Aku hanya berjalan-jalan di sekitar sini, bermaksud untuk mengakrabkan diri sebelum tinggal untuk beberapa waktu lamanya. Udara yang semakin menghangat padahal jam baru menunjukkan pukul 8 pagi, pantaslah ini kan musim panas. Kaki ini terus melangkah tanpa lelah, sesekali berhenti untuk menghirup udara pagi ini. Menenangkan. Aku suka tempat ini.
Aku berjalan ke sebuah bangku di sudut taman yang cukup sepi. Sepi namun menenangkan. Aku mengambil notes dan pena kecilku. Memulai menulis apa yang kurasakan saat ini. Aku memang terbiasa mencurahkan isi hatiku ke dalam notes yang selalu kubawa kemanapun itu.
“Boleh aku duduk di sini?” Tanya seseorang dari sebelah bangku yang kududuki. “Ya, tentu saja,” jawabku tanpa mengalihkan perhatianku pada apa yang kutulis. “Kau suka menulis diary?” Tanya seseorang di sebelahku. Aku menganggukkan kepalaku tanpa menoleh ke arahnya.
“Namaku Veto. Andalas Veto. Siapa namamu?” Ujarnya setelah hening beberapa waktu. “Canna,” jawabku masih tanpa menoleh ke arahnya. “Just Canna?” tanyanya lagi, semakin mendekatkan kepalanya ke arahku. “Apa aku harus menyebutkan nama lengkapku?” Tanyaku ketus. “Ah, tidak juga. Aku senang bisa berkenalan denganmu. Apa kau tinggal di sekitar sini?” Tanyanya lagi. “Iya” “Di daerah mana?” “Kenapa kau ingin tahu?” “Ya, mungkin aku bisa mampir. Dan kita bisa berteman,” katanya santai. “Permisi aku harus segera pergi. Selamat siang,” ujarku sambil bergegas pergi.
Aku meninggalkannya tanpa melihat wajahnya ataupun menunggu balasan atas ucapanku. Aku tak peduli jika aku meninggalkan kesan sombong di matanya. Aku hanya tak ingin berkenalan dengan orang asing.
Aku selalu bertemu dengan dirinya, entah di komplek rumahku atau di tempat kuliahku. Bagaimana aku bisa tahu jika aku diikuti olehnya padahal aku tidak tahu bagaimana rupanya? Gampang saja, karena dia dengan sangat cerewet berceloteh di setiap pertemuanku dengan dirinya, makanya aku tahu jika dialah orang yang sama.
“Kenapa kau tak pernah mau melihat lawan bicaramu, Canna?” Tanyanya suatu hari, setelah hanya desau angin yang menjawab semua perkataannya. “Bukan urusanmu!” “Apa aku membuatmu risih? Sehingga kau tidak mau melihatku.” “Sudahlah, sebaiknya kau pulang saja. Jangan mengikutiku terus!” “Berbaliklah, dan tatap aku. Dengan begitu aku tidak akan mengikutimu terus.” “In your dream!” Kataku setelah lelah mendengar semua ocehannya. “Kau sudah ada di setiap mimpiku kok, tenang saja,” ujarnya masih dengan ketenangannya. “Kau sosok yang sangat menyebalkan! Pergilah sebelum kau menyesal.” “Kenapa aku akan menyesal?”
Aku berlari meninggalkannya yang masih setia mengikutiku. Aku tak bisa seperti ini. Kupercepat langkahku, menuju danau yang biasa menjadi tempatku menenangkan diri.
Enam bulan terlewat dia masih setia mengikuti kemanapun aku pergi. Aku risih, namun aku juga nyaman berada di dekatnya. Seperti saat ini, kami menikmati keheningan danau. Duduk bersisian di atas batu tepi danau, memandang burung-burung bangau yang hinggap di sisi dangkal danau mencari ikan sebagai santap siangnya.
Aku takut saat dia telah mengetahui siapa aku. Namun, aku lebih takut untuk meninggalkannya. Takut melihat wajah kecewa dan terlukanya saat tahu siapa aku yang sebenarnya. Bolehkah aku meminta waktu lebih lama untuk terus bersamanya? Membuatnya bahagia saat bersamaku. Dan aku akan melupakan siapa aku sebenarnya.
“Apa kau sakit? Wajahmu terlihat pucat. Ayo, aku antar pulang.” “Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Ini sudah baiasa bagiku,” ‘Karena waktuku sudah dekat.’ Lanjutku dalam hati. “Sungguh? Kau terlihat tidak baik-baik saja sekarang. Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu,” “Sungguh aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku.” “Baiklah.”
