Terdengar suara gemuruh diluar halaman rumah kami. Aku melihat kilasan dibalik bingkai jendela. Terdapat sebuah kabut yeng menghalangi cahaya senja, warna kelabu menghiasi tembok pelindung kota. Ayah dan ibu bergegas keluar dan memeriksa keadaan, kamudian ibu mengajak diriku untuk keluar. Aku hanya melihat sebuah pemandangan dibalik jendela itu.
“Nak… Ayo ikut ibu sekarang …” “Bu, kenapa semua orang berlarian?” “Ah… Lebih baik kita berjalan bersama ayah…” Aku melihat tatapan gelisah diantara tatapan mereka.
Langkah kaki mulai menjadi cepat, seperti kupu-kupu yang berhamburan. Ibuku memegang tangan kananku dengan erat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal diantara kejadian yang ada. Langkah kakiku sepertinya terseret karena tidak mampu mengimbangi gerakan mereka. Aku melihat kesibukan tersendiri yang sedang orang lain lakukan. Beberapa diantara mereka membawa semacam garpu namun lebih panjang dan besar. Ibu meraih tubuhku dan mulai menggendongku dirangkulan tangannya.
Kehangatan itu masih terdapat di dalam hatiku, bahkan ketika beberapa helai rambutnya menyentuh wajahku. Aku melihat kearah tembok dari batu tersebut mulai retak dan roboh berkeping-keping. Dibalik puing-puing itu aku melihat sebuah sosok yang besar dengan dua tanduk seperti kerbau di kepalanya. Warna kulitnya hijau, namun dia berdiri seperti manusia meskipun kakinya menyerupai kucing. Matanya merah, giginya penuh dengan taring dan dia membawa sebuah gada.
“Bu, hewan apakah itu?…” Aku bertanya penuh dengan tatapan penasaran. “Nak… tatap mata ibu,… Apapun yang terjadi jangan melihat ke belakang…” Raut wajah ibuku berubah dengan nada kecemasan didalam suaranya. Tanpa aku sadari, hewan buas itu mulai menghancurkan tembok kerajaan dan memasuki area kota. Terjadi kerusuhan besar, semua tentara mulai menyerbu hewan itu dan mereka saling menyerang. Banyak rumah yang hancur dan terlalap oleh kobaran api sehingga menimbulkan gumpalan asap kelabu yang tebal. Dibalik bayang-bayang kabut itu, sebuah hewan dengan tubuh paling besar yang aku lihat sedang berlari menuju kearah kerumunan prajurit dan menerjang mereka semua.
“Bu… apakah hewan itu sedang mengejar kita?…” Ibu menoleh kebelakang sebentar dan memastikan keadaan. “Dengarkan ibu… Semua akan baik-baik saja,… Sekarang tutup matamu dan bayangkan ibu selalu bersama dirimu, oke…?” Kesedihan mengalir dari raut muka di depanku. Dengan senyum terselubung, aku hanya berharap moment itu tidak pernah berakhir. Aku hanya mengangguk dan diam dalam keadaan penuh bimbang.
Langkah kaki berderu, seakan-akan ini adalah simulasi dari ungkapan tanda tanya mereka. Aku hanya duduk dengan membayangkan hal yang indah didalam runtutan memori dan ingatan didalam diriku. Kekacauan ini begitu besar untuk selalu aku ingat dalam sejarah panjangku. Teriakan dan penderitaan selalu aku tutup dengan kedua tanganku. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku melihat semua kejadian nyata secara langsung.
“Pergi!!… Larilah nak!!…” Aku mendengar suara ibuku secara samar-samar. Hati ini bergejolak dan mencoba untuk bangkit. Perlahan-lahan aku membuka kedua mataku untuk melihat semua hal yang sedang terjadi. Perasaan tajam menukik kedalam setiap indraku. Aku merasa ketakutan, namun disaat yang sama kesedihan juga mengalir. Kedua perasaan itu membuatku sangat terpukul.
Di depan sebuah jalan-jalan yang ramai itu, malapetaka mengalir bagaikan hujan bernoda hitam. Tanduk hewan itu terlalu mengerikan untuk menjadi bahan tontonan. Aku melihat sebuah makhluk besar depanku, dia memegang lengan kiri ibuku hingga ia terangkat keatas. Ayah terdiam di samping hewan itu dengan noda merah dan tertidur tak sadarkan diri.
