IBU, sebelum kepergiannya selalu berpesan kepadaku, agar menjaga hubungan baik dengan saudari tiriku yang bernama Gin, tiap Ibu menyampaikan hal itu, aku hanya mengiyakan anjuran Ibu dengan mengangguk ringan, dan sekarang Ibu benar-benar telah …
Wussshhhh … Angin siang itu berhembus sangat kencang, tidak seperti hari-hari biasa. Gon dan Gin yang telah lama berdiri di atas bebatuan itu. Mereka biasa berlatih bersama tepatnya setiap jam 13.13. Meski mereka bukan saudara kandung, tapi persaudaraan mereka kuat layaknya saudara kandung. Gon yang biasa dipanggil “Kak” oleh Gin. Karena Gon lahir 2 tahun lebih dulu sebelum Gin.
“Gin sudah 1 tahun penuh kita berlatih ‘harikkan’, mungkin sudah saatnya kita menantang ‘Pabela’. Dia yang sudah merenggut Ibuku, Ayah, dan juga Ibu tiriku. Akan aku hancurkan singgasana keangkuhannya. Walau aku belum sepenuhnya menguasai ‘titik sirna’ tapi amarahku sudah terlalu membuncah!”
“Kak … Aku kadang suka ragu, karena aku kan perempuan, mana mungkin aku bisa mengalahkannya. Aku pun kesal, dan masih menaruh dendam itu.” Jelas Gin dengan raut sedih. “Baiklah Gin, maukah kau membantuku dalam menguasai ‘titik sirna?'” “Tentu Kak, dengan senang hati.” Bahagia Gin bisa membantu Kakaknya dalam proses ‘balas dendam’
‘Titik sirna’ jurus pamungkas yang pernah diajarkan Gings di perguruan ‘harikkan’ seluruh dunia. Karena memang Gings sebagai tetua yang menemukan bela diri itu pada mulanya. ‘Titik Sirna’ pun akhirnya dikuasai, bahkan sangat dikuasai oleh Gon. Gon pun teringat kembali pesan Ibunya selagi hidup dulu,
“Gon kamu yang paling kuat fisiknya! Jangan pernah kau gunakan fisikmu itu untuk melukai saudara tirimu, meski kau kesal! Dengan saudara tiri yang sebenarnya tidak kau harapkan kehadirannya. Jangan kau kesal, karena bila kau kesal kau pun akan tertular penyakit ‘suka kawin’ macam Bapakmu. Walau dia suka kawin, tapi dia itu baik orangnya, dia sudah mencetuskan sebuah gerakan perubahan, ‘bela diri harikan’. Ingat ya Gon, jangan kau benci saudara tirimu, karena Bapakmu menikah lagi, Ibu yang ngizinin, bukan karena apa-apa, karena Ibu kasihan dengan teman sekaligus adik kelas Ibu yang belum kunjung menikah, sedang jumlah pria semakin hari, semakin punah, ingat selalu ya nak pesan Ibu ini.”
Gon terkadang sedih, terkadang juga tertawa terbahak-bahak, karena teringat pesan Ibunya. Ia terkadang menjadi bingung juga, pertanyaan yang sering muncul di benaknya, “hati Ibu itu terbuat dari apa? Bisa rela dimadu?”
—
“Gin waktunya telah tiba, pagi ini ‘titik sirna’ sudah kukuasai dengan sempurna. Bahkan aku bisa bertahan sambil menyerang dengan keadaan mata tertutup. Kamu tidak usah ikut Gin, aku selalu ingat pesan Ibu agar selalu menjaga hubungan baik sesama keluarga, aku bisa atasi ini sendiri, Gin … Aku berangkat ya jaga Jiji baik-baik ya.”
Jiji seorang nenek tua, Ibunya Gings yang dirawat oleh Gon dan Gin. Gon pergi untuk menumpas Pabela. Dengan cepat malam itu ia sudah berada di kediaman Pabela.
