Dihari dimana langit bersorak dengan warna kelabu. Dia menutupi setiap barisan duka dan tawa. Sementara puing-puing bangunan mulai runtuh. Kini warna mereka mulai tercampur seperti mimpi buruk yang aku alami. Bayangan orang-orang mulai kabur oleh tetesan air yang mengalir tiada henti. Suara itu menyelimuti ketakutan didalam hatiku. Kini tembok kerajaan mulai runtuh terombang-ambing oleh para monster. Aku melihat kedua orangtuaku berdampingan dengan keteguhan hatinya. Pelukan dan tangisan terkubur dalam pertarungan penuh ambisi.
Aku hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu tentang jalan pikiran orang dewasa. Ada pepatah mengatakan bahwa kemudahan akan kita raih dengan bersabar oleh banyaknya cobaan yang kita hadapi. Namun semua rintihan itu tak kuasa aku tahan. Hanya sebilah kata yang ingin aku ukir disetiap makna. “Aku mencintai kalian”. Dengan segenap hati. Sepertinya harapan hanya berlalu begitu saja, dengan waktu yang menyandera diriku.
Sebuah pilar-pilar berdiri disudut-sudut rembulan. Tatapan ini tertuju oleh sebuah kesederhanaan sebuah warna. Warna itu polos tanpa memiliki kearguan didalamnya. Aku memejamkan mata yang mulai lelah ini dengan deretan kisah. Namun aku tidak ingin mendekap didalam serpihan mimpi tiada tara. Aku kembali membuka mata yang penuh keraguan ini untuk melangkah dan melindungi kedua orangtuaku.
“Aku akan melindungi kalian, karena sekarang aku sudah besar… ” aku berdiri menghadang setiap monster yang datang untuk melindungi mereka. Aku mendengar seruan dari seberang mimpi. Sebilah perasaan dingin ini menembus senyuman yang aku miliki. Aku hanya ingin ayah dan ibu tersenyum karena aku telah melindungi mereka. Tapi kenapa mereka bersedih?
Aku terbaring di dataran penuh noda dan rindu. Dibawah bayangan kedua awan kelabu. Mungkin sekarang aku melihat awan-awan itu menjadi jingga dibawah langit mega. Namun warna itu mulai pudar disertai oleh nyanyian merdu. “Jika kamu terjatuh, maka aku akan membawa dirimu…”. Suara pelan itu melelapkan diriku dengan keindahannya.
—
“wow, bukankah itu cerita yang menyedihkan…?” “setidaknya hal itu bisa mengisi kejenuhan ini bukan …” “siapa juga yang ketahuan gara-gara mencuri bola kristal?” “tapi kamu kan juga ikut Gisel…” “bagaimana kalau kita balas dendam sama kepala sekolah?” “kamu emang ngga pernah kapok yah… tapi boleh juga” “aku punya rencana bagus, hehehe… awas aja nanti pak kumis…”
Perbincangan kami berdua cukup panjang hari itu. Melewati waktu yang menyenangkan hanyalah sebuah permainan kata. Aku menjelajahi segala ruangan untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Hingga kami berdua kabur dari kejaran para penjaga sekolah.
“Setidaknya kabur adalah jalan terbaik untuk lolos” “Kau tau?, mungkin sekolah ini memiliki sebuah rahasia …” “Aku mungkin memiliki insting yang tajam tapi memecahkan sebuah misteri bukan salah satunya” “Hah… apa kamu bercanda?… Bukankah kita sering mencuri barang-barang di sekolah ini?” “Apakah kamu tau Gisel…? Sekolah ini punya sejarah yang panjang, jadi akan sulit jika mencuri salah satu dari sejarah itu..” “Yah, inilah dia… Apakah kamu akan mengeluh hanya karena kita sering berhasil?” “Setidaknya jika kita benar-benar mendapatkan benda terlarang dan paling kuno ditempat ini…” “Aku suka semangat itu!!… Besok kita akan mulai mencari target selanjutnya.., dan mungkin akan lebih menantang…”
Aku melihat senyuman itu lagi. Sebuah bingkisan yang tertinggal diantara para murid lainnya. Di atap sekolah ini aku melihat kembali sebuah cahaya berwarna jingga. Kami berdua kembali menuju asrama, tempat diamana setiap drama bermulai. Tentu saja dengan mengunkan sihir ilusi. Malam itu setiap bintang ingin menari dengan rembulan. Hanya saja mereka tidak bisa berdansa.
