Kepedihan kembali datang, merenggut setitik kebahagiaan yang tersisa. Butiran bening yang baru saja mengkristal kini mulai mengurai kembali, membasahi tanah yang diinjak, menguap bergabung bersama udara yang terasa pengap. Dadanya sesak. Tangis tak membuat hatinya merasa lega. Dunia seakan mati seiring dengan kepergian orang-orang terdekatnya.
“Ya, saatnya kita pulang nak.” seorang lelaki paruh baya menyentuh pundaknya, Yara bergeming. “Relakan dia, buatlah langkahnya ringan. Seperti kamu merelakan kepergian Mama dan Ren.” Yara mengembuskan nafasnya berat lalu beranjak. “Om akan selalu ada buat kamu. Kamu tahu kan dimana dapat menemukan Om?” Yara mengangguk lemah.
—
Untuk ketiga kalinya Yara merasa tersesat dalam kegelapan. Ia melalui hari-harinya dengan berat. Kedukaan yang dulu pernah menyelimutinya kini kembali menghamparkan helaian kelamnya yang tak kuasa ia sibakkan.
Genap tiga bulan ia menemukan lelaki yang telah menariknya dari kubangan kesedihan karena rasa kehilangan. Namun ternyata ia kembali terjerembab dalam kesedihan, karena Jared, lelaki yang ia kasihi itu pergi menghadap yang Maha Kuasa dalam sebuah kecelakaan tragis. Lexus milik Yara yang tengah ia kendarai tiba-tiba tak bisa dikendalikan. Kesimpulan sementara dari penyebab kecelakaan mobil yang rencananya akan dibawa ke bengkel untuk perawatan bulanan itu adalah rem blong. Yara tak habis pikir mengapa hal itu dapat terjadi padahal setiap bulan ia melakukan perawatan rutin untuk kendaraan peninggalan Mamanya itu.
“Seharusnya aku yang disana, bukan Red,” Yara berkata pelan. “Seharusnya aku tak meminta bantuannya untuk pergi ke bengkel. Seharusnya aku mempercayai perasaanku yang mendadak tak enak sesaat setelah ia melambaikan tangannya padaku.” Suara Yara mulai bergelombang. “Semua bukan salah kamu, tak ada yang dapat menghindari takdir Ya.” Lelaki bermata kelabu itu menumpukan tangannya diatas tangan Yara. “Ini semua salahku Jev, orang-orang yang dekat denganku semuanya pergi meninggalkanku. Mama, adikku Ren, dan kini…” Yara tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Jev menggeleng. “Itu semua kehendak yang kuasa, Ya. Kita tak bisa mengelak dari hal seperti itu.” “Mereka pergi begitu cepat, apakah ini kutukan untukku? Harga yang harus kubayar untuk perbuatan-perbuatan burukku?” Jev menggeleng. “Jangan berkata begitu, Ya.” “Aku tidak tahu mengapa Mama bisa dengan tiba-tiba terkena serangan jantung, Ren tak selamat dari kebakaran yang menimpa rumah kami dan Red … Aku tak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sudah tak ada artinya lagi.” Yara menatap keluar jendela, titik-titik hujan mulai membasahi jalanan seiring dengan jatuhnya butiran bening dari kedua matanya. “Shh, selalu ada arti dalam setiap kehidupan, lagi pula kamu masih memiliki aku Ya, temanmu, sahabatmu. Walaupun aku terlambat menemukanmu namun percayalah aku tak akan pernah meninggalkanmu sendiri.” Jev berkata lembut di telinga Yara.
—
Yara memandangi kotak makanan yang berisi roti lapis, apel granny smith dan satu kotak susu low fat di meja kerjanya. Beberapa hari ini, Jev sering menyambanginya, membawakan sarapan atau mengajaknya makan siang bersama. Perusahaan periklanan milik Jev ada di seberang jalan, sehingga dengan mudah ia dapat mengunjungi Yara kapanpun ia mau. Dan yang menjadi sangat kebetulan adalah atasan Yara merupakan teman satu angkatan Jev saat ia menempuh pendidikan pasca sarjana. Itulah mengapa selalu ada izin bagi Jev untuk mengetuk pintu ruangan Yara yang baru saja genap satu bulan bekerja di tempat itu. Sebelumnya Yara memang memutuskan untuk meninggalkan semua kehidupan lamanya, rumah dan pekerjaannya, berharap semua hal buruk tak datang menghampirinya lagi. Dan ternyata di tempat barunya ini ia kembali dipertemukan dengan teman lamanya, Jev.
