauh tapi sama saja terhalang sesuatu yang tak kasat mata.
Dia kembali dan menatapku sambil menangis. Dia memintaku untuk mendekatkan wajahku padanya. Aku diam dan hanya bisa meneteskan air mata. Dia memohon sekali lagi sambil menangis agar kami saling mendekatkan wajah. Aku pun bergerak mendekatkan wajahku, kami saling bertatapan. Dia pun menatap wajahku dengan tatapan hangatnya, mengusap wajahnya dan menyeka air matanya sembari berusaha untuk tersenyum di hadapanku. Naya berusaha untuk mengulurkan tangannya supaya bisa memegang wajahku. Tangannya seolah memegang dan mengusap-usap wajahku meskipun ia hanya mengusap-usap dinding transparan. Ia pun tersenyum dan bibirnya bergetar berusaha mengucapkan sesuatu. Aku pun memperhatikan gerakan bibirnya. Mencoba sebisa mungkin memahami apa yang berusaha diucapkannya.
“Te..ri..ma..ka..sih..”
Sepertinya ia mengucapkan terimakasih, ya aku yakin dia mengucapkan kata itu. Ia tersenyum dan tanpa terasa air mataku kembali menetes tak terbendung bercucuran membasahi kertas tersebut. Air mataku membuat semua gambar yang telah kubuat itu luntur dan begitupula dengan gambar Naya, semuanya luntur dan hancur menyisakan tinta hitam yang terbasahi air mata. Aku pun tak kuasa menahan tangis dan berusaha meluapkan segala kesedihan dan kerinduanku pada Naya. Malam itu aku menangis merindukan Naya.
Aku terbangun dengan wajahku tertunduk di atas meja sambil memegang sebuah pena berinisialkan huruf “N”. Sepertinya aku tertidur di kursi tadi malam. Aku melihat kertas putih yang berisi gambar Naya. Gambar wajah gadis kecil bernama Naya terlihat jelas dan tak ternoda. Aku tersenyum melihat hasil karyaku terlihat mirip Naya saat kecil. Aku ambil bingkai foto di depanku, aku ganti fotoku di dalam bingkai itu dengan gambar Naya yang aku buat itu. Aku gunting kertas itu agar ukurannya pas dengan bingkai itu dan di pojok kanan bawah gambar itu aku tuliskan “Kanaya Sakuntala 1980-1991”.
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas mandi dan bersiap berangkat ke Kedai kopi “Keramat”. Sesampainya disana Handphoneku berbunyi dan ternyata ibu mengirimkan pesan Whatsapp yang isinya: “Rama, Bu Sari dan Pak Sulaiman orangtua Naya titip salam, hari ini ibu habis pergi dari rumahnya karena ada acara Haul Naya. Kamu doakan Naya ya disana.” Aku pun membalasnya. “Iya bu, bilang saja saya juga titip salam ke keluarga mereka. Semoga mereka sehat selalu.” Aku tersenyum. Dalam hatiku aku berkata. “Terimakasih Naya.”
Cerpen Karangan: Zed Zed – Penulis biasa biasa saja
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com