Tiba di ruang BK. “Ibu?” Bukan. Ibu yang kusebut bukan Ibu Siti, tapi ibuku. Entah apa yang beliau lakukan di sini. Ibu hanya menoleh lalu tersenyum tipis.
“Jill, ibumu datang minta izin supaya kamu bisa pulang lebih awal. Kamu boleh pulang sekarang.” jelas Bu Siti. “Oh, baik Bu.” Kenapa Ibu memintaku pulang lebih awal? Berlari kecil ke kelas mengambil tas, lalu kembali menyusul Ibu yang sudah berdiri di depan gerbang sekolah.
“Ada apa, Bu? Apa ada sesuatu yang terjadi?” “Paman Sed, Jill. Pamanmu meninggal dunia tadi pagi.” Aku tak bisa berkata-kata. Ternyata paman Sed mengidap penyakit mematikan setahun terakhir. Aku memang tak begitu dekat dengan Paman Sed. Dia jarang mengunjungi aku dan Ibu. Tapi terlepas dari itu semua, beliau tetaplah bagian keluarga kami.
Ibu dan aku segera naik angkot yang melintas. Mengambil tempat duduk paling pojok dekat jendela. Sepanjang perjalanan aku hanya diam, pikiranku kosong.
15 menit sampai di pertigaan kecil, kamu turun dari angkot. Lanjut berjalan kaki melewati jalan kecil yang kanan kirinya hanya dikelilingi persawahan sepanjang 150 meter. Diujung sana terlihat beberapa rumah. Di sanalah lingkungan tempat tinggalku.
Kami mulai berjalan kaki. Ibu satu langkah di depanku. Kakiku merasakan sesuatu yang aneh. “Eh?”
Langkahku terhenti. Kakiku menekan aspal yang kuinjak. Lunak! Bagaimana bisa aspal ini lunak? Sedetik kemudian aku seperti terjatuh. Seperti terjun bebas dari ketinggian. Aspal ini menelanku! Sekelilingku gelap. Aku sempat berteriak dan sempat pula mendengar ibuku yang kebingungan mencariku.
3 detik, kakiku mendarat di atas lantai ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Apa yang terjadi? Ini di mana?
Ruangan ini aneh. Seperti ruangan-ruangan istana di film-film yang sering kulihat di TV. Tapi di sini tidak ada apa-apa. Hanya satu pasang meja dan kursi. Lalu pintu besar yang menutup sempurna dengan ukiran-ukiran yang tak kumengerti bentuknya.
Tanpa pikir panjang aku segera menuju pintu. Mungkin ada orang yang bisa menjelaskan semua ini. Langkahku terhenti. Pintu itu terbuka lebih dulu. Dan di luar dugaanku..
“Hai, Nak. Selamat datang di Istana Venecia.” Lihatlah. Di depanku, berdiri, eh, bukan. Melayang. Perempuan paruh baya dengan mahkotanya. Tak hanya itu. Di belakangnya melangkah sekitar 20 ‘kurcaci’ atau entahlah. Tinggi mereka tak sampai 1 meter. Tubuh-tubuh pendek itu memenuhi ruangan.
“Istana apa?” persis diujung pertanyaan bodohku itu, perempuan itu mengangkat tangannya dan seperti melemparkan sesuatu. Semburat merah mengarah kepadaku dengan cepat. Tangan dan kakiku sempurna dililit tali merah menyala.
“Hei, bukankah kau tadi menyambutku? Aku bahkan tersesat di sini. Kenapa malah diikat?” apa yang mereka lakukan padaku? “Bawa dia.” perintah perempuan itu.
2 kurcaci terbang ke arahku. Mereka mencengkram lengan kanan dan kiriku lalu membawaku meninggalkan ruangan. Aku benar-benar bingung. Mereka siapa? Apa mau mereka? Tanganku sejak tadi berusaha melepaskan tali ini, tapi sia-sia. Tali ini kuat sekali. Sempurna melilit tangan dan kakiku.
“Hei, kawan. Maukah kau membantuku? Lepaskan tali ini. Nanti akan kuberikan kau susu peninggi badan atau uang atau apalah terserah. Bagaimana?” bujukku pada 2 ‘kurcaci’ ini. Tak ada tanggapan. Sama sekali. Oke, aku benar-benar cemas kali ini.
Sejak keluar dari ruangan tadi, yang kulihat hanya lorong-lorong dengan lukisan-lukisan. Juga meja kecil dengan vas, guci, dan benda-benda asing lainnya.
Rombongan ini berbelok ke kiri. Keluar dari lorong-lorong remang. Sisi kiri jalan terlihat sejauh mata memandang. Tanah lepas dengan rerumputan hijau. Danau kecil dan beberapa hewan berkerumun. Seperti surga kecil yang damai. Ini benar-benar negeri dongeng. Tidak salah lagi. Bagaimana mungkin ada tempat seperti ini di bumi? Bahkan aku tak tau ini di bumi atau tidak.
