Sore ini aku sedang berjalan melewati walk of fame, sembari menggenggam undangan peluncuran roket Amerika yang ingin menjelajah pluto. Lalu melihat Les Baxter menceritakan tentang Nelson Riddle selagi berdiri di atas namanya sendiri membuatnya terlihat canggung. Tentu saja ini khayalanku, perutku terasa begitu lapar jadi aku memutuskan untuk pergi ke Wendy’s. Lalu kembali berjalan melewati Phoenix, kemudian Tucson menuju Guatemala.
Sebelum sampai ke rumah aku berniat untuk memejamkan mata sementara di tepi jalan, tak sadar sampai-sampai seorang wanita menepuk punggungku. Perlahan kepalaku menoleh ke arahnya, lalu ia berbicara “Hei berhentilah berkhayal!”. Seruannya memunculkan beribu pertanyaan di dalam kepalaku “Siapa dia? Apa yang dia lakukan? Bagaimana dia bisa ada di sini? Bagaimana dia bisa berbicara kepadaku di imajinasiku sendiri? Sial, kurasa ia bisa membaca isi pikiranku” Lalu perlahan lipstick merah muda miliknya mendekati telingaku seraya mengeluarkan bisikan “Sekarang kepalamu, imajinasimu, begitupun dirimu bukan lagi milikmu sendiri. Berhentilah memikirkan tentang pluto, tempat itu semenakutkan cerita tentang azab kubur yang pernah kau baca waktu kecil. Mungkin lebih”
Adapun ia kembali ke posisi semula, berdiri dengan tegak. Seketika aku memperhatikan daster batik yang ia kenakan, mirip dengan yang ibuku sering pakai ketika malam tiba atau saat merumpi dengan tetangganya di warung sayur Ibu Jaenab.
Sebelum mataku mampu untuk menjelajah lebih jauh, ia kembali berbicara “Saat ini aku sedang memikirkan tentang mengelilingi bumi. Rasanya aku bisa terbang jauh, lebih jauh dari jangkauan burung elang yang bahkan tak berani untuk terbang di atas lautan. Bagaimana? Kau tertarik?” Aku merenung sebentar, memikirkan tentang tawaran yang sangat menarik darinya.
“Kau manis nona, tapi apa kau tau isu-isu perang dunia sedang ramai sekarang ini? Maaf aku memilih untuk tetap dengan khayalanku ini, yang aku takutkan adalah saat kita sedang terbang melewati Laut Merah lalu tanpa sadar kita bertabrakan dengan pesawat amat senyap. Itu menyedihkan, tenggelam di laut bukanlah hal yang menyenangkan, belum lagi itu Laut Merah. Lantas apa bedanya kita dengan si kafir Fir’aun yang tenggelam di sana?”
Seketika ia tersenyum, lalu hujan membasahi malam lalu turun ke jalan di kota San Luis Potosí sebelum akhirnya ia berbalik, melebarkan sayapnya lalu terbang perlahan. Sebelum terlalu jauh baginya, ia melihat kearahku sambil tersenyum dan perlahan hujan membubarkan diri. Begitupun dirinya yang kembali menjauh, berteriak dengan sangat percaya diri “To infinity… and beyond!”. “Ia terlalu banyak berkhayal” gumamku.
Cerpen Karangan: Dimas Hafidh Blog / Facebook: Dimas Hafidh Abstraksi tak pernah mengecewakan. Instagram: @dimashafidh
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 31 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com