Jam di tangan Yara telah berada diangka 12.15, ia beranjak. Sudah saatnya ia berkunjung balik ke kantor Jev untuk sekedar mengajaknya makan siang bersama. Tak adil rasanya bila Jev yang selalu mengajaknya. Yara membuka pintu yang sepenuhnya berbahan kaca itu, pewangi ruangan beraroma green tea langsung menyapa hidungnya lembut.
“Maaf, Bapak sedang rapat internal, tidak bisa diganggu.” Seorang wanita muda yang berada di frontdesk berkata ketus. Yara menatap wajah itu, wajah yang rasa-rasanya pernah ia lihat tapi entah dimana. Baru saja Yara membalikan tubuhnya, sebuah suara menghentikan langkahnya tiba-tiba. “Ya? Sedang apa kamu disini? Ada perlu denganku? Kok sudah mau pergi lagi?” Jev menghampirinya dengan berondongan pertanyaan. Yara terkejut, tak menyangka Jev akan muncul tiba-tiba. “Sudah selesai rapatnya?” Jev mengerutkan keningnya. “Tak ada jadwal rapat hari ini, siapa yang bi…” Jev melemparkan pandangannya ke arah meja yang kini tak berpenghuni. “Aah, maafkan Leyda, dia baru beberapa minggu disini.” Jev tersenyum sambil menunjuk meja kosong tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Jadi?” tanyanya penasaran. “Emm, makan siang kali ini aku yang traktir.” Yara tersenyum. “Ya ampun Ya, kamu kesini hanya mau mengatakan itu? Kamu kan bisa meneleponku, gak usah repot-repot menyebrang jalan. Nanti aku yang menjemputmu.” “Tak apa, aku kan juga ingin menyambangi tempat ini.” Yara memandangi sudut demi sudut ruangan yang dipenuhi pernak-pernik di dindingnya. “Kalau begitu, yuk, tunggu apa lagi?” Jev membuka pintu kantornya untuk Yara.
—
Yara membereskan meja kerjanya lalu berkemas. Jam dinding menunjuk di angka 7.30 malam. Karena dikejar deadline, Yara memilih untuk melembur. “Mbak Yara, maaf tadi ada seseorang yang menitipkan ini.” Adi, satpam perusahaan menyerahkan secarik kertas sesaat sebelum Yara menjatuhkan langkahnya di tangga terakhir. Dahi Yara mengernyit. “Apa ini? Dari siapa?” “Saya gak tahu, yang kasih perempuan Mbak, cantik.” Adi menyeringai. “Tapi gak bolong kan punggungnya? ” Goda Yara disambut dengan kicauan panjang pendek dari mulut Adi.
Dengan hati-hati Yara membuka lipatan kertas daur ulang berwarna krem itu, rangkaian huruf yang diketik berbaris rapi disana.
Dear Yara, Bersediakah kamu mampir sebentar ke kantorku setelah pekerjaanmu selesai nanti? Aku tertarik dengan ide yang kamu sampaikan saat makan siang tadi tentang konsep iklan yang sedang aku kerjakan. Tapi itu pun bila kamu tak keberatan. Aku sengaja menulis pesan ini, karena aku tak ingin menganggumu yang tengah dikejar deadline dengan dering telepon. Aku tahu kamu melembur dari Teddy. Sekali lagi bila kamu tak keberatan ya. Sampai nanti, Rami Jevee
Yara tersenyum kecil, “Rami Jevee”, sejak kapan Jev menjadi begitu resmi. Yara melipat kembali kertas itu. “Tadi Jev, eh Pak Rami kesini Di?” Tanya Yara penasaran. “Hmm, iya, agak sore terus ke atas, memangnya gak ketemu Mbak Yara?” Yara menggeleng. “Gak lama turun bareng Pak Teddy sih.” lanjut Adi. Yara mengangguk, lalu berpamitan pulang.
Sebenarnya Yara merasa lelah, namun ia tetap melangkahkan kakinya menuju gedung yang ada di seberang kantornya itu. Ia mematung sejenak, ragu-ragu membuka pintu. Lalu ia pun mengeluarkan ponselnya, mencari nama Jev disana. Sebuah suara dari mesin operator memberitahukan bahwa nomor yang dituju sedang tak aktif. Ia mencari nomor kantor Jev, namun sebelum jarinya menekan tombol dial, sebentuk wajah pucat muncul dari balik pintu mengejutkannya.
“Lembur juga?” Yara bertanya basa-basi. “Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan. Mari mbak, saya antar ke atas sekalian saya mau pamitan pulang.” Leyda mempersilakan Yara berjalan mendahuluinya. Yara menjelau ke arah perempuan bernama Leyda itu dengan berjuta tanda tanya di kepala, ia kembali merasa familiar dengan wajahnya.
