Sambil merapikan rambutnya, memandangi wajahnya di cermin, Nana termenung juga berpikir, umurnya sudah tidak lagi muda. Orangtua dan keluarga seringkali memintanya membawa pasangan ke Kampung. Nana juga tahu, ia tidak bisa selamanya berkarir sendirian, tanpa orang suportif di sampingnya.
Nana seorang gadis dewasa, terpisah dari keluarganya di Kampung, merantau ke kota besar nan maju Jakarta untuk menggapai cita dan cinta. Ia bermimpi menjadi orang sukses. Dengan status sosial mapan di masyarakat. Ia seorang ambisius, yang tidak hanya karir dan uang di otaknya, tapi juga kebahagiaan hati dan mentalnya. Ia ingin cinta.
Banyak orang bilang, ia terlalu memilih. Atau laki-laki hanya tidak berani kepadanya. Nana juga gadis sangar. Latar belakang pekerjaannya yang membuat ia semakin sangar. Nana seorang pengacara. Kalau mereka di luar profesinya memandang ia sangar, lalu ada apa dengan laki-laki yang satu profesi dengannya. Apa Nana hanya kurang beruntung. Menjadi gadis cantik mandiri, tetapi kurang laku. Ah kapan ia menemukan dia si tambatan hati?
Pernah ia jatuh dan menjalin cinta sekali. Kemudian ia kapok. Karena rasanya sakit ketika si mantan yang ia panggil bangs*t itu mengkhianatinya. Ia tidak akan pernah mau menjalin cinta lagi. Cukup. Biar orangtuanya saja yang menjodohkan, Nana memohon.
Ponsel Nana bergetar. Pesan masuknya ke whatsappnya, isinya… “Na… kapan lu kemari?” Nana memutar bola matanya. Itu dari si turunan Jepang, namanya Arta, seorang pengacara junior, rekan Nana. Anak itu meminta Nana memenuhi janji meetingnya. “Iya.. Gue sebentar lagi berangkat,” balas Nana. “Mau gue jemput gak?” Tanya Arta. Sering Arta bersikap demikian. Menjadi sangat perhatian, kemudian tiba-tiba dingin kepada Nana. Sering pula Nana memikirkan sikap Arta itu, kenapa? Ada apa? Tetapi hal yang pasti Nana tahu, setelah lebih dari lima tahun berteman dengan Arta, Arta adalah orang yang kering akan rasa empati dan ia memilih karir dahulu sebelum menjalin hubungan serius dengan seorang gadis. Nana hafal betul Arta. Anak yang sangat perhitungan dengan materi, ambisius pada karir, minim rasa empati dan tampan.
“Tempat biasa?” Tanya Nana. Meeting ke sekian kali yang terasa seperti kencan. “Ya,” jawab Arta. Di restoran cukup mewah. “Kujemput ya…” Arta memaksa. Nana mendengus. Ia jengkel dengan sikap Arta yang membuatnya bingung. “Baiklah,” Nana tidak bisa menolak. Dijemput Arta memang lebih baik dan nyaman. “Tunggu.” “Okey.”
Sekian menit berlalu. Suara klakson mobil Arta telah sampai di depan rumah yang disewa Nana. “Cepet juga lu,” sapa Nana. “Elah! Rumah lu kan emang deket dari rumah gue Na,” Arta gemas. Memang hanya sepuluh menit saja waktu yang dibutuhkan Arta untuk sampai ke rumah Nana. “Hehe iyaa…”
“Eh btw, abis meeting lu ada acara gak?” Tanya Arta. “Lah tumben lu nanya begitu, ada apa? Mau ngajak gue nge-date?” Nana heran. Bahasa tubuh Arta menunjukkan dirinya sedikit gugup, Nana mulai berpikir apa benar? Nana kemudian memilih menegur Arta, “Woy! Serius lu mau ngajak gue nge-date?” Arta mengusap kepala bagian belakang, ia betulan gugup, ia perlahan menjawab, “ya iya… lu mau gak?” Nana menahan tawanya. Tapi tak kuasa, ia buncah. Ia terbahak. “Imut banget sih lu! Ada angin dari mana lu! Tumben banget dah…” ia masih tidak habis pikir. Ada apa dengan anak ini, tiba-tiba? “Ya gue rasa, udah saatnya aja Na. Umur kita udah cukup. Karir juga. Gue juga udah kenal lu banget. Jadi…” Nana memotong omongan Arta. Ia belum siap mendengar lanjutannya. “Lu mau kita pa… pacaran gitu?” Ah jika betul demikian, Arta akan menjadi pacar kedua Nana. Sambil menyetir mobilnya, Arta kaku memandang ke depan, dan menjawab, “ya gitu… gue mau hubungan kita saling mengikat untuk ke jenjang serius.”