“Ayah… Ibu… Apa yang terjadi…?” Bisikan lembut terukir dalam kenangan terindah didalam hatiku. Namun kini ia berubah menjadi kenangan terburuk yang kualami. “Larilah nak… Ibu dan ayah akan menyusulmu nanti…” “Aku tidak ingin sendiri!!… aku ingin bersama kalan!!…” Perasaan takut ini menjadi hilang, secara perlahan aku merasa detak jantungku berdegup dengan kencang. “Aku mencintai kalian…” Kata-kata itu terucap begitu saja. Aliran waktu terasa melambat hingga sepersekian detik. Moment ini seakan-akan tak berujung. Aku merasa bahwa selama ini para hewan itu ingin menyerang keluargaku. Perasaan di dalam hatiku mulai memansa seperti terbakar oleh bara api. Kemarahan ini menutup kesabaran yang aku miliki.
“Lepaskan IBU!!!…” Teriakan itu bergema ke seluruh tubuhku, getaran dan gelombang suara itu menghancurkan semua benda disekitarku. Sebuah lantunan melodi panjang kedalam cerita pengantar sebelum tidur yang selalu terukir dalam langit malam. Hewan besar itu tumbang dan mulai hancur karena resonasi nada yang meluluhkan tangisan.
Aku merasa lemas dan penglihatanku mulai kabur. Kini aku seperti tertimpa oleh dinginnya musim semi. Belaian lembut menerima diriku apa adanya, seakan-akan dia melahap setiap kesadaran yang aku miliki. Derai-derai air mata berjatuhan mengenai wajahku. Terlihat sebuha senyum diantara pilar-pilar cahaya rembulan. Orang yang selalu ada, namun dia tampak tidak asing bagiku.
“Jika kamu terjatuh, maka aku akan membawa dirimu…”. Suara pelan itu melelapkan diriku dengan keindahannya
—
Aku kembali tersadar didalam ruangan penuh dengan buku yang berserakan. Ditengah-tengah ruangan itu sebuah buku berwarana hijau mulai memancarkan sebuah warna dan membuatku kaget. Bilah-bilah kekuatan sihir yang belum aku rasakan memenuhi aura di dalam ruangan ini. Bergejolak dalam tarian dan lukisan sihir tanpa batas terpendam dalam tekanan disebuah cahaya. Kini cahaya itu mulai menjalar keluar dari buku kuno dengan sebuah transisi yang mulai memudar. “Kekuatan sihir yang begitu lembut, tapi tidak berujung…” aku bergumam dengan rasa penasaran. Dalam hatiku hanya terjadi beragam pertanyaan tentang semua kejadian ini. Apakah memang benar jika sekarang aku terkurung dalam sebuah ruangan yang ada didalam sekolah akademi ini? Padahal tak ada ruangan seperti ini disetiap ruang lingkup yang pernah aku jelajahi di sekolah ini. Lalu jika ada ruangan kosong yang digunakan sebagai hukuman, kenapa guru-guru ataupun kepala sekolah disini tidak menggunakannya? Kenapa baru sekarang?
Semua pertanyaan itu berputar seperti jarum jam yang terus berdetak tiada akhir. Didalam keraguan itu aku melihat sebuah transkrip yang belum terjamah oleh perpustakaan disini. Tulisan itu adalah sebuah bahasa arcane, bahasa para dewa yang menemukan sihir untuk pertama kalinya. Seribu lima ratus tahun yang lalu sejarah telah melupakan peninggalan sihir terkuat, sihir arcane. Sekarang hanya sebatas cerita dongen yang berkeliaran dirantai akademi. “Arcane,… sebuah ilusikah?” Tanpa aku sadari aku telah memegang buku hijau itu dengan penuh rasa takjub. Sebuah aliran mistis memenuhi batas mana yang aku miliki dan terus mengalir hingga aku tak bisa merasakan sebuah batasan. Ketertarikan yang aku miliki begitu tinggi hingga aku tidak mempedulikan semua buku-buku yang telah jatuh terkulai di lantai.
“Aku ingin mempelajarimu, berikanlah semua yang kamu ketahui,… Semuanya…” Gelembung percikan muali terjadi. Merka terlihat seperti sebuah kembang api yang indah dan bertebaran di angkasa. Aku memasuki sebuah ruang dimensi dan waktu. Berdiri di sebauh gerbang besar dan membatasi pandanganku. Tanganku mencooba meraih pintu itu dan membukanya. Secarik kertas terlihat terbang melayang di udara seperti burung yang bermanuver dengan kecepatan tinggi melintasi awan.
