Aku bisa melihat raut wajahmu yang kecewa ketika engkau tak puas dengan balas yang kuterima setiap kali engkau bertanya, “mengapa kau mencintaiku?” Apa yang salah dengan jawabanku ini?
—
“Feodeira Arkeilius Belvisch.” Aku selalu menyebut nama itu sepanjang jalan pulang menyusuri jembatan kecil di pedesaan itu. Bagiku, itu bukan jembatan biasa. Mungkin terdengar gila, sangat gila, ketika engkau mendapatiku menyebut-nyebut nama itu setiap kali kemari. Tidak hanya itu, di pertengahan antara sore dan petang, tepatnya senja, aku datang ke sini, sekadar duduk menikmati gemercik air sungai di bawah jembatan ini. Aku tidak pernah mengatakan terang-terangan kepada orang rumah soal itu, tentang mengapa setiap senja, kamarku selalu dingin dan tidak bersuara sedikit pun. Karena aku sedang pergi ke jembatan itu dan merapal-rapal nama itu. Aku hanya berpamitan, “Aku pergi ke rumah Nancy sebentar saja. Melepas penat.” “Setiap hari?” “Ya… Memangnya kenapa? Bahkan masalah hidup datang silih berganti, hari demi hari, kan?” dalihku.
Rumah Nancy memang tidak cukup jauh dari jembatan itu. Sehingga, kurasa aku tidak sepenuhnya berbohong ‘kan? Anggap saja jembatan itu bagian dari rumah Nancy karena jaraknya yang tidak sampai 1 kilometer. Ah, percayalah, semua ini kulakukan demi nama itu. Seberapa ajaibnya sih jembatan itu? Mungkin itu yang terbesit di benakmu, juga Nancy. Tapi, agaknya percuma mencoba membuatnya mengerti.
“Feo! Feo! Kau ingat kan?” “Iya, Feo. Lelaki yang tempo hari kamu mengenalnya kan?” “Iya. Aku bertemu dia di jembatan itu.” “Lalu? Oh! Kamu jatuh hati dengannya?” Aku terdiam, menahan malu di dalam hatiku. Mana mungkin aku tidak jatuh hati ketika kau dapati ia memenuhi lorong doaku.
“Trus? Kalian saling komunikasi?” Aku hanya menggelengkan kepala, melayangkan pandang pada bebatuan besar di sungai itu. Kulihat, ada seorang wanita paruh baya yang duduk dengan tatapan hampa di atas salah satu batu besar itu. Mungkinkah… Itu aku?
“Lalu bagaimana engkau meneruskan perasaan itu?” “Perasaan apa?” Nancy mengernyitkan kening. Ia mendapati pandanganku mulai kacau. “Terserah, Jess. Aku mau pulang, sudah mau maghrib. Kamu harus pulang! Jangan sampai diculik setan.” Nancy meninggalkanku pergi. Aku tahu, Nancy pasti terburu-buru pergi karena ingin makan malam, sebab aroma kuah opor ayam sudah menyentilnya dari sejak matahari mulai lingsir. Kembali ke aku, ada apa ini?
—
“Jess… Sudah lama menunggu?” Itu Feo! Feodeira Arkeilius Belvisch! Aku bergegas memalingkan muka ke arah asal suara itu. Ya, di balik punggungku. Dialah Feo. Lelaki menawan penghuni jembatan. Dia sungguh-sungguh penghuni jembatan, bukan sebuah kiasan ngeri. Dia penghuni lama, sedang aku penghuni baru. Dan waktu kami berbeda meski berada di satu hunian yang sama. Aku saat senja, ia saat petang, tepat waktu mana aku seringkali melangkah pulang untuk penantian yang seringkali tidak membuahkan apa-apa ke rumah. Kali ini, aku beruntung, aku sedikit terlambat pulang karena melihat wanita paruh baya tadi yang kini, wah, di mana ya dia?
“Feo! Apa kabar?” “Baik, Jess. Kamu gapapa kan?” “Gapapa kok.” “Hanya saja, aku lihat wajahmu sedikit lusuh. Habis jatuh?” “Jatuh?” “Iya, seperti ada gores-gores lecet pada mukamu. Tidak sebening semula. Kau habis jatuh dari mana?” “Aku tidak jatuh. Sungguh.” Ia mengernyitkan kening. Lalu, ia menyuruhku mencuci muka pada air sungai itu.
