“Sekarang, untuk apa kamu tetap bertahan hidup?”. Ya plafon, ya jendela, ya gorden, ya pintu, bahkan Cherry Si Boneka lucu menatap tajam ke arahku. Aku merasa hampa seketika. Mungkin mereka ada benarnya.
—
Menyusuri malam yang sama, wajah pucat, bahkan aku tadi mencoba berkaca, “seperti mayat.” Aku kira, itu hanya imajinasiku saja. Ternyata tidak. Bahkan, Scott membiarkan suratku ditindih segelas kopi di meja kerjanya. Surat diselimuti amplop bermotif polkadot, yang kala itu, menjelang kukirimkan kepadanya, lebih dulu aku menyemprotkan minyak wangi dan satu kecupan manis, seperti…, “Wish me luck! Kali ini berhasil.” Namun bahkan Scott tidak menganggapnya ada. Scott memilih membalas surat-surat lain dengan amplop putih bersih, tidak ada corak sama sekali, selain jejak tarian tinta yang juga tergurat pada wajahnya. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kini, surat dariku bahkan mulai memudar motif polkadotnya. Itu yang terakhir kulihat saat menyusuri jalan pulang, sebuah tong sampah nampak jatuh dan memuntahkan isinya, termasuk surat dariku. “Bahkan sampah pun memuntahkannya. Apalagi Scott.”
Aku pulang. Ya, aku pulang jauh lebih awal. Kubentangkan tubuhku membeku. Lalu, datanglah mereka menyambut tubuhku. “Sekarang, untuk apa kamu tetap bertahan hidup?”. Ya plafon, ya jendela, ya gorden, ya pintu, bahkan Cherry Si Boneka lucu menatap tajam ke arahku. Aku merasa hampa seketika. Mungkin mereka ada benarnya. Aku masih terdiam seribu bahasa. Belati-belati dalam memori bahkan tidak bisa lagi menyayat hatiku agar menangis. Aku sudah kehabisan airmata untuk menangis. Mungkin benar aku mayat.
“Kau bertanya demikian seolah aku ini orang yang masih hidup.” Ujarku. Lalu, semua terdiam. Aku tersenyum kecil. Tanganku mengepal kuat. Dulunya, memang, ini sebuah isyarat bahwa, “Harapanku ada di genggaman tanganku.” Tapi, sekarang itu sebuah isyarat kegeraman hati bahwa, “Aku benci masih ada di sini.” Omong kosong dengan harapan! Dialah yang berdiri di garda terdepan ketika aku diseret ke pembantaian bahkan untuk alasan yang sama sekali tidak masuk akal untuk dinyatakan sebagai kesalahan. “Kau mengejar dan meneror hal maupun orang tidak bersalah.” Aku terperangah tidak percaya. Tunggu, aku heran. Maksudnya apa? Lalu, harapan itu menamparku dengan wajahnya yang merah penuh amarah. “Aku ini tidak suka ada orang sepertimu!” Lalu, aku menunduk. “Aneh, bahkan engkau terbit di setiap pagiku. Masakan aku tidak mengenalimu. Bahkan, engkau juga yang menghiasi petiduranku dengan kata-kata manismu ‘aku di sini untukmu’. Seharusnya kau yang dibantai!” Ia meluncurkan anak panah ke perutku. “Supaya engkau ada di sini dan cepat mati.”
—
“Jadi? Bagaimana? Untuk apa masih bertahan hidup?” Pertanyaan itu sekali lagi menari-nari di plafon. Persis seperti rok-rok para hantu layaknya Casper.
Mungkin ada benarnya. Kalau orang bertahan hidup, misalnya, karena kekasih yang mencintainya, baiklah mungkin masih bisa diterima. Tapi bahkan aku sudah tidak memiliki bayangan aku mendapat pasangan. Selain karena aku dihukum demikian, juga memang aku tidak menyanggupi risiko yang dibebankan ke punggung yang sudah penuh sayatan. Sudah mau jadi mayat, masih juga disayat-sayat. Kurang lebih begitu.
Kalau bertahan hidup untuk menapaki gedung kehormatan, menyelimuti awak dengan jubah kehormatan, atau sekadar menghangatkan pantat di kursi kehormatan, agaknya itu terlalu membosankan. Bahkan, aku kalah bahagia dengan mereka yang memilih duduk dan tidur di lantai yang dingin karena disapu angin yang leluasa masuk oleh karena jendela tak bergorden. Membiarkan televisi menggelitik kaki mereka, tertawa terbahak-bahak, menangis tersedu-sedu, gemas sampai lemas dan tertidur pulas, tahu-tahu pagi sudah menyapa dan kembali pada aktivitas, atau duduk sejenak di teras disuguh kepul teh panas. Daripada aku, terkejut dalam tidurku, terjaga pada malamku, pagi menjemput aku masih lesu, tapi langkahku dikejar waktu. Kalau aku nekat tidur, nekat kabur, ya sudah, nasibku berjalan ke alam kubur. Maut dipanggil, malah menjauh. Memaksa diri terjun, tahunya masih hidup dengan badan babak belur. Sial! Nasibku jauh lebih buruk daripada mati terbunuh.
—
Aku mencoba memejamkan mata, aku berpasrah, mungkinkah ini peristirahatan terakhirku? Aku tidak tahu. Yang kuyakini bahwa Scott tidak akan datang juga menilik jenazahku. Mungkin saja yang datang hanya lilin dan bunga.
Pukul 11:43 pm, aku terbangun dari tidurku. Aku memikirkan Scott, “Ah, aku tidak usah mengirimkan surat lagi. Aku takut.” Aku takut Scott dihunus pedang karenaku. Sebab, di dalam mimpiku, aku melihat sosok lain membawa katana dan melibas kepala-kepala. Aku berteriak, “Jangan kau apa-apakan!” “Mereka harus menanggung akibatnya.” “Akibat apa?” Lalu, ia menyodorkan surat yang pada amplopnya ada motif polkadot, sudah sedikit usang. “Di sini tertulis pengirimnya adalah engkau.” Imbuhnya. Aku meneguk ludahku. “Apa aku salah?” Aku menggeleng-gelengkan kepala dan berpasrah. “Aku sudah selesai.” Ujarnya dan pergi sambil menyeret katananya sepanjang jalan. Bersama dengan itu, jejak darah yang dilukis ujung katana mengikuti ke mana ia pergi. “Tenang, dia tidak mengikutimu.” Ujarnya lagi sembari tersenyum menengok ke arahku.
—
Aku merenung sambil memeluk Cherry, bonekaku. Kulihat plafon sedang tidur pulas, demikian gorden, jendela, dan pintu. Aku mendengar suatu pertanyaan yang tidak seharusnya datang dan entah dari siapa, “Untuk apa juga engkau mati hari ini?”
Sukoharjo, 23 Juli 2021. Pukul 12:22 AM.
Cerpen Karangan: Debora Jessica Desideria Tanya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com