Rasi bintang, sebuah tanda penghormatan dari para dewa. Di dunia ini, terdapat 12 rasi bintang dan dari 12 rasi bintang ini, muncullah artefak-artefak yang memiliki karakteristik dan kegunaannya tersendiri. Artefak-artefak ini dijaga oleh 12 orang pilihan yang disebut sebagai Astrologist. Setiap Astrologist diberkati dengan kekuatan yang berbeda tiap orangnya. Cerita-cerita ini merupakan sepotong cerita kehidupan para Astrologist.
Kemarin, jam 10 malam, kepolisian mendapatkan panggilan dari suatu tempat tak jauh dari situ, kira-kira 2 km dari luar kota. Aku dipanggil untuk pergi ke tempat tersebut. Aku langsung pergi bersama dengan rekanku, Pak Brutus.
Tempat yang dimaksud merupakan komplek kumuh yang kebanyakan rumahnya tidak layak ditinggali. Kami dapat melihat banyak polisi sudah sampai di tempat kejadian. Ada pula warga-warga yang penasaran berkumpul di depan garis polisi. Kami pun memarkirkan mobil dan berjalan melewati garis polisi. Di sana, kami disambut oleh satpam yang menjaga komplek tersebut.
“Selamat malam, Inspektur Linda. Perkenalkan, saya satpam di sini.” “Selamat malam. Perkenalkan, ini rekan saya Pak Brutus.”
Setelah perkenalan yang singkat, aku menyuruh satpam itu untuk membawa kami kepada sang korban. Sang korban adalah seorang pria, memakai kaus lusuh berwarna putih serta celana pendek berwarna coklat. Tubuh korban tergeletak di pinggir jalan dengan posisi telungkup. Tidak ada darah di sekitar korban, baik darah segar maupun darah kering.
Aku pun jongkok dan mulai memeriksa mayat itu. Seperti yang kuduga, tidak ada luka sama sekali pada tubuh korban. Rekanku menemukan dompet korban di saku belakang celananya. Orang ini bukan berasal dari komplek ini, menurutku orang ini sengaja dipancing ke sini untuk dibunuh di tempat ini.
Setelah memeriksa korban, aku memeriksa sekitarku. Mayat ini berada tepat di depan sebuah rumah. Rumah yang tidak terlalu besar dengan tembok terbuat dari kayu berwarna coklat terang dan sebuah atap yang terbuat dari genting. Aku sudah berada di depan pintu rumah tersebut. Aku pun mengetuk pintu. Ternyata, pintunya tidak dikunci. Aku langsung mengeluarkan pistolku dan masuk ke dalam. Rekanku sudah bersiaga di belakangku dengan pistol di tangannya. Setelah kami masuk, kami menutup kembali pintunya.
Rumah itu ternyata gelap gulita. Supaya tidak menarik perhatian, aku menyalakan senter yang ada di pistolku. Kami berpencar menyusuri setiap sisi ruangan itu. Ruang tamunya sudah berantakan. Lemari yang jatuh, posisi sofa dan kursi yang tak beraturan. Aku pun memeriksa dapur dan hasilnya sama seperti di ruang tamu, piring-piring yang pecah dan berserakan serta kursi-kursi yang tidak beraturan. Tiba-tiba, rekanku memanggilku dari kamar tidur rumah tersebut. Di dalam kamar itu, terdapat dua kasur dan satu lemari di sebelahnya yang menempel dinding dan di atas lantai terdapat banyak tetesan darah segar.
Aku langsung membuka lemari dan tidak menemukan apa-apa di situ, hanya terdapat baju-baju yang digantung di lemari itu. Setelah memeriksa lemari, kami mendengar ada suara orang yang melintas di depan kamar ini. Kami langsung keluar dari kamar itu dan melihat seseorang yang lari menuju pintu depan. Kami mengejar orang itu dan dengan mengarahkan pistol kami ke arahnya dan menyuruhnya untuk berhenti.
Tak disangka, orang itu berhenti di tempat dan menoleh kepadaku. Kami pun saling berhadapan. Baju dan celana panjang warna hitam, serasi dengan ruangannya, tapi aku bisa melihat dengan jelas muka orang tersebut. Orang Indonesia keturunan Jepang, umurnya kira-kira mendekati 20 tahun, dan yang paling unik darinya adalah dia memiliki sepasang mata yang berbeda warna, di sebelah kiri berwarna hitam dan di sebelah kanan berwarna biru laut.
Aku mengenalinya karena aku pernah melihatnya di daftar orang buron. Aku menanyakan apa yang dia lakukan di sini, dia hanya menjawab dengan acuh, “Tidak ada, aku hanya memeriksa keadaan mereka saja.” Aku bertanya kepadanya kenapa rumah ini berantakan dan terdapat darah di kamar itu, dia berkata bahwa temannya suka meninggalkan jejak.