“Bagaimana perasaaanmu?” “Sedikit lebih baik. Terima kasih Feo.”
Kami duduk di atas batu itu. Kaki kami menari-nari menghentak air sungai itu. “Maaf ya.” Ucapnya tiba-tiba. “Tentang?” “Aku tahu bahwa engkau selalu datang ke jembatan itu saat senja. Aku juga dengar semua bisik namaku itu. Tapi…” “Aku tahu.” Jawabku tersenyum. “Dimensi waktu yang berbeda, tidak bisa menyatu kan?” Imbuhku. Ia mengangguk.
“Feo, maaf tentang doaku. Aku menyebut namamu tidak bermaksud memanggil paksa dirimu. Jangan hatimu bersusah begitu.” Aku memeluknya. “Lalu? Apa maksud dari ucapan-ucapan dalam doa itu?” “Em… Hanyalah upaya mengukir cinta di tengah apa daya.” Lalu, Feo tertawa.
“Coba jawab pertanyaanku ini. Mengapa engkau mencintaiku?” “Karena… Hanya engkau yang kudapati menerima cinta tidak bermuka.” “Tidak bermuka?” Aku mengangguk. Tiba-tiba, Feo menghilang. Habislah aku! Ternyata ini sudah hampir pukul 7 malam. Aku berlari pergi menyusuri jembatan itu dan pulang ke rumah. Lupakan Feo! Dia sudah pergi.
—
“Kau habis dari mana saja?” Sahut ibu melihatku berwajah pucat di depan pintu. “Am… Nancy mengajakku makan malam. Makan nasi opor ayam.” “Kalau begitu, mengapa mukamu pucat?” “Aku… Aku tadi lihat setan!” Aku menipu ibu. Padahal, wajahku pucat ketakutan karena takut dihajar ibu, atau ayah, atau kakak. “Setan? Di mana?” “Di pohon kelapa dekat kuburan.” “Makanya jangan pulang malam!” Tandas ibu.
Aku lari ke dalam kamarku, meraih cermin kecil yang kutaruh di bawah bantal. Aku ingin memastikan tentang gores-gores yang dimaksud Feo. Feo benar, bagian pipiku terdapat banyak goresan, dan memang sedikit perih. Aku tidak ingat aku jatuh di mana, tergelincir di mana. Aku hanya ingat bahwa aku duduk terpaku dan mengobrol di tepi jembatan bersama Nancy, lalu duduk di atas batu bersama Feo.
Aku berusaha mencuci mukaku, tetapi gores-gores itu malah semakin kentara tergurat pada pipiku bahkan meluas hingga ke dahi dan daguku. Aku berlari kembali ke kamar, aku tidur lebih awal dari biasanya. Melewatkan acara menonton televisi, membaca buku cerita di bawah cahaya remang, semua kulewatkan. Aku berharap goresan-goresan di mukaku mengering esok pagi.
Pukul 4 pagi, suasana dalam rumah masih sepi, hening, tak ada sedikit pun suara. Aku sudah bangun dan langsung meraih kaca yang kutaruh di tempat biasa. Mari lihat, bagaimana goresan-goresan pada mukaku semalam. Namun, aku lebih dulu terkejut karena bantal kepalaku berlumuran darah. Dari mana asal darah itu? Setelah kulihat di kaca, ternyata darah itu bertetesan dari goresan-goresan pada mukaku yang semakin melebar lukanya. Semakin parah, aduh! Aku ingat bahwa tempo hari aku membeli gulungan perban untuk menutup luka pada kaki ibuku. Kala itu, ia terjatuh dari motor, darah tak kunjung dapat dibendung sampai akhirnya gulangan perban itu sedikit membendungnya hingga berhenti mengalir, mengering, dan sembuh hingga saat ini. Juga, oleh perban itu, luka setidaknya tidak mudah diganggu oleh interaksi-interaksi tak disadari yang dapat mengganggu masa pemulihannya, misalnya menyenggol suatu benda secara tidak sengaja.