Pintu ruangan Jev terbuka sedikit, Yara mengetuk pelan, tak ada sahutan, lalu ia mendorong pintu tersebut. Belum sempat pintu terbuka lebar, tiba-tiba Yara dikagetkan dengan sebuah bekapan di hidungnya dan sejenak kemudian ia merasa sangat mengantuk.
Yara mengerjapkan matanya berulang kali, kepalanya pusing. Tubuhnya terasa berat untuk digerakkan. Mulutnya seakan terkunci rapat. Ruangan temaram menyambutnya, lampu pijar diatas kepalanya menyala redup. Udara disekitarnya terasa pengap dan berdebu. Kini ia mulai tersadar sepenuhnya, tubuhnya terasa berat karena ia terikat diatas kursi, mulutnya rapat karena selembar lakban menempel erat disana. Yara panik, ia mencoba melepaskan diri, namun usahanya sia-sia. Sebuah tawa nyaring menghentikan usahanya.
“Dengan berat hati aku terpaksa melakukan ini kepadamu, Yara sayang.” “Sebenarnya aku tak ingin semuanya berakhir seperti ini, karena aku tahu bahwa kehilangan orang-orang yang kamu cintai akan lebih menyakitkan daripada ini.” Sosok yang bersuara dalam kegelapan mulai menampakan dirinya lalu menampar Yara dengan keras. Yara terkejut setengah mati.. “Serangan jantung, kebakaran, rem blong, bukankah itu sebuah tragedi yang menarik?” Sosok itu kembali tertawa nyaring. “Kali ini aku tak bisa menyakiti orang yang dekat denganmu karena dia berbeda, dia berarti bagiku tidak seperti keluargamu dan kasih tak sampaimu itu, siapa namanya? Red?” Yara memberontak, berusaha membuka mulutnya namun itu sia-sia. “Mamamu telah merenggut semua kebahagiaan Mamaku, dan kebahagiaanku tentu saja.” Kini sosok itu berbisik di telinga Yara. Yara menggeleng tak mengerti, siapakah dia yang terlihat menakutkan di balik masker yang ia kenakan itu?
“Maafkan aku Yara sayang, aku harus melakukan semua ini.” Sebuah pisau army berkilat dibawah sinar lampu nan temaram, Yara merasakan ketakutan yang sangat. “Wajahmu adalah ancaman.” Yara menahan nafasnya, kini pipinya terasa perih. Air mata mulai menetes satu persatu. “Hmm, aku kira air matamu telah lama mengering, tapi ternyata …” Tawa nyaring kembali terdengar. Sosok itu kini kembali berlindung dalam kegelapan.
“Kamu tahu, mamaku pergi untuk selamanya dengan membawa luka hati.” “Papa mengkhianatinya demi Mamamu. Dan tidak sampai disitu, Papaku lebih menyayangi kamu daripada aku, anak kandungnya sendiri. Aku benci kalian semua.” Ia berteriak sambil melempar-lemparkan barang-barang yang ada disekitarnya.
Kini Yara mulai paham dengan semuanya, diantara rasa perih di pipinya, Yara berusaha melepaskan ikatan tangannya. Ia sadar, ia harus tetap tenang menghadapi semuanya. Kepanikan hanya akan membuat usahanya sia-sia, begitulah pengalaman hidup telah mengajarinya selama ini.
“Kamu telah merenggut semua yang aku punya, dan kini kamu pun akan merenggut seseorang yang mulai aku cintai. Aku tak akan membiarkan itu terjadi, kamu dengar?” Kini ia muncul dari kegelapan menghampiri Yara lalu mulai menyerangnya dengan membabi-buta. Tamparan, jambakan, pukulan, sampai tendangan menghujani tubuh Yara bertubi-tubi, Yara tak bisa melakukan apapun. Tubuhnya mulai terasa sakit dan ngilu. Sebuah tendangan keras membuat Yara tersungkur bersama kursinya. Sosok mengerikan itu bagai kerasukan setan, menendangi kursi yang telah tergeletak bersama tubuh Yara. Dalam rasa sakitnya, Yara merasakan tali di pergelangan tangannya mengendur, dengan hati-hati ia mulai berusaha melepaskan tangannya dari ikatan. Sementara sosok kerasukan itu menangis tersedu dalam kegelapan lalu berteriak. “Aku benci kamu, Yara.”