“Pabela kau tak berubah sama sekali, ‘pengecut!’ tak pantas orang sepertimu mendapat penjagaan yang begitu banyak seperti ini. Kemari pengecut! Darahku sudah terlalu dingin! Panaskanlah dengan ‘kepengecutanmu!'” Teriak Gon.
Pabela datang dengan posisi langsung ‘menerjang’ dari lantai 3 dia melompat, menuju Gon. Kekuatan gelap meliputi seluruh tubuhnya, lebih-lebih kakinya. Gon berusaha tetap tenang sambil membaca salah satu bacaan yang terdapat di buku ‘Hishnul Muslim’ bacaan ketika sore hari dan ketika berada di tempat yang menakutkan.
Perkelahian terjadi dengan sangat seru! Pabela tidak bisa menyentuh Gon sama sekali, setiap ingin menyentuh pundak Gon, langsung ditendang Gon dengan sangat kencang! Gon trus maju dengan ‘mata menyala’ dan bacaan ‘Hishnul Muslim’ yang terus diucapkan tanpa suara.
Pabela murka, ilmu gelapnya tak mampu menembus Gon, berbeda dengan perkelahian dulu, ketika melawan Gings beserta 2 Istrinya. Mereka sulit tapi bisa dikalahkan. Tapi Gon tampak kokoh dan seperti tak ada celah rapuh, bagi Pabela.
Pabela yang kalut saat itu, memuncak emosinya, ia terdesak, tak satupun tubuh Gon terluka oleh serangan brutal yang bertubi-tubi. Ia terpaksa menggunakan tumbal “manusia!” Pabela berteriak ke salah seeorang anak buahnya: “HEI REZARD! TARIK! DAN BAWA KESINI WANITA YANG TERIKAT ITU!” Dengan napas tersengal, ia kewalahan menghadapi Gon.
“Hhh … Hhh … Hhh … Anak kurang ajar, akan kubunuh dia! Seperti mendiang Ayah dan Ibunya!” Gumam Pabela di depan ‘tumbal wanita’ yang telah siap berada di depannya.
“NERAKA! BESERTA PARA PENGIKUTNYA, PEMUJA HAWA NAFSU, SEMUA KESESATAN, SEMUA KEANGKUHAN, KEGELAPAN, KELALAIAN, KEMALASAN, DASIM, IBLIS PENGGODA ADAM, IBLIS PENGGODA YUSUF, IBLIS PENGGODA YUNUS, SELURUH KEDURHAKAAN! YANG BERADA DI DUNIA YANG TIPU-TIPU INI! MAUPUN DI PLANET LUAR BUMI. BERKUMPULAH! SEMUANYA BERSAMAKU, KITA HANCURKAN LUMATKAN ANAK DARI MUSUH BEBUYUTANKU INI! DENGAN JURUS PEMUNGKAS ANDALAN KITA ‘Syrik, sihir, riba, dusta’ HHHKKHEIYAAHHHHHHHHH!” Teriak Pabela, sambil menghisap seluruh tubuh wanita terikat yang telah dibawakan oleh Rezard.
Tempat kediaman Pabela yang dipenuhi kegelapan dan hawa busuk itu berguncang dahsyat! Setelah mantra gila beserta tumbal wanita terikat itu. Gon agak panik saat itu, karena ia belum pernah merasakan “hal gila! Semacam ini selama hidupnya”. Walau panik ia tetap ingat beberapa hal mendasar yang telah diajarkan, Ayah, Ibu dan Guru mengajinya.
“Ayah, Ibu, Guru ngaji. Mereka semua pernah mengajarkan: ‘Tidak ada daya, upaya dan kekuatan di mana pun, kapan pun, siapa pun yang bisa melebihi kekuatan Pencipta segalanya. Aku yakin. Termasuk Pabela sekalipun, sehebat-hebatnya dia, sekuat-kuatnya dia, bila Pencipta belum izinkan aku mati! Aku pasti tidak akan mati!” Lirih Gon dalam diam, sambil mengepalkan tangannya.
