Roan mengeluarkan keringat dingin, ia tidak tahu bagaimana caranya menutupi halaman buku yang bersinar itu. Ia berpura-pura berjalan santai mengitari rak-rak buku di sampingnya. Orang-orang melihat dirinya seperti seorang yang ingin mencuri buku.
Di setiap langkahnya, ia berpikir, memutar otaknya demi mencari sebuah cara untuk mengembalikan buku itu seperti semula, tertutup rapat dan tersimpan rapi di antara buku-buku berdebu lainnya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia ke sana kemari dan tak kunjung menemukan jawaban. Ia sudah mencoba untuk menutup buku itu berkali-kali, tapi buku itu selalu terbuka kembali, di halaman yang sama dengan kilauan cahaya yang sama. Lama-kelamaan ia merasa takut jika terjadi sesuatu hanya karena rasa ingin tahunya.
Matanya melirik ke sudut rak yang tidak terdapat seorang pun di sana. Punggungnya menghadap ke luar agar orang-orang yang lewat hanya menganggap ia sibuk membaca. Namun, ia sama sekali tidak ingin membaca buku itu lagi. Tangannya menekan dengan kuat menutup halaman itu. Cahaya tetap keluar dari pinggiran bukunya. Di sudut di mana ia berdiri terasa gerah. Kecemasannya tidak terlepas dari buku itu, ia tidak ingin seseorang tahu tentang hal ini, hingga ia tidak sadar sebuah tangan berada di belakang bahunya.
Kemunculannya yang tiba-tiba itu mengejutkan Roan dan membuat jantungnya berdetak kencang. Spontan ia berbalik dan menghadap seorang wanita berkacamata yang menatapnya dengan serius. Roan menelan ludah, tangan kanannya bergetar, membuat halaman buku itu sedikit terbuka dan memancarkan lebih banyak cahaya. Melihat kilauan cahaya itu, Roan segera menahan buku tersebut sebelum seseorang–terutama temannya itu–melihat cahaya itu.
“Hei, kau sedang apa dari tadi di sini?” tanya wanita itu. Roan terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa. Mengarang sebuah alasan dan cerita tidak semudah membalikkan telapak tangan baginya.
Ia bisa menutupi buku itu darinya, tapi cahaya bukunya tetap terlihat walau sudah terbungkus baju sweaternya yang sudah menyimpan keringatnya. Wanita itu memicingkan matanya, ia tahu sesuatu sedang disembunyikan oleh Roan. “Kau mencuri buku lagi?” tanya temannya. “Apa?! Tentu saja tidak. Aku bahkan tidak pernah melakukannya.” “Lalu, apa yang ada di belakangmu itu?” Roan menelan ludahnya sendiri, keringat dinginnya mulai membasahi lehernya.
“Hah, baiklah, tunggu di sini ya. Akan kulaporkan ke petugas,” ucapnya sambil memutar badan. “N-Novia jangan!!” Roan memutar badan Novia dan langsung menunjukkan bukunya. “Dengar…,” ucap Roan yang sudah pasti didengar olehnya karena nafasnya yang besar. “Aku tahu ini pasti kedengaran gila, tapi… aku melihat api…, keluar dari buku ini!!” “Sepertinya otakmu itu sedang bermasalah.” “Percayalah! Kalau tidak kenapa aku berdiri di sini sedari tadi?” “Ya… sepertinya sulit dipercaya, selain itu alasanmu terdengar seperti karangan. Apa jangan-jangan kau tidak sengaja merusak buku itu?” “Mana mungkin! memangnya aku pernah melakukannya?” “Yaa… siapa tahu ‘kan?” “Hah,” Roan menghela nafasnya, “Lihat saja sendiri!” ucap Roan sambil menyerahkan bukunya.
Novia membuka buku tersebut, lalu kilauan cahaya terang seketika muncul dan membutakan matanya. Refleks, ia langsung menutup buku itu rapat-rapat hingga tak sedikit pun cahaya yang keluar. “Apa yang kau lihat?” tanya Roan dengan wajah datar. Novia yang matanya masih terbutakan oleh ledakan cahaya terang itu masih berusaha mengondisikan penglihatannya dan masih memproses hal tidak masuk akal yang baru saja ia lihat.
“Hei! kau baik-baik sa-” “Dimana kau temukan buku ini!?” “Di rak ketiga,” jawabnya. Novia membenarkan posisi kacamatanya, “beruntung sekali.” “Beruntung katamu?!” Namun, Roan sadar buku itu tidak mengeluarkan cahaya lagi seperti tadi. Ia memandangi buku di tangan Novia itu dengan heran. Cahaya itu seakan jinak di tangan Novia.