Kami tiba di ruangan selanjutnya. Pintu besar itu terbuka. Memperlihatkan ruangan yang lebih besar dari ruangan sebelumnya. Dengan jendela-jendela besar di kanan kiri. Di depan sana terlihat kursi besar yang tampak bercahaya tipis. Kursi itu bersinar lembut ketika perempuan yang sepertinya ‘ratu’ itu mendudukinya. Aku terkesiap.
Langkah para ‘kurcaci’ ini berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. “Nah, Nak. Akanku jelaskan dengan singkat. Aku adalah Ratu Venecia. Pemilik istana ini. Penyihir level 1. Dan untuk mencapai level ke 2 kekuatan sihirku, aku harus mengirimmu ke dalam Sumur Bikh. Jadi kesimpulannya, aku akan menjadikanmu tumbal. Ah, aku tidak suka dengan sebutan itu. Membuatku terdengar begitu jahat.”
Oh semesta, apa lagi ini? Baru beberapa menit tadi aku merasakan hiruk pikuk kelas, menatap jalanan yang lengang. Dan sekarang? Aku akan dijadikan tumbal?
“Hei, ayolah.. jangan bercanda di saat-saat seperti ini.” aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar. “Apa perkataanku terdengar seperti candaan?” tanyanya serius. Mataku sempurna membulat. Sulit sekali mencerna semua ini. “Tenang saja, Nak. Kau tidak akan sendiri. Karna aku membutuhkan 2 remaja laki-laki. Bawa yang satunya kesini!” perintahnya kepada salah satu ‘kurcaci’.
Ternyata di pojok ruangan ini ada sebuah kotak cukup besar yang ditutupi kain hitam, luput dari pandanganku. Kurcaci itu mendorong benda kotak itu. Tepat di depanku kotak itu berhenti, lalu dibukalah kain hitam yang menutupi kotak.
Astaga! Aku hampir terjatuh demi melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah kerangkeng besi yang diselimuti kabut tipis, sepertinya sihir. Dan di dalamnya, terduduk remaja laki-laki yang mungkin berusia sama denganku, 17 tahun. Tapi dengan badan yang lebih kecil dariku, terlihat sedikit berantakan.
Ratu Venecia beranjak dari tempat duduknya. Sampai di depanku, mencengkram daguku. “Kau cukup tampan, anak muda. Membuat perasaanku membaik hari ini.” katanya sambil tersenyum. Matanya mengilat. Semburat cahaya terlihat dari matanya. Sedetik kemudian wajahnya berubah. Hitam legam mengerikan. Keriput sana sini juga bola matanya yang hanya berwarna putih. “AHAHAHAHAH.” tawanya menggelegar. 5 detik kemudian wajahnya kembali seperti semula. Aku tak tau mana wajah asli orang ini.
—
“Aduh..” “Maaf.” saat dilempar ke dalam kerangkeng besi, tubuhku menabrak anak lain yang juga akan menjadi tumbal nanti.
Aku memperbaiki posisi dudukku. Sebelumnya mulut anak ini ditutup oleh kabut putih. Semacam isolasi yang mengandung sihir. Ratu tadi bilang kalau anak ini banyak bicara, berontak. Ia baru melepaskannya saat aku dimasukkan ke kerangkeng.
“Siapa namamu, kawan?” ucapku canggung memulai percakapan. Terlepas dari kenyataan bahwa mungkin hari ini adalah hari terakhirku, kurasa berbincang-bincang sebentar bisa sedikit mengusir rasa cemas. “Bahkan di detik-detik terakhir hidupku, aku bukan dan tak akan menjadi kawanmu.” “Eh?” pertanyaan tadi memang terdengar sok akrab tapi bisakah dia menjawab lebih serius saat situasi seperti ini?
“Namaku Vey.” “Vey?” nama yang aneh untuk anak laki-laki. Dia mengangguk sekilas. “Namaku Jill. Sebenarnya apa yang membuat kita kesini? Maksudku apa ada sesuatu yang spesial dari kita atau hal lain?” “Kebencian.” jawabnya. “Ratu itu mengincar anak laki-laki seusia kita yang memiliki kebencian. Benci kepada orang yang justru kita sayangi. Ia memata-matai kita, melihat kita yang sering bertengkar di rumah. Membuat kesimpulan bahwa kita begitu membenci seseorang. Itulah yang membuat kita ada di sini.” “Bagaimana kamu tau?” “Semalam saat aku sampai di sini, ratu itu memberitahuku.” Aku menghela nafas. Ini rumit sekali.
1 jam ke depan Vey menceritakan sedikit kehidupannya. Begitu pula aku. Lalu kami hanya diam menatap lantai ruangan yang lengang. Bergulat dengan pikiran masing-masing.
Pintu ruangan dibuka. Muncul beberapa ‘kurcaci’. Kali ini mereka membawa terbang kerangkeng tempat kami dikurung ini. Terus keluar sampai kami berhenti di sebuah lapangan luas. Di sisi kiri lapangan itu terlihat sumur tua yang dikerumuni si ratu dan pasukannya. Pintu kerangkeng dibuka, kami dikeluarkan dari kerangkeng. Tapi itu bukan kabar bagus. Setelahnya kami dipaksa duduk di atas papan kayu dan masih dalam keadaan terikat tangan dan kaki.