Keesokan paginya kami rutin melakukan bersih-bersih lingkugan sekolah. Aku rasa itu adalah sebuah sarapan yang biasa kita makan setiap harinya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan nyali kami berdua untuk mencuri sebuah buku kuno didalam perpustakaan. Rumor itu beredar dengan kabar bahwa, tidak ada seseorang pun yang berhasil lolos setelah mengetahui keberadaannya. Hal itu membuatku tertantang untuk memecahkan segala teka-teki tentang sejarah ini.
Gisel akan membuat kegaduhan sementara aku mencari buku kuno yang katanya sangat susah untuk dicari. Setelah semua rencana itu kita anggap sempurna, akhirnya kami melakukan hal itu saat sedang melakukan kegiatan bersih-bersih. Aku membawa sebuah tongkat sihir berwarna coklat tua untuk persiapanku menuju ruang perpustakaan. Dilain sisi Gisel membawa sebuah tungku perapian ke dalam sebuah gudang dan mulai membuat kobaran api. Untungnya gudang itu sudah tidak pernah dipakai.
“Api!! Api!! … Ada kebakaran disini!!” Suara lantang Gisel menjadi pertanda bahwa rencana kami sudah dimulai. Para murid yang tadinya asik didalam kelas, kini mulai berlarian seperti tumpukan kapas yang terbang. Kepanikan melanda sekolah ini, semua guru terlihat mondar-mandir karena kewalahan menenangkan para murid. Aku mulai beraksi dan berjalan menuju sebuah perpustakaan.
Didalam aku melihat seorang penjaga yang tua, seorang nenek dengan kacamata bundar. Tanpa menunggu lama aku menggunakan tongkat sihirku dan membuat seluruh orang yang ada di perpustakaan menjadi tertidur. Aku menggunakan sihir pencarian, namun tidak membuahkan hasil. Dengan terpaksa, aku mencari disetiap sudut-sudut rak buku itu. Namun akan membutuhkan waktu yang lama, mengingat perpustakaan ini adalah bangunan tertua di sekolah ini.
Sadar akan keterbatasan waktu, aku mencoba menebak dimana kira-kira buku itu berada. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk mencari bagian rak buku yang memiliki berbagia macam buku dengan usia diatas seribu tahun. Mungkin saja ide ini memiliki keberhasilan yang sangat minim, apa lagi aku hanya menggunakan sebuah insting dalam misi berbahaya ini.
“Kenapa aku bodoh sekali, seharusnya aku memikirkan tempat persembunyian buku ini…” Aku bergumam kesal karena kelalaian dalam merencanakan sesuatu tanpa detail sekecil ini. Ketika aku melihat langit-langit perpustakaan, ada sebuah batu berwarna hijau seperti Emerald. Karena aku tak lagi menemukan buku itu, rasa penasaranku teralihkan oleh batu hijau di langit-langit ruangan tiu. Dengan rapalan sebuah mantra sihir, aku mulai terbang dan menggapai langit-langit perpustakaan. Ketika aku menggapainya, ternyata itu adalah sampul sebuah buku. “Nah.. Kena kau…dasar buku kuno…” Aku merasa senang karena telah memecahkan sebuah misteri yang selama ini ada.
Aku berpikir bahwa ternyata sebuah buku kuno rahasia tidaklah seperti yang didengar. Pikiranku mengatakan betapa konyolnya orang-orang jaman dahulu. Segera aku raih buku itu. Ketika aku hendak membukanya ada serangan yang mengarah kepada diriku. Sontak hal itu benar-benar membuatku kaget dan membuat keseimbanganku terpecah hingga akhirnya aku terjatuh.
