Cahaya entah kembali Kusentuh aksara hidup Untuk tertatih melangkah Memangku kertas lusuh. Memang siapa sempurna Tapi tinta telah memutih Tak bisa tetesskan air mata Meski hati tersakiti
Harapku tenggelam Didasar mimpi gulita Tak ada terus mencari Tanpa lilin membantuku Warna menatap penuh dusta Menyeringai Bersorak bangga
Hanya ibu Menemaniku dalam suara Sekedar mengusir sunyi Untuk menimang mimpi
Sebuah kereta meninggalkan stasiun. Desir angin melantun tasbih menebarkan hawa kedamaian. Disesaki orang-orang yang bercanda ria, saling berbagi senyum dari bibir mereka. Namun, api seakan membakar tubuhku. Gerah. Hatiku dihantui rasa gelisah. Ingin rasanya cepat sampai di rumah, lalu menghempaskan tubuhku ke atas kasur.
Tiba-tiba terdengar suara gesekan dari bawah kereta. kecemasan mulai membalut setiap orang di sekelilingku. semua ketakutan. Suara hantaman keras dari gerbong paling depan. Ayah memelukku dengan erat. Aku sendiri masih bingung dengan semua kenyatan ini. Aku hanya bisa diam. Tiba-tiba aku terlempar jauh bersama ayah, terkejut, khawatir, takut, Setengah sadar. Ayah membawaku keluar. Ayah mendudukkanku beberapa meter dari kereta. Secara perlahan kesadaranku mulai pulih. disampingku ibu menangis terisak. Sedangkan ayah berlari kembali menuju kereta untuk menyelamatkan penumpang lain, yang aku lihat topi ayah terjatuh di depanku. Hati diliputi rasa takut, bibir bergetar tak bisa berbicara sepatah katapun. Dan ledakan besar mengagetkan alam sekitar. Aku hanya bisa merasakan pecahan kaca mengenai mata, dan cahaya hilang seketika. Perih itu mengaburkan semua kesadaran, suara ibu dan jeritan penumpang semakin sayup, sayup, dan hening.
—
“Ibu berangkat dulu ya, sayang.” ucap ibu membelai rambutku dengan lembut. “Nasinya ibu letakkan di atas meja.” Tambah ibu, sepertinya sudah ada dipintu. “Terima kasih bu… hati-hati di jalan.” Jawabku dengan tersenyum.
Selama 8 tahun aku habiskan hidup di kamar ini. waktu itu masih kelas 5 SD, aku putus sekolah karena kecelakaan yang membuatku buta. Sudah 5 hari aku selalu sendiri, ibu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Awalnya ibu membuka warung kecil-kecilan di depan rumah, dan Alhamdulillah, sekarang ibu sudah bisa membuka restoran di dekat kota. dan beliau harus pulang sore setiap hari.
“Aini.” seseorang memanggil entah siapa. Aku tidak pernah mendengar suara itu. “Siapa…?” aku menoleh walaupun tak ada yang terlihat. Dia meletakkan tangannya di pundakku. “Namamu Aini Aulia kan?” aku mengangguk, tubuhku sedikit gemetar. “Namaku Hamzah. jangan takut, aku tidak berniat jahat. aku hanya ingin menjadi temanmu.” tangannya yang lembut mengangkat tanganku dan mengelusnya halus. “Bagaimana kamu bisa ada disini…?” hatiku belum tenang. “Sudah lama aku disini, namun kamu tidak menyadarinya.” Aku mencoba tenang walaupun masih takut dan malu, bagaimana bisa dia selalu disini memperhatikanku. Apakah ibu mengetahuinya? Namun ibu tidak pernah cerita padaku. “Apa ibu…” “Sssst…” Ucapku terhenti, jarinya menyentuh bibirku. “Ibumu yang menyuruhku untuk menemanimu. Kamu jangan Tanya lagi, sebaiknya kamu ikuti saja permainanku.” Aku hanya mengangguk lugu. Bagaimanapun jawabanku, aku tidak akan bisa melawan.
Dia menarik tanganku membawaku keluar rumah, entah kemana. Lalu menyuruhku untuk duduk. Aku menuruti setiap katanya. Kurasakan tangannya yang lembut sepertinya dia bukan orang jahat. “Tak lama lagi matamu akan kembali seperti delapan tahun yang lalu.” Aku kaget bercampur bahagia, namun aku masih ragu bagaimana dia bisa seyakin itu. “Kamu akan melihat betapa indahnya dunia ini. Dan kamu akan tau bahwa dunia sudah berubah dari yang kau lihat delapan tahun silam. dari kepompong yang mekar menjadi kupu-kupu, bunga-bunga yang menari dirayu angin dan nafas pagi yang meniupkan kesejukan. Ya. Itu dulu.” “Apa kamu ingat? seorang anak kecil yang berlari kesana-kemari mengejar kupu-kupu, memetik sekuntum bunga lalu diberikan pada ibundanya. Dan bermain kejar-kejaran bersama ayahnya.” “Hari itu adalah hari yang menyenangkan.” Jawabku tenang ketika aku sadar gadis kecil yang ia ceritakan itu adalah aku.