Setelah ia berkata demikian, aku mendekati lelaki itu. Ketika aku mau menahan dia, aku mendengar suara pikirannya. Aku harus meledakkan bom asapnya sekarang. Sialan, aku kurang cepat sehingga gas air mata yang dia pegang meledak dan membutakan mataku. Saat mataku sudah bisa melihat dengan normal, aku sudah sendirian di rumah itu, sedangkan rekanku sedang mengejar lelaki tersebut. Kudengar pintu dibuka dan terlihat polisi-polisi yang datang untuk membantuku, beberapa dari mereka menanyakan kondisiku.
Beberapa saat kemudian, ketika aku sudah di luar rumah itu rekanku sudah datang hanya saja dia tidak dapat menangkap lelaki itu. Tak lama setelah itu, teleponku berdering. Aku mengangkat telepon itu dan terdengar suara komandan kepolisian yang putus-putus. Perasaanku mulai tak enak sehingga aku langsung menaiki mobil sementara rekanku tinggal di lokasi dan pergi ke kantor kepolisian.
Ketika sampai di depan kantor kepolisian dapat dilihat kondisinya sudah hancur, kaca-kaca pecah, api mulai menjalar di beberapa titik, polisi yang selamat berhamburan keluar dari gedung tersebut. Aku tanpa basa-basi masuk ke dalam gedung tersebut. Aku menaiki tangga darurat dan menuju ke lantai 2, tempat kantor komandan kepolisian berada. Aku menyusuri lorong yang lumayan panjang dan akhirnya sampai di depan pintu kantor komandan. Aku membuka pintu dan mendapati komandan sudah berlutut dan di belakangnya terdapat seorang lelaki yang mirip dengan yang kutemui di rumah itu, hanya saja rambutnya gondrong berwarna hitam, mata hitamnya yang besar dan tajam membidik pistolnya ke arah komandan. Dia menyuruhku untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Aku pun duduk di kursi, menghadap komandan dan lelaki itu.
Aku langsung menyadari bahwa penyelidikanku ini hanyalah pengalihan supaya kantor kepolisian dapat diserang. Setelah sunyi selama beberapa lama, akhirnya lelaki itu berkata, ”Kau mempunyai barang yang sangat berharga, kami mau barang itu.” Mendengar itu, aku langsung berpikir keras apa maksud dari lelaki tersebut.
Sontak, aku langsung menyadari bahwa benda yang dimaksud adalah koin keberuntunganku. Koin berwarna emas yang di sisinya terdapat gambar timbangan dan di sisi satunya lagi terdapat gambar pedang. Koin ini merupakan alasan kenapa aku mendapatkan panggilan “Libra”.
Benar-benar tak habis pikir, semua rencana penyerangan ini hanya untuk sebuah koin kecil saja. Awalnya, aku tidak mengindahkan permintaan lelaki tersebut. Ketika sudah berkata demikian, lelaki itu memberi aba-aba dan tampaklah dua perempuan di sebelah kiriku diikat dan bergelantungan di udara. Aku terperanjat melihatnya, lelaki itu berkata jika aku tak memberikan koin itu padanya maka nyawa tiga orang ini akan melayang.
Aku mengeluarkan koin itu dari saku mantelku dan memainkannya sebentar. Namun, sebelum aku menggelindingkan koin itu, aku mendapat sebuah penglihatan bahwa akan ada sebuah peluru yang menancap tubuhnya setelah dia membungkuk mengambil koinku. Aku lalu menggelindingkan koin ku ke arahnya, dan benar saja, ia pun membungkuk untuk mengambil koin itu. Ketika dia berdiri tegak kembali, sebuah peluru menancap di badannya. Lelaki itu langsung tumbang di tempat. Rupanya tembakan itu berasal dari gedung di seberang kantor kepolisian yang sudah kosong. Sontak, aku dan komandan langsung menyelamatkan kedua perempuan itu.
Syukurlah komandan dan kedua perempuan itu selamat, meskipun salah satu dari kedua perempuan itu ada yang terluka, tapi lukanya tidak cukup parah. Mereka sempat diculik dan akhirnya bergelantungan di udara. Setelah memastikan bahwa mereka baik-baik saja, mereka dipersilakan untuk pulang ke rumah mereka.
Ketika aku sedang berbicara dengan komandan di dekat ambulans, datanglah seorang perwira yang menggendong sebuah tas besar berwarna hitam. Dia adalah sahabatku sejak SMA. Rupanya dia yang menembak lelaki tadi. Dia dapat menjamin bahwa peluru itu tidak mengenai alat vital. Setelah dicek, kondisi lelaki tersebut baik-baik saja. Namun, dia harus berbaring sekitar 2 sampai 3 hari, cukup lama untuk menunggunya siuman dan menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya. Sesudah berbicara cukup lama, aku pulang ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 subuh, benar-benar hari yang melelahkan.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Blog / Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com