Aku meraih perban itu, menggulungkannya pada wajahku hingga tersisa mata, lubang hidung, dan telinga yang tak terjamah perban itu. Aku melihat ke arah kaca, aku merasa lebih baik dan lebih percaya diri. Aku diam-diam membuka pintu rumah, bermaksud ingin pergi ke jembatan itu, siapa tahu, aku bertemu Feo. Aku ingin dia melihat wajah baru ini. Pasti Feo menyukai ini! Ini bukan waktu yang biasanya aku pergi ke sini, ya, ke jembatan ini. Bahkan fajar belum menyisir malam dengan sempurna saja aku sudah tiba. Aku melihat Feo ada di sana! Ya, itu Feo. Feo menyadari keberadaanku, ia berlari ke arahku dengan raut wajah bingung.
“Aku tidak menyangka kita bisa menyeberangi dimensi waktu kita masing-masing untuk bertemu pada dimensi waktu yang berbeda!” Ujarku. Feo masih terdiam mengamatiku. Ia semakin ngeri melihatku. Ada apa denganku? “Tunggu, kau kah itu Jess?” “Iya, ini aku!” Feo tercengang. Ia mengajakku duduk sejenak dan bertanya, “Ada apa dengan mukamu? Penuh dengan perban.” “Aku rasa kau benar, Feo, tentang goresan-goresan pada mukaku.” “Lalu?” “Luka itu semakin parah bahkan membasahi bantal tidurku.” “Astaga! Lantas mengapa engkau kemari sedini ini?” “Aku hanya ingin menunjukkan muka ini. Sebuah muka baru.” “Lalu?” “Aku mencintaimu.” Feo tertawa sinis, aku tahu ia masih tidak habis pikir tentang perban yang membalut hampir penuh mukaku.
“Mengapa engkau mencintaiku? Dan bagaimana tentang perban itu?” “Ya… Karena hanya engkau yang bisa menerima cinta tak bermuka, kan?” Aku bisa melihat raut wajahmu yang kecewa ketika engkau tak puas dengan balas yang kuterima setiap kali engkau bertanya, “mengapa kau mencintaiku?” Apa yang salah dengan jawabanku ini?
Lalu, Feo menepuk pundakku. “Jess, jangan ke sini lagi ya. Sepertinya penyebab goresan-goresan itu adalah tanganmu sendiri.” “Hah? Apa maksudmu?” “Jangan! Jangan lagi datang ke jembatan ini, baik pagi, siang, sore, ataupun petang. Percayalah padaku, dengan demikian goresan-goresan pada wajahmu memudar, sehingga perban itu tidak perlu menutupi mukamu.” “Tapi, aku merasa baik-baik saja, Feo!” “Jess, kali ini tunjukkanlah cintamu padaku dengan cara menjauhi jembatan ini! Aku mengatakan ini pun karena aku mencintaimu.” “Engkau tahu? Bukan karena jatuh goresan-goresan itu mengukir mukamu. Tapi karena belati di tanganmu. Engkau menyayatnya setiap kali engkau menyebut namaku!” “Ya, karena aku jatuh. Jatuh hati padamu.” “Apakah cinta harus membunuh?”
Aku bisa merasakan linang airmata menari di pipiku. Perih sekali karena mendarat tepat di sayatan-sayatan itu. “Maaf, aku tidak bisa menyeka airmatamu jika begini.” Lalu, Feo pergi. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bermain ke jembatan itu seperti kata Feo, meskipun rinduku kepada Feo senantiasa berkelindan siang dan malam, dan senja, dan… petang.
—
“Jess, Feo gimana?” Satu kali aku dan Nancy menyusuri jembatan itu pada siang hari selepas pergi dari kota seberang. “Feo? Lelaki hebat.” “Hebat? Hebat bagaimana?” “Kau tahu? Aku sudah sangat jarang kemari.” “Sungguh? Kenapa?” “Feo menyuruhku pulang, karena aku sudah terlalu malang.” “Malang bagaimana?” “Aku kehilangan wajahku. Wajahku jatuh dan hanyut dibawa aliran sungai ini.” “Apa itu ada hubungannya dengan bau anyir yang belakangan ini menyengat hingga kamar tidurku?”
Sukoharjo, 19 Juli 2021.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com