Disaat aku terjatuh dari langit-langit ruangan perpustakaan yang berjarak sepuluh meter, aku hanya memikirkan satu hal. Ada sebuah senyum tak asing bagi diriku ketika aku melihat seseorang yang menyerangku dari arah belakang. Buku itu terbuka dengan sendirinya dan mengeluarkan cahaya berwarana hijau. Namun dibalik cahaya itu terdapat sebuah kegelapan.
Aku yang sedang terjatuh tidak bisa menghindari kegelapan itu, hingga akirnya ia menelanku kedalam keheningan tanpa batas. Kesadaranku mulai berkurang dan aku mulai lemas karena belenggu kegelapan itu. Efek sihir yang kuat dan dampak dari serangan orang tersebut membuatku tak sadarkan diri. Hingga aku terlelap oleh mimpi buruk sewaktu kecil terus mendatangiku.
—
Waktu itu kupu-kupu bertebaran disekitar taman bermain. Aku sedang memetik tangkai bunga dengan aroma yang harum. Warna biru, kuning dan putih bermekaran di taman di halaman rumah ini. “Kupu-kupu kemarilah,… aku ingin bermain bersama kalian…” Aku ingin mengajak para kupu-kupu itu untuk bermain dan menari bersama. Rasanya dangat disayangkan jika aku harus menikmati bunga-bunga ini sendiri.
“Nak,… berapa jumlah kupu-kupu yang kamu tangkap hari ini?” Ibu menanyiku penuh dengan senyum yang tulus itu. “Baru sedikit kok…” Aku menjawabnya, mungkin kesederhanaan membuat keluarga kami hidup dengan damai. “Nak,… Kupu-kupu itu juga makhluk hidup. Ia berhak untuk menari dan bermain bersama kita di alam bebas” “Tapi kan mereka semua cantik, bu…” “Keindahan mereka bukan hanya untuk dinikmati untuk kita seorang diri, namun semua bunga ini juga ingin bermain dengan kupu-kupu itu…” Kata-kata ibuku yang lemah lembut membuat hatiku menjadi luluh. “Baiklah ibu…” Aku mengeluarkan semua kupu-kupu itu dari dalam toples. Beberapa sayap dari mereka terlihat begitu indah dengan bercak biru muda.
Sore itu banyak orang berkeliaran di jalan yang berada di depan rumah kami. Ayahku sedang membawa kayu bakar untuk menghangatkan ruang tengah mengunakan tungku perapian. Ibu mengajak diriku untuk masuk dan membantunya memasak di dapur. Aku berjalan perlahan dan mentiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Sore itu langit berwarna orange dengan bintik keemasan di atas awannya.
—
Aku terbangun dari mimpi itu dan memperhatikan keadaan sekitar. Sebuah rak-rak buku bejajar seperti parade yang tengah menari. Hanya sebuah ruangan dengan buku tersegel ditengah persegi yang menutupi dinding. Sebuah lentera tergantung di sepanjang sudut aku memandang. Aku tak mendengar suara apapun. Di dalam pikiran aku mencoba menebak segala celah dan alasan kenapa aku bisa berada di ruangan ini.
“Tolong!! …Sapa saja!! …” Suara itu terlintas dari mulutku, namun teriakan itu sepertinya tidak terdengar diluar ruangan ini. Aku mencari tongkat sihir yang terjatuh bersmaan denganku untuk menghancurkan ruangan penuh buku ini. Ketika menemukan tongkat sihirku, aku keheranan karena tidak menemukan sebuah pintu dimanapun. Hanya tersedia rak-rak buku di segala sisinya.
Rapalan mantra sihir untuk menghancurkan salah satu rak yang ada di depanku sudah selesai. Ketika aku mencoba menyerang rak tersebut, tidak ada tanda-tanda sihir yang keluar. Sepertinya ruangan ini memiliki sebuah barrier anti sihir, sehingga segala macam sihir tidak memilki dampak yang berarti. Aku mulai merasa cemas, sehingga salah satu rak buku yang berada di sebelah kiri aku acak-acak dan aku jatuhkan semua bukunya. Di belakang rak itu terdapat sebuah dinding kayu, kemudian aku memukul dinding tersebut dan berharap ada yang mendengarkan.