Yara tak mengindahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia berusaha terus untuk melepaskan diri dari ikatan. Lambat laun usahanya berhasil, dengan sekuat tenaga ia berdiri, melepas lakban di mulutnya, lalu melangkah tertatih menuju pintu. “Hei, mau kemana kamu? Usaha yang mengagumkan.” Sosok itu berlari cepat lalu menghalangi pintu. Yara kini dapat melihat jelas wajah orang yang berada di hadapannya, masker yang tadi dikenakannya talinya terlihat putus. “Ley…da?” “Ya, ini aku. Terkejut? Ah pasti tidak, ya kan? Kamu pasti pernah melihatku di apotik langganan Mama kamu kan? Cleaning service online? Pengantar Pizza? Atau mungkin kasir di bengkel?” Leyda menyeringai lalu menjambak rambut Yara dan menyeretnya kembali ke tengah ruangan. Yara mulai mengingat-ingat semuanya diantara usahanya mengumpulkan tenaga yang tersisa. Ya, wajah itu, pantas saja ia merasa pernah melihatnya.
Diantara rasa sakit yang menderanya, munculah wajah-wajah orang yang dikasihinya. Mama, Ren, dan Jared, mereka tersenyum padanya. Yara merasakan ada kekuatan yang mendorongnya untuk melawan. Lalu dengan tenaga yang sebagian telah tergerus oleh rasa sakit, ia mendorong Leyda sekuat tenaga, lalu berlari keluar ruangan. Namun tak lama Leyda sudah ada di belakangnya, mendadak Yara merasakan sakit yang menyengat di punggungnya, Yara tahu bahwa ada sesuatu yang menghujam punggungnya. Tapi Yara terus berlari tak memperdulikan rasa sakitnya. Yara mulai melemparkan semua barang yang ia temui ke arah Leyda yang mengejar di belakangnya. Sebuah vas bunga rupanya berhasil mengenai Leyda dan membuatnya tertahan.
Yara melihat sinar terang menyeruak tak jauh darinya. Ia terus berlari ke arah sinar itu datang, rasa sakit yang terus menyerang tubuhnya tak dihiraukannya. Darah segar menetes, meninggalkan banyak bercak-bercak merah di lantai. “Yara!” Sebentuk wajah yang ia kenal menyembul dihadapannya disambut dengan robohnya tubuh Yara ke lantai. “Ley…da.” Yara mencengkram lengan Jev. Belum sempat Jev mengangkat tubuh Yara, Leyda datang lalu berusaha menyerang Yara yang tergeletak di lantai. Jev terkejut, ia pun berteriak. “Adi, dia yang tadi mendatangi kamu?” Konsentrasi Leyda pecah ketika melihat Adi muncul tiba-tiba. “Iya, Pak. Perempuan ini yang menitipkan surat itu untuk Mbak Yara.”
Merasa kondisinya tak menguntungkan, Leyda pun memutuskan untuk melarikan diri. Namun sebelum itu terjadi, Adi dapat meringkusnya terlebih dahulu. Leyda menjerit histeris sambil berusaha melepaskan diri dari telikungan Adi. “Rami, Kamu tega memperlakukan wanita yang mencintaimu seperti ini hah?” “Kamu sakit Ley! Aku menyesal telah memberimu pekerjaan di sini.” Jev membawa tubuh Yara dalam pelukannya dan berjalan cepat ke arah pintu. “Yara yang membuatku begini, dia yang mengawalinya. Dia yang terlebih dahulu menyakitiku. Dan sekarang dia iri karena aku dekat dengan kamu.” Leyda berteriak. “Asal kamu tahu, semua ruangan di kantor ini dipasangi CCTV.” Jev ganti berteriak.
“Kenapa kamu kembali ke kantor?” Yara bertanya lirih diantara suara jantung Jev yang berdegub kencang. “Ponselku dan kado ulang tahun untuk seseorang tertinggal di kantor. Aku baru menyadarinya ketika akan berangkat tidur. Selanjutnya aku bertemu Adi, ia heran akan kedatanganku lalu ia pun menceritakan semuanya.” Jev mendudukkan tubuh Yara di kursi depan, menyumbat luka di punggung Yara dengan jaketnya lalu mengatur posisi kursinya senyaman mungkin.
Sebelum memutar kunci kontak, Jev melihat jam tangannya lalu menyentuh pipi Yara lembut. “Duabelas tepat, selamat ulang tahun, Ya.” Yara berkata lemah. “Kamu ingat hari ulang …” Matanya mulai terasa berat untuk tetap terbuka. “Aku selalu mengingatnya, dari tahun ke tahun, walaupun kamu berada entah dimana.” Yara tersenyum, nafasnya tersengal. “Tetaplah terjaga Ya!. Tetaplah bersamaku, karena hanya kamu yang dapat membuat hidupku berarti… aku mencintaimu.”
Cerpen Karangan: Ika Septi Blog: kompasiana.com/Ika Septi