Mataku menatap sinis Si Ratu Venecia. Vey juga demikian.
“Wahh.. aku suka tatapan kalian. Sorot mata kebencian.” senyum licik itu sangat menjijikkan. “Tapi maaf, Nak. Aku tak bisa berlama-lama menikmati tatapan mata kalian. Kita segerakan saja semua ini.” Tangannya mengacung ke arah kami. Perlahan papan kayu yang kami duduki terbang mengarah ke dalam Sumur Bikh. Astaga! Aku tidak ada ide sama sekali dengan isi sumur ini. Api! Sumur ini sangat dalam, tapi tetap saja api itu bisa terlihat bahkan dari bibir sumur.
“Kalian ada kata-kata terakhir?” tak ada tanggapan dari kami. Aku cemas. Vey juga sama cemasnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
“Oke baiklah.” Ratu Venecia segera memulai ritual ini. Mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu sedangkan tangannya terus teracung ke depan, berkonsentrasi. “Selamat tinggal dan terima kasih anak-anak.” Ia menghentakkan tangannya yang teracung.
Aku dan Vey berteriak kencang. Papan yang kami duduki terhempas ke bawah. Terus meluncur deras. Menuju dasar sumur dengan api menggeliat-geliat. Selesai sudah.
“Hahahah.. ahahahah..” Itu bukan suara tawa si ratu. “VEY!” kami akan segera mati tapi dia masih bisa tertawa? “HAHAHAHA!” dia gila. Aku yakin.
Papan ini berhenti meluncur. Apa sudah sampai dasarnya? Tapi kenapa tidak panas sama sekali? Atau papan ini macet? Aku tak berani melihat ke bawah.
Eh, sebentar. Papan ini. Papan ini kembali terbang ke atas! Astaga! Apa yang terjadi? Aku yakin semesta yang menyelamatkanku. Semesta masih menyayangiku. Terima kasih semestaaa
“Aku yang menyelamatkanmu, bodoh.” “Apa yang kau katakan Vey?” kata-katanya membuat rasa senangku tersumpal. Bukannya menjawab, ia malah kembali tertawa seperti orang gila. Tawanya semakin lebar saat kami sampai di bibir sumur.
“APA? APA YANG TERJADI?” Ratu Venecia menggeram marah. “Dasar ratu bodoh!” teriak Vey masih dengan sisa tawanya. “Vey?” tanyaku juga tak mengerti. “Mau tau rahasia kecil, ratu?” yang ditanyai semakin menggeram. Wajahnya penuh amarah. “Oke-oke baiklah. Akan kuberi tau.” Vey memperbaiki posisi duduknya.
“Aku seorang perempuan, ratu. Bukan laki-laki.” “Hah?” Aku lebih dulu terkejut. Bagaimana bisa dia perempuan? Bahkan suaranya berat seperti laki-laki. Bagaimana bisa dia bukan laki-laki? Bahkan aku mengompol saat kami terjun ke dasar sumur tadi. Ohh aku benar-benar malu sekarang. “Bagaimana mungkin seorang ratu tidak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan, ha?” Vey tersenyum penuh kemenangan.
“OMONG KOSONG! KALIAN AKAN TETAP MATI DI TANGANKU!” tangannya teracung. Melempar semburat cahaya yang mengarah ke kami. Heg! Semburat cahaya itu berubah menjadi tali yang mencekik leherku dan Vey. Wajah ratu Venecia berubah hitam mengerikan. Berteriak kencang membuat cekikan tali ini juga semakin erat. Aku kehabisan nafas. Aku tak tau bagaimana dengan Vey. Aku kehilangan kesadaran.
Mataku terbuka. Di mana aku? Ini di kamar. Kamar di rumahku. Aku mencoba mencubit tanganku. Terasa sakit. Celanaku tidak basah oleh ompol sialan itu. Kasurku kering. Cuma mimpi. Tadi hanya mimpi burukku. Ahh lega rasanyaa
Masih dengan perasaan senang tiada tara, pintu rumahku digedor dengan kasar. Ini masih pagi, biasanya jam segini ibu masih di pasar jualan ikan.
Melangkah cepat menuju pintu. Dan.. “Vey?” “Cepat ikut aku atau kamu akan tamat!” “Sebentar, bagaimana kau tau di mana rumahku? Lalu, tamat? Tamat apanya?” ini hanya mimpiku kan? “Ratu gila itu mengikuti kita. Dia masih dendam dengan kita. Tak bisa menjadikan tumbal, maka dia akan menjadikan kita ‘kurcaci’nya!” “Hah?”
“Hai, Nak.” Sial. Ratu Venecia telah menemukan kami. Ini bukan mimpi.
Cerpen Karangan: Azza Nandini Aulia Blog / Facebook: Andini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com