Terlihat pilar-pilar dengan rajutan warna purttih terbengkalai disetiap penjuru aku memandang. Warna yang polos seperti mimpi di ujung waktu. Alam bawah sadarku muali berjalan tanpa bisa aku kendalikan. Ribuan kertas dengan bahasa arcane memenuhi halaman itu. Mereka terbang kesana dan kemari menghiasi taman di halaman itu. Aku mulai meraih mereka dan membaca setiap bahasa arcane yang bisa aku pelajari.
“Aku akan mendapatkan kalian semua,… tak akan aku sisakan satu helai pun…” Nafsu yang membara di dalam hatiku telah membutakan setiap kejernihan pola pikirku. Aku mulai menangkap lembaran itu satu per satu, waktu demi waktu, dan mulai mempelajari sebuah sihir terlarang dan terlupakan Arcane. Lembaran waktu terurai sangat cepat, bahkan aku tidak menyadari perubahan yang ada didalam diriku sendiri. Setelah ribuan bahkan lebih dari semua itu, aku telah mempelajari semua sihir arcane.
Aku menyadari bahwa selama ini aku terjebak oleh ruang kegelapan yang menguasai kesadaranku. Pemicunya adalah sebuah segel kuno tentang batu hijau yang aku temukan di atap perpustakaan sekolah ini. Aku membuat sebuah afinity dari semua rangkaian sihir arcane sehinga aku mampu menciptakan ruang waktu tersendiri. Bingkai berwarna emas terbuka dihadapanku dan membentuk sebuah jalur panjang menuju kesadaranku, agar aku bisa terlepas dari ruang kegelapan ini. Aku masuk ke dalam jalur putih itu, dia begitu panjang namun hanya memiliki lebar setara dengan kedua tanganku.
“Aku harus sadar dan mencoba untuk mengingat semua hal yang terjadi di dalam ruang waktu ini, arcane adalah sebuah legenda dan aku tidak bisa memberitahukan hal ini kepada semua orang” Ketika aku mula berjalan menuju sebuah pintu dengan cahaya mentari, jalan ini mulai bergetar. Ketika aku menoleh kebelakang, jalur itu mulai runtuh dengan perlahan. “Sialan…” Aku mengatakan kata-kata dengan wajah kecewa dan rasa panik yang menghantuiku. Aku berlari dengan sangat cepat seakan-akan ini adalah pertandingan hidup dan mati. Melewati jalur yang panjang dan skema yang dikejar oleh nasib, aku tidak mau kalah dan terus berlari menuju pintu bercahaya itu dengan menjauhi bingkai ruang waktu. Tak ada sihir ataupun rangkaian arcane didalam pikiranku, karena hal itu percuma saja dilakukan.
“Ini adalah ruang alam bawah sadarku sendiri,… jangan menguasaiku seenaknya, Dasar Monster!!…” Aku mencela kegelapan didalam hatiku dan meraih sebuah pintu bercahaya. Dibalik alur kesadaranku, lintasan sihir arcane menyimpang dari kegelapan dan meninggalkannya didalam kepingan ruang waktu. Seklai lagi aku terjebak dalam dunia antara dan kembali terlelap oleh mimpi masa kecilku. Sebuah kebenaran yang terhimpun dalam rasa penyesalan dan kesendirian.
Berminggu-mingu semenjak kejadian pasca penyerangan oleh para monster itu terjadi, keluarga kami pindah ke dalam sebuah desa di pingggiran kota dengan nada alam bersahabatnya, tapi tidak dengan diriku. Kejadian yang menyebabkan bekas luka pada kedua orangtuaku, nampaknya menjadi alur tesendiri bagi mereka. Setiap malam tiba, ibuku berteriak ketakutan dengan apa yang pernah dia alami. Malam-malam berlalu dengan mencekam, tanpa aku sadari semua itu terjadi karena trauma yang ia rasakan.
Didalam keheningan malam, kehaluan dan rintihan menjadi tak terkendali. Sehingga ayahku mengundang tabib untuk mengobati segala ketakutan yang ada dibalik dinding rumah kami. Aku rasa mereka berdua berdebat dengan suara yang menyala-nyala. Aku hanya termenung dengan semua kata-kata ambigu mereka.