“Sebaiknya kita laporkan saja ke petugas,” ucap Novia membawa buku itu di pinggangnya. “A-apa itu pilihan yang terbaik?” “‘ntah, mungkin saja.”
Mereka berdua berjalan keluar dari sudut ruangan itu dan pergi melewati rak-rak tinggi penuh buku di samping mereka. Roan terhenti, ia tidak sengaja melirik buku yang terjatuh dari raknya, seorang di samping buku itu terlihat tergesa-gesa mencari sesuatu di antara rak-rak tersebut. Roan pun menyenggol tangan Novia dan menunjukkan apa yang ia lihat. Mereka pun mendekati orang itu.
“Permisi, ada yang bisa kami bantu?” tanya Novia. “Ah tidak, aku hanya sedang mencari sebuah buku,” jawab orang itu. “Maaf, anda terlihat tergesa-gesa, apa anda yakin tidak ada masalah?” “Sebenarnya, ada yang bilang, buku itu berada di rak ini.” “Buku seperti apa yang anda cari?” tanya Novia sambil merangkul buku yang ia pegang. “Sebuah buku tua, ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup tebal.” “Sebuah buku tua ya…” “Kalau boleh tahu, apa anda mengerti siapa penulisnya?” tanya Roan. “Seingatku… tidak ada, lagi pula isinya hanya tulisan-tulisan tidak jelas.”
Roan melirik buku di tangan Novia dan menyadari jika orang itu sedang mencari buku tersebut. Namun, di saat yang sama Roan menjadi bingung, jika isinya hanyalah tulisan-tulisan tidak jelas, kenapa orang itu terlihat seperti sangat membutuhkannya.
“Maaf, jika buku yang anda cari berisikan tulisan yang tidak jelas, mengapa anda ingin membacanya?” “A-… itu… b-buku itu tulisan tangan, jadi tulisannya sedikit sulit untuk dibaca.” Orang itu kembali mencari buku tersebut seperti dikejar oleh waktu.
Roan menarik tangan Novia, membawanya menjauh dari orang itu. “Hei, menurutmu apakah buku yang dia cari adalah buku yang kau pegang saat ini?” bisik Roan. “Entahlah, mungkin iya.” Novia kemudian membuka buku tersebut perlahan, berhati-hati agar cahaya tersebut tidak muncul kembali. Sayangnya, baru sekian milimeter buku itu dibuka, sebuah asap berwarna biru tiba-tiba menghembus wajahnya, BUOFF. Novia langsung menutupnya.
Orang itu mendengar suara hembusan buku yang dibuka Novia. Ia langsung menghampiri mereka dan melihat buku yang mereka bawa, itu buku yang ia cari. “Oh, kalian menemukannya!” “Iya, paman,” ucap Roan dengan senyuman yang kurang yakin. Novia memandangi matanya seakan mengatakan kalau seharusnya mereka langsung melaporkannya ke petugas.
“Paman, apa aku boleh tanya padamu?” Novia menanyakan kepada orang itu mengapa ia mencari buku yang berpotensi membahayakan ini. Roan mengangguk-angguk apa yang ditanyakan Novia. “Itu pertanyaan yang bagus, anak muda. Tapi bisa kau perlihatkan buku itu padaku sebentar?” Novia dan Roan saling memandang satu sama lain. “Tenang saja, aku tidak akan kabur membawa buku itu. Toh, aku perlu meminjamnya ‘kan?” Novia melepaskan rangkulannya ke buku itu, ia akhirnya memberikan bukunya kepada orang yang tak dikenalnya.
“Ngomong-ngomong, namaku Joadian. Aku datang ke kota ini hanya untuk buku ini,” ucapnya sambil berjalan dengan tenang bersama Roan dan Novia di belakangnya. Mereka berjalan tanpa kegelisahan, tapi Roan jadi cemas bila sesuatu akan terjadi lagi bila buku itu terbuka. “Jadi, paman Joa… buku apa itu?” “Buku ini?” Joadian mengangkat buku itu. “Yaah…, sebenarnya aku juga tak tahu buku apa ini. Aku hanya seorang pesuruh istana.”
Novia menarik Roan ke belakang dan mengganti posisinya di samping Paman Joa. “Apa paman bilang istana?” “Ya, dan kecilkan suaramu,” jawabnya dengan suara pelan.