“Baiklah bila Pabela telah menggunakan jurus terakhirnya, aku pun akan gunakan jurus dari aliran harikkan yang telah aku, dan Gin kembangkan bersama, ‘titik sirna’. Aku akan bersiap-siap, dengan kuda-kuda pernafasan 13 titik sirna.” Gon bergegas untuk menghantamkan ‘titik sirnanya’.
Pabela telah menghisap habis “wanita terikat itu” hingga tak tersisa. Dengan amarah paling puncaknya, ia maju dengan kecepatan penuh bersama “syisiridu”. Ia mengucapkan mantra pamungkasnya.
Sebelum Gon menyerang, Pabela bergerak lebih cepat bersama kegelapannya.
“Gooon! Aku dataaang! ‘syisiridu’…” Suara Pabela mendominasi ruangan, semua kegelapan itu mencengkram Gon. Tapi disana terlihat lingkaran yang tak bisa dikuasai Pabela. Lingkaran itu terang meliputi Gon. Dengan sekuat tenaga sisa yang Pabela punya, trus ia maksimalkan untuk menghancurkan Gon.
Gon tetap tenang dengan membaca ayat kursi, do’a sapu jagad, serta dzikir agar terhindar dari bahaya. Berulang-ulang ia ucapkan. Dengan keadaan mata tertutup pose menuju puncak ‘titik sirna, ia memajukan tangan kanan ke depan, dengan sedikit serong ke kiri, tangan kiri yang seperti posisi berdo’a melindungi ‘ulu hatinya’, kaki kanan maju bersamaan dengan tangan kanan yang agak serong kiri sedikit, lalu kaki kiri yang serong pendek sejajar dengan kaki kiri, serta pandangan lurus ‘rata-rata air’. Sambil trus melantunkan ‘Ayat kursi, do’a sapu jagad, dan dzikir agar terhindar dari bahaya’.
Dengan posisi saling baku hantam. Gon melawan Pabela. Pabela mulai kehabisan napasnya, hembusannya mulai tak beraturan dari hidung, dan mulutnya. tetapi KEGELAPAN! Itu terlihat lebih banyak, kuat, dan dahsyat mencengkram Gon. Tapi Gon pun tetap terlindungi dengan balutan cahaya putih terang yang tidak bisa ditembus Pabela.
Gon dengan mata terpejam mode ‘titik sirna’, tiba-tiba ia teringat pesan mendiang Ibunya, “Gon … Jagalah hubungan baik dengan semua saudara tirimu.” Ingatan itu membuat sosok Gin hadir bersama bayangan Jiji nampak begitu jelas di benaknya.
“Walaupun dari semua saudara tiriku yang tersisa hanya Gin, aku akan tetap ingat, dan berusaha sekuat tenaga menjalankan pesan Ibu.” Dengan langkah cepat sambil berdo’a Kepada sang pencipta. “Wahai zat yang maha hidup dan berdiri sendiri, akun memohon perbaikilah keadaanku seluruhnya, dan jangan engkau tinggalkan kepadaku urusanku walau sekedipan mata.” Ia meraih leher Pabela dengan tiga jari tangan kanannya. Batang lehernya tercengkram keras dan erat di tiga jari tangan kanan Gon. Dengan segenap semangat yang tersisa, demi Pencipta, Orangtua, Gin, Jiji.
“Tiada daya dan upaya melainkan hanya miliknya.” Gon mencengkram kuat batang laring pada lehernya, Pabela berusaha memberontak dengan memukul dan menendang Gon secara brutal, tapi daya semua gerakan Pabela berhasil dihalau kaki kanan, kaki kiri, dan tangan kirinya. Cengkraman Gon semaki menguat, hingga membuat batang laring Pabela pecah, remuk, dan terangkat dari tempatnya.
Pabela melemas, ia kehilangan pandangannya, matanya mulai sayup dan tertutup. Gon yang memegang potongan batang laringnya, segera meremas hancur sambil mengucapkan:
“Laa haula wa laa quwwata illaa billah,” “Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung.”
Cerpen Karangan: halub Blog: huzuryakindir.blogspot.con Halub dari Pamulang. “Pencipta Terima kasih atas segalanya.” Blog: huzuryakindir.blogspot.com Ig:halubz
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com