Jadi sebetulnya, Arta ingin apa? Nana masih bingung. “Lu suka gue?” Tanya Nana. “Iya!!!” Jawab Arta tegas. “Sejak kapan?” Arta menghentikan laju mobilnya. Ia kemudian menatap Nana sangat lekat. Ia menjawab, “sejak tahun lalu.” Tawa Nana lagi-lagi buncah, ia masih tidak menyangka. “Kenapa lu suka gue?” Arta tidak turut tertawa. Justru Arta diam serius sambil memandang wajah Nana. “Karena kita cocok Na. Karena gue udah nyaman banget sama Lu!” “Lu yakin?” Arta menghembuskan napas, ia mengangguk.
“Lu belum tahu gue Ta!” Kini Arta yang bingung. Ia kenal Nana sudah lama, pun mereka sering sekali bertemu. Waktu mereka bersama sudah lebih dari cukup untuk saling kenal. Bahkan mereka pernah bermalam bersama untuk banyak urusan, utamanya kerja. “Kenal lu kayak gimana lagi? Gue udah hafal lu orang kayak apa Na!” “Enggak! Belum,” Nana bersikeras menolak. Arta kecewa bukan main, tapi ia tidak ingin menyerah. Ia jatuh hati pada Nana, dan telah menahan perasaan itu selama lebih dari setahun.
“Gue suka lu juga Ta.” Wajah Arta berbinar mendengar itu. Matanya membelalak penuh sinar. Ia bahagia bukan main, dan rasanya ingin memeluk erat tubuh mungil gadis yang dicintainya itu. “Tapi lu harus tahu sisi kelam gue dulu.” “Kayak apa itu? Cerita aja!” Arta meminta. “Gue gak akan cerita ke elu. Tapi setelah meeting gue akan nunjukin ‘itu’ ke elu,” Nana menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya. Sementara Arta, ia santai. Ia siap saja. Lagi pula, Nana sudah menerima perasaannya, “tapi tunggu dulu…” ucap Arta ingin memastikan. “Lu terima gue kan?” Nana tersenyum, “ya gimana lagi, gue juga nyaman sama lu.” Arta membalas senyuman Nana, “thanks.” “Udah… sekarang jalan Ta! Kita udah mau telat.” “Hehe siap bu.”
Meeting telah usai. Kini hanya mereka berdua. Sebagaimana janji, mereka beranjak ke tempat yang lebih tenang dan sunyi. Arta sudah tidak sabar ingin segera tahu apa yang akan ditunjukkan oleh Nana.
“Ta… lu percaya mereka yang tak terlihat?” Nana membuka obrolan. Arta heran, tapi menampiknya, ia menjawab, “maksudmu hantu?” “Bukan cuma itu.” “Ya?” Arta semakin heran. “Apa ini ada hubungannya sama apa yang bakalan kamu tunjukin Na?” Nana mengangguk. “Gue masih bingung,” ucap Arta. “Ta… berhenti di sini.” Arta patuh. Ia menghentikan laju mobilnya, lalu menghadap Nana.