Hari-hari berlalu. ketika ibu barangkat kerja, Hamzah selalu ada untuk menemaniku. biasanya kami bercerita tentang masa kecil. aku kagum padanya, dia banyak tahu tentang hidupku. Namun satu yang masih kupertanyakan, tentang keluarga dan hidupnya. Dan jawabannya sama sekali tidak menghilangkan rasa penasaranku. karena dia hanya menjawab “aku Hamzah temanmu, orang yang selalu kesepian dari kecil.”
Alhamdulillah. Operasi berjalan lancar. aku tidak sabar untuk melihat dunia. melihat wajah dan senyum ibu, tentu aku juga aku ingin melihat sahabatku Hamzah. Dokter membuka perbannya dengan sangat hati-hati. “Coba buka matanya perlahan. jangan terlalu dipaksa” Dokter di sampingku memberi arahan. Dari samar-samar terlihat semakin terang dan jelas. Ibu tersenyum, wajahnya masih cantik seperti delapan tahun yang lalu, hanya saja beliau sekarang lebih cantik mengenakan kerudung ungu yang rapat menutupi kepalanya. “Ibu…” ah, pelukan ibu yang begitu hangat menambah kebahagiaan yang tiada taranya. Aku berbisik di telinga beliau. “Dimana Hamzah, bu…?” “Hamzah siapa..?” aku menggeleng kaku, ternyata ibu tidak tahu. Siapa sih dia itu, kanapa sekarang tiba-tiba menghilang? “Setiap pulang kerja, ibu sering melihatmu di taman bersama boneka itu” Ibu menunjuk boneka yang tergeletak di atas meja. “Apa Hamzah hanya sekedar boneka? Atau hanya aku yang mengkhayal?” Gumamku dalam hati.
Aku membawa boneka itu duduk di taman samping rumah. Aku yakin waktu itu, duduk di kursi ini bersama Hamzah, bercerita tentang indahnya dunia. Namun kini aku sudah melihat dunia namun dia kini yang hilang entah kemana? mungkin ibu benar, dia hanya khayalan.
Ibu memberiku buku berjudul “Negeri Fana.” di dalamnya berisi puisi-puisi yang biasa kuungkapkan, dan rupanya diam-diam ibu menulisnya menjadi buku antologi. juga sebuah novel yang menceritakan tentang hidupku. kata beliau biaya operasi didapatkan dari buku-buku ini. dan sisanya masih dua jutaan. Jadi kugunakan uang itu untuk mengunjungi makam ayah di Surabaya.
Ayah dimakamkan di halaman belakang rumah nenek. Paling barat adalah makam kakek. kakek meninggal ketika aku masih kecil. yang paling timur adalah makam ayah. Dan hanya sebulan dari kematian ayah, nenek menyusul. Dan rumah nenek menjadi rumah tua tak berpenghuni. Beliau dimakamkan diantara makam kakek dan ayah.
Air mataku bercucuran. Kurasakan ayah sedang memelukku, dan aku duduk di pangkuannya. Melepas kerinduan yang telah lama bersemayam. Dan kuungkapkan seluruh isi hati. Laksana anak manja yang bercerita, merengek, menangis, dan tersenyum bersama ayahandanya.
Aku tidak akan lama paling Cuma dua, tiga hari. Aku membersihkan rumah nenek yang masih tegak berdiri, namun sudah tidak ada barang-barang lagi disini, selain tikar tipis dan satu lemari yang tidak utuh lagi. Dan kuhabiskan malamku dengan rukuk sujud, menyuguhkan hadiah terindah untuk ayah, kakek dan nenek.
Pagi. Selesai sholat dhuha, aku berangkat ke stasiun. Aku hanya membawa tas ransel yang tidak begitu besar. Berisi tiga helai pakaian dan mie instan. Aku terkejut. Ada selembar surat terselip diantara baju-bajuku. Di atas ada tulisan besar “salam untuk ayah.”
Kereta berangkat. Kubaca surat itu, keringat dinginku mengalir deras. Namun aku mencoba tenang, dan semua kejadian ini sudah direncanakan.
Semua penumpang berteriak. Lembaran di tanganku terlepas. Aku hanya bisa pasrah. Kulihat lembaran itu terbang melalui jendela terbawa angin jauh tertinggal dari kereta. Satu suara ledakan menghapus semua yang kudengar, tatapan terahirku adalah warna api yang menyala dan tiba-tiba semuanya hilang.
—
Salam untuk ayah. Kamu mungkin akan bertanya, siapa aku sebenarnya? Aku hanya orang terlantar yang tak memiliki rumah, yang terbuang tak diakui orangtua, yang difitnah dianggap anak zina, yang tak pernah merasakan kasih sayang selalu dikucilkan. Berbeda denganmu yang memiliki rumah untuk kembali, memiliki orangtua yang sangat mencintai, memiliki semua yang kau butuhkan, dan kasih sayang yang selalu tercurahkan.
Maaf aku yang telah merenggut pengelihatnmu waktu itu. Dan membuat ayah kita pergi untuk selamanya. Dan yang terahir sampaikan salamku untuk ayah.
Hamzah
Cerpen Karangan: Miftahul Anam Blog / Facebook: zauhirl aqrof dendam itu seperti kereta api. selalu angkuh tak peduli siapa menghadangnya. ia akan hanya akan berhenti ketika kehendaknya sudah sampai tujuannya.