“Mimpi buruk ini hanya bisa berhenti ketika seseorang yang memiliki mana didalam tubuhnya berada jauh dari istri anda, dia telah terpapar oleh radiasi mana buruk secara berkelangsungan…” Tabib itu mencoba menjelaskan permasalahan ini. “Apa maksud anda tabib?… Bukankah kamu datang untuk mengobati taruma istri saya?!..” “Salah satu keluarga anda memiliki sumber mana seperti penyihir lainnya, namun dia memiliki bakat yang belum diketahui. Saya takut hal itu akan memperburuk keadaan…” “Katakan pada intinya saja!!…” Aku hampir terkejut dengan hentakan suara yang dikeluarkan oleh ayahku. “Anak anda adalah seorang cytomencer…” Sekarang ini sebutan itu masih menjadi pertanyaan didalam pikiranku. “Memangnya kenapa dengan hal itu?!…” Raut muka dengan ekspresi terkejut nampak terlintas di muka ayah. “Aku hanya takut jika dia tidak mampu mengendalikan kekuatannya, hal itu akan berdampak buruk bukan hanya kepada istrimu, tapi juga orag terdekatnya…”
“Kenapa kamu mengatakan hal sekejam ini tabib…” Kesedihan mulai menguasai hati ayahku. Sekarang dia terduduk lemas dalam bangku tua di ruang tamu. “Aku minta maaf… Namun dua hal yang bisa dilakukan agar bisa memperbaiki keadaan ini…” “Jelaskan kepadaku…” “Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan menjauhkan dirinya dari kalian-” “Apa kau tidak memiliki hati?!…” “Aku hanya ingin menjelaskan, jika kalian bisa memberikan ruang terpisah dengan anak kalian mungkin hal itu akan mengurangi sumber negatif untuk sementara…” “…” “Hal kedua yang bisa kita lakukan adalah dengan mengirimnya belajar di akademi sekolah archain, mungkin inilah pilihan terbaik saat ini…” “Kenapa hal ini terjadi denganku…”
Keheningan melanda suasana sore itu. Kesadaranku mulai goyah. Aku berlari menuju kamarku. Disana aku melihat ibu yang mulai sering sakit-sakitan. Didalam raut mukanya yang tertidur itu terdapat segenggam harapan dan juga hukuman. Hkuman karena telah menjaga diriku, padahal dia menegtahui resiko yang akan terjadi. Aku terus bersedih didalam dekapan tanganku sendiri. Aku hanya berharap bahwa semua hal ini akan berakhir dengan baik.
Ketika malam mulai mendatangi langit-langit senja, ayah datang menghampiriku. Dengan nada yang berat dan sedih, dia mengatakan sebuah permohonan kepadaku. Mungkin hal itu adalah hal terbaik untuk membuat ibu menjadi lebih baik.
“Nak… Ayah berharap bisa menjagamu dan juga ibu. Namun sekarang ayahmu masih menjadi penghambat dan belum mampu menjaga kalian. Bolehkah aku meminta sesuatu darimu?” “Apa yang bisa aku berikan Ayah?…” “Maukah kamu tinggal di ruang bawah untuk sementara waktu?… Untuk menjaga ibumu agar lebih baik?…” Sepertinya kesedihan mulai terukir diwajah ayahku. Tetesan air mata mulai mengalir tak terbendung kedalam jari jemarinya. “Baik ayah… jika itu bisa membuat ibu menjadi lebih baik…” “Terimakasih nak…” Dalam sekejap ayah langsung memeluk diriku. “Ayah berjanji, jika ibumu sudah sehat, kita akan bermain bersama di taman bunga yang indah…”
Pelukan itu sepertinya adalah pertanda kepeduliannya. Namun hal itu adalah pemicu dari beberapa kejadian yang akan menimpa diriku. Berada di ruang bawah tidaklah menyenangkan seperti ketika memiliki ruang kamar sendiri. Hal itu nampak jelas dengan berbagai hal yang membuat tempat itu tampak kurang nyaman, meskipun sudah dihiasi dengan berbagai peralatan. Malam-malam sudah berlalu begitu cepat hingga aku sendiri melupakan setiap hari yang berlalu.
Diatas sebuah kasur dangan penerangan seadanya, aku hanya berharap bahwa ini bukanlah sebuah hukuman yang aku dapatkan karena terlalu menyayangi mereka. Serpihan kenangan mulai muncul dengan membawa luapan emosi. Ayah selalu mengantarkan makanan melalui seruas pintu di depan meja kecil hingga membawakanku berbagai macam pakaian, namun aku tak pernah mendengar kabar tentang ibu. Penantian ini terasa begitu lama dan penuh dengan hrapan tentang hari dimana ibu akan menjadi lebih baik tak kujung tiba.
Cerpen Karangan: Imam Nurhaqi Blog: tykini.blogspot.com/2021/07/lithina-unborn-edited1.html Cerita untuk seri jangka panjang… semoga terhibur…kalau kalian mempunyai ide, boleh diskusi bareng dengan saya di dicord discord.gg/PpNDVgTkPQ
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com