“Lu liat mata gue!” Arta memandangi dengan saksama mata Nana. Perlahan mata warna bola mata Nana berubah, Arta terperanjat, sangat terkejut. Ia seolah melompat mencari-cari jalan keluar. “Tunggu Ta! Jangan takut!” “Lu sebenarnya apa dan siapa? Kenapa warna mata lu berubah ungu?” “Gue Nana, yang beberapa jam lalu udah jadi pacar lu Ta!” “Iya gue tahu itu Na. Tapi maksud gue, Lu itu makhluk apa!? Kok gue bisa sampe gak tahu!” “Gue ini mitos. Gue makhluk yang gak pernah diketahui masyarakat, gak kasat mata, tapi gue ada.” “Iya apa Na!” Arta ingin menangis. Ia ingin Nana-nya kembali. “Gue mohon kasih tahu gue Na. Lu itu apa?” “Yang pasti, gue bukan manusia.” “Terus apa Na?” Arta merengek, sambil menahan takut.
“Lu takut ama gue?” Arta mengangguk perlahan. Nana terkekeh. Ia kemudian menunjukkan jemarinya yang perlahan memanjang, meruncing tajam. “Gue setan Ta. Gue vampir. Siluman. Psikopat. Atau apapun panggilan masyarakat buat gue. Gue bukan manusia. Gue bukan jenis lu. Ini sisi yang gue jaga dari lu, dari klien, dari…” Arta memotong, “ke… ke… keluarga lu?” “Kami semua sejenis. Lu pikir orangtua gue manusia. Ha! Tentu bukan Ta!”
“Kenapa lu berperilaku seperti manusia?” “Kami berburu manusia.” “Wtf Na!” Arta semakin takut. “Maksud lu… lu membunuh, terus makan daging manusia, dan minum darah kami?” Nana mengangguk. Tubuh Arta bergetar hebat. Gila! Ia tidak tahan. Ia ingin keluar dari mobil itu. Berlari manjauh menyelamatkan nyawanya dari setan perempuan di depannya. Bagaimana bisa ia mencintai gadis setan, vampir, gadis psikopat gila yang memangsa dan memakan manusia! “Kami butuh bertahan hidup. Kami predator di atas kalian,” Nana menatap dingin. Matanya masih berwarna ungu, dan kukunya tajam.
Nana meneruskan penjelasannya, “Tapi tenang Ta! Gue gak makan manusia baik kayak lu.” “Kenapa lu gak makan hewan aja sih.” “Karena hewan bukan makanan kami Ta! Kami hanya makan manusia. Kami bukan tidak mau makan hewan, hanya saja kami tidak bisa.” “Kenapa?” Arta masih ada nyali untuk semobil dengan setan yang ia cintai itu. “Ya kayak singa yang gak bisa makan tumbuhan aja sih, atau kayak kambing yang gak bisa makan daging.” Arta paham. “Jadi lu makan siapa?” “Mantan gue contohnya.” “Anj*r!!! G*la lu ya!” “Paling enggak, setahun gue harus dapat satu manusia bejat untuk bertahan hidup.” Arta menghembuskan napas. Ia pening. Kepalanya sakit. Mungkin efek karena ia terlalu takut untuk berada di samping Nana.
“Na! Kita pulang ya…!” Arta rasa sudah cukup. Rasanya perih di dada, ia memikirkan bagaimana masa depannya dengan Nana. Ia tidak mungkin menikahi makhluk ini.
Sepanjang jalan mereka hanya diam. Mematung dengan pikirannya masing-masing. Nana meneteskan air mata, “lu pikir gue mau jadi begini?” Arta menjawab, “lu gak coba makan daging binatang?” “Gue udah coba berkali-kali. Tapi memang gak bisa.” “Terus kenapa lu mau nikah sama manusia?” “Gue cuma mau gen setan gue ilang ke depannya.” “Lu benci diri lu sendiri Na?” Arta terus bertanya. “Gue gak tahu.” “Tapi lu bukan psikopat. Lu masih punya hati Na. Gue tahu elu!” Nana diam. Ia berharap kata Arta itu benar.
Cerpen Karangan: A Najwa Blog: tnjurnal.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 31 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com