Roan menarik kembali Novia dari barisnya. Mereka berjalan dengan menyalip kaki satu sama lain. Badan mereka saling mendorong hingga kaki mereka menyandung sepatu Paman Joa yang hendak menyilahkan seorang pengunjung lewat, tapi justru tangannya secara spontan terkejut dan melepaskan genggamannya ke buku yang ia pegang. Buku itu membuka lembaran-lembaran yang belum pernah Roan buka. Buku itu terbaring dengan halaman yang terbuka, halaman itu memperlihatkan gambar yang mirip sebuah jam.
Fwuung, bahu Paman Joa membentur sisi rak buku yang terbuat dari kayu dengan keras. Ia membetulkan topi yang ia kenakan, lalu melihat ke kedua anak yang dengan cerobohnya menyandung kakinya. Namun, matanya beralih ke orang di belakang mereka berdua. “M-maafkan kami, paman!” ucap Roan dan Novia menunduk. “Biarkan kesalahan itu berlalu. Apa yang harus kita perbuat dengan kecelakaan ini?”
Roan bingung apa yang paman katakan. Ia mengikuti pandangan ke mana ia melihat. Seluruh perpustakaan berubah menjadi ruangan penuh patung kayu. Novia menutup mulutnya yang menganga sambil menatap ke tempat Paman Joa terjatuh. Sisi rak itu memunculkan sepercik api yang datang entah dari mana. Paman Joa langsung menghempaskan badannya ke meja baca di sampingnya. Namun, meja itu juga memunculkan api begitu saja. Mereka bertiga menjauhkan diri mereka dari api itu. Rak dan meja yang disentuh Paman itu seperti kertas yang terbakar, menghitam kemudian membuat api itu semakin tersebar.
Novia mundur beberapa langkah ke belakang paman, tangannya tidak sengaja ia menyenggol seseorang yang mematung. Ia terkesiap, ternyata tangannya sama halnya seperti Paman Joadian yang tiba-tiba membakar sesuatu. Roan memandangi buku yang tergeletak. “Paman, bukunya…” Paman Joa melihat gambar sebuah jam. Itu bukan gambar jam biasa, terdapat jarum yang berdetik seiringan dengan detak jantung mereka. “Jam perpustakaan ini berhenti bergerak. Gambar jarum jam di buku ini mulai berputar dan arahnya berlawanan.”
“Hitungan mundur?” ucap Roan dengan nada waspada. “Jangan menakutiku, Roan.” “Terdengar aneh, tapi itu mungkin saja,” balas Paman Joa. “Hah? Apa yang harus kita lakukan, paman??”
Paman Joadian tidak menjawabnya. Ia tidak ingin membuat situasi jadi tambah mengkhawatirkan kalau mereka dengar ia bilang tidak tahu. Ia memperhatikan lagi bekas rak yang terbakar api tadi, tidak terjadi apa-apa di matanya, tapi api itu terus merambat.
“Apa buku ini kita bakar saja?” Novia. “Kau bercanda. Aku tidak bisa kembali tanpa buku ini. Dunia ini juga terhenti karena buku ini. Tidak ada api di sini yang bisa membakar buku ini, apalagi api yang berasal dari sumbernya.”
Roan berusaha memahami perkataan Paman Joa. Ia menggapai buku yang tergeletak itu. “Roan!” Buku itu tidak terbakar. Mereka berdua terdecak kagum dan heran. Api yang tadi muncul kini semakin membesar dan hampir menyentuh mereka. Mereka pun membawa buku itu ke ruangan yang terbuka. Mereka tidak bisa menuju keluar perpustakaan itu dikarenakan pintu perpustakaan yang merupakan pintu dorong. Mereka terperangkap di dalam hitungan mundur.
Novia menghela nafas. Namun, detak jantungnya masih tetap kencang. Ia tidak bisa tenang di perangkap tanpa jalan keluar ini. Roan menyentuh bahu Novia dan mengatakan padanya kalau semuanya akan baik-baik saja. Roan juga mencoba untuk menenangkan pikirannya. Walaupun ia sudah mengatur nafas, pikirannya tetap kacau. Ia membayangkan mengapa buku itu berada di perpustakaan tempat tinggalnya. Buku itu seharusnya tidak ada di sini. Buku tua, ucap Roan dalam hati. Jika Paman Joadian datang kemari untuk membawa buku ini, ia tidak mungkin “meminjamnya” untuk sementara waktu. Dan juga buku itu paman bilang sudah usang nan tua.
Cerpen Karangan: Midnaya G Facebook: facebook.com/nychta.skia/ Hanya menikmati hobi saja.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com