‘Kau tahu, mungkin setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku telah melanggar janjiku sendiri, agar dapat hidup selamanya. Berjanjilah kau tak akan marah saat kau mengetahui semuanya nanti,’ ucapku dalam hati saat menyandarkan kepalaku ke bahu kokohnya. Menikmati embusan angin serta usapan tangannya di rambutku.
“Ve, bisakah kau mengabulkan satu permintaanku?” tanyaku saat aku merasakan waktuku tidak lama lagi. “Kau ingin apa, Na? Aku akan mengabulkan apa yang kau mau. Apapun itu,” ujarnya sungguh-sungguh. “Aku ingin kau menyimpan notes yang selalu kubawa ini. Kau boleh membacanya, namun tolong jangan marah saat kau sudah tahu siapa aku yang sebenarnya lewat notes itu. Maaf, aku tidak bisa memberitahumu secara langsung. Aku hanya tidak ingin mencelakaimu, Veto. Maafkan aku, selamat tinggal,” ucapku sambil menatap matanya untuk yang terakhir kali. Kemudian aku berlari kencang menuju danau dan menembus kegelapan hutan di sebelah utara danau. Meninggalkan kenangan yang kami ciptakan bersama. Dan mungkin kenangan yang akan selalu kubawa untuk selamanya.
—
“Kau sudah melanggar perjanjian, Canna. Kau sudah tidak pantas untuk berada di sini. Kau harus pergi sekarang atau jika tidak, kau akan dihukum mati! Ah.. atau kau memilih pemuda itu yang akan kau korbankan sebagai ganti jiwamu?” “Tidak!! Kau tidak boleh menyentuhnya sedikitpun! Perjanjian itu hanya untukku bukan dirinya. Biarkan dia hidup. Dan aku yang akan pergi seperti kemauanmu.” “Baiklah, jika itu keputusanmu. Kau hanya punya waktu satu minggu untuk meninggalkan tempat ini. Jika tidak jangan salahkan aku jika pemuda itu yang akan menerima risikonya. Mengerti?!” “Ya, aku mengerti,” kataku liriih bersama rasa kalah yang kumiliki.
Ini salahku seharusnya aku tak menuruti keinginannya untuk menatap mata lawan bicara. Jika aku bisa mencegahnya, mungkin aku tidak akan pergi meninggalkan tempat yang nyaman ini. Dan juga aku tidak akan kehilangan dirinya. Andai saja… Namun, aku tak pernah menyesal, karena dengan melihat matamu aku merasakan kedamaian dunia itu ada. Aku menyayangimu, Andalas Veto. Tolong jangan pernah membenciku.
—
“Aku sekarang tahu kenapa kau tak pernah menatap mata lawan bicaramu saat kau berbicara. Aku akhirnya tahu alasan itu. Namun, aku terlambat mengetahuinya, Canna. Maafkan aku telah memaksamu. Aku menyesal, karena aku, kau harus menanggung konsekuensinya. Tapi Canna, aku tidak menyesal pernah bertemu denganmu, aku mencintaimu. Maafkan aku. Semoga kau bahagia dimanapun kau berada.”
Seorang lelaki meninggalkan danau setelah meletakkan mawar putih di atas batu di tepi danau. Tempat lelaki itu biasa menghabiskan waktu bersamanya.
Di tengah danau itu air beriak seakan-akan ada yang berenang menuju ke tepian. Tak lama air tenang kembali, namun di tepian danau itu -tepatnya di samping batu tempat lelaki tadi meletakkan bunga, berdiri seorang gadis cantik memakai gaun putih yang sangat indah, matanya menatap bunga itu, dia berjongkok menyentuhkan tangannya ke mawar putih itu. Dia mengambilnya.
“Semoga kau bahagia, Veto. Aku akan selalu menjaga cintaku untukmu meskipun kau nantinya menemukan penggantiku. Maaf aku tak pernah berusaha jujur kepadamu, dan membuatmu seperti ini. Maafkan aku. Berbahagialah.”
Dia menghilang. Bersama bunga mawar putih. Dan keheningan danau yang menenangkan.
The End
Nb: pernah dan masih publish di wattpad, sudah melewati swa-sunting.
Cerpen Karangan: CintaDSinta Blog: wattpad.com/user/cintadsinta Seseorang yang masih mencari jatidiri dan tempat dalam dunia penulisan yang luas ini.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com