Usahaku sia-sia saja, namun aku tetap tidak menyerah dan kembali mengacak-acak semua rak buku tersebut dan berharap bahwa terdapat pintu rahasia untuk keluar. Namun setelah semua rak tersebut berantakan, tak ada satu pintu yang tersembunyi. Hanya ada sebuah dinding kayu dan buku-buku yang berserakan. Aku berpikir ini adalah ulah dari kepala sekolah, namun kenapa hanya ada aku seseorang?… Aku mempertanyakan hal ini didalam pikiranku. Mungkin saja Gisel juga berada di ruangan yang sama namun di tempat yang berbeda. Melihat banyaknya buku di ruangan ini, aku merasa ini adalah hukuman yang buruk untuk memaksa murid di sekolahnya belajar.
“Apakah ini ulahmu Pak Kumis?!!… Candaanmu ini tidak lucu sama sekali!!!..” aku tak mendengar jawaban apapun, hanya sebuah keheningan yang meratapi tempat ini. “Hey!!… apakah kamu mendengarkan aku Pak Kumis!! Jawablah!!…” Aku mulai bergumam dengan nada tinggi sambil memukul-mukul dinding kayu itu. “Keluarkan aku disini!! Dasar orang tua kurang kerjaan!!!…” Hari ini aku begitu kesal dengan ulah semua orang di sekolah ini, kecuali Gisel tentunya. “Baiklah kalau begitu!!… Jika kamu tidak mau mendengarkanku, aku akan menunggu tanpa membaca buku ini satu pun!!… Apakah kau dengar itu!!…” Aku berteriak kesal dan membentak orang-orang yang mencoba untuk menjahiliku. Buku-buku itu berserakan di lantai, namun aku sangat malas untuk merapihkannya. Tentu saja hal itu akan membutuhkan banyak sekali energi, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan energiku habis karena membersihkan buku yang berserakan di lantai. Aku duduk termenung dan merasa bosan.
Aku mencoba memperhatikan secara seksama dengan berharap ada celah untuk kabur, namun hal itu sepertinya tidak mungkin. Rasa bosan ini menumpuk dan tatapan sayu tertuju pada ratusan lembar buku-buku pelajaran sihir. Meskipun aku tidak pernah membaca dan belajar sama sekali, namun aku cukup yakin bahwa buku-buku ini merupakan ilmu dasar sihir. Sayang sekali jika aku harus mempelajari sesuatu yang sudah aku ketahui sebelumnya.
Penasaranku tertuju dengan sebuah buku yang lumayan tebal dan kuno berwarna hijau. Buku itu berada ditengah-tengah ruangan dan tertutup rapi diatas sebuah meja berbentuk persegi. Aku mencoba berjalan dan menyingkirkan buku yang jatuh berserakan agar bisa berjalan mendekati buku berwarna hijau itu. Perlahan aku menggapai meja itu dan melihat sampul bukunya yang tersegel oleh seutas tali. Tulisan di atas tali itu seperti sebuah isyarat untuk membuka buku itu.
“Jiwa adalah waktu yang tertutup. Keabadian hanya sebuah kerapuhan”
“Hm… buku ini benar-benar menarik, sampai harus menuliskan kata-kata tidak masuk akal” Aku merasa semua hal ini sangat konyol. Sendirian di dalam sebuah ruangan adalah hal yang menakutkan. Suasana hening ini begitu mencekam. Aku duduk dengan kedua tanganku saling berpegangan. Ruangan ini seperti menatap tajam kedalam diriku. Aku mulai terlelap oleh suasana yang lembut ini.
Cerpen Karangan: Imam Nurhaqi Blog: tykini.blogspot.com/2021/07/lithina-unborn-edited1.html Cerita untuk seri jangka panjang… semoga terhibur…kalau kalian mempunyai ide, boleh diskusi bareng dengan saya di dicord discord.gg/PpNDVgTkPQ
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com