Aku mendengar suara isak tangis. Seketika itu juga seakan tubuhku ditimpa sesuatu yang besar hingga napasku sesak, jantungku berdesir tak karuan, seakan aku mau menghilang saja. Suara itu tak henti-hentinya menemaniku, mataku menjadi enggan tuk mengatup. Aku mengeratkan genggamanku pada selimut yang kugunakan untuk melindungi diri bak kura-kura dalam tempurungnya.
Lagi, suara itu semakin menjadi, kontan tubuhku tergerak sendiri untuk bangkit dan berteriak sekencangnya. Sepersekian detik terdengar suara gagang pintu yang digerakkan sebelum ambang pintu itu terbuka secara paksa. Kedua orang menyembul dari baliknya. “Sayang, Marini. Ada apa?” tanya seorang perempuan paruh baya, sementara di belakang perempuan itu berdiri seorang laki-laki dengan kacamata membingkai indra penglihatnya. Ia beberapa kali menengok ke kanan dan ke kiri: seakan mencari maling yang menelusup masuk ke dalam rumah. Kemudian, kembali ia memandangku. Aku tersentak, kelimpungan, otakku berputar cepat tak tahu apa yang akan aku jelaskan kepada mereka. Hingga aku kontan menjawab, “Marini hanya mimpi buruk Ma, Pa.” Sambil menyengir untuk memberi kesan bahwa aku memang benar-benar terbangun dari mimpi buruk. Untungnya mama dan papa tak mencurigaiku. Aku menyengir kembali dan menyembunyikan tubuhku ke dalam selimut seraya memberi isyarat pada kedua orangtuaku bahwa mereka tak perlu khawatir dan segera meninggalkanku.
Kedua orangtuaku mungkin kebingungan dengan tingkahku. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu ditutup. Kamarku kembali hening. Aku yang terkungkung dalam selimut mengerjapkan mata, mencoba melihat dari sela-sela selimut, akan tetapi nihil karena seratnya yang terlalu tebal.
Bebarapa lama hening, aku mencoba menutup mataku. Hatiku selalu berbicara untuk tetap tenang, ketika hatiku sudah ingin berjalan melintasi batas kenyamanan, aku membelalakkan mata. Suara itu terdengar kembali, bulu kudukku makin menjadi dibuatnya.
Pagi hari, mataku seakan berat. Aku seperti menaruh beberapa batu di kantung mataku, tubuhku pun terasa lemas sekali, mungkin ada beberapa kilogram beras yang masing-masing diletakkan di pundakku. Aku berangkat sekolah meski enggan, rasanya ingin tidur, tetapi bukan di rumahku. Aku ingin tidur di tempat lain. Selang setelah aku berada di sekolah dan jam istirahat tiba, aku bersama temanku pergi ke kantin untuk sekadar membeli roti dan gorengan, serta air mineral kemasan. Rin yang sedari awal penasaran dengaku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Mar, lo kenapa? Pucet amat kayak mayat hidup,” sindirnya padaku. “Gue lagi bad mood, gue nggak bisa tidur tadi malam,” ungkapku dengan intonasi yang datar. “Hah, tumbenan, biasanya lo nggak kayak gini, lo abis ditolak Reno, ya,” tanya Cindy spontan. “What? Idih, enggak, ya. Lo pada tahu sendiri gue sama Reno tuh kayak apa. Nasib buruk gue tadi malam.”
Ketiga temanku mencondongkan badannya—mendekatiku—membuatku risi, ketika aku mengerti maksud mereka aku langsung menjelaskannya. “Gue denger suara aneh tadi malam.” Mendengar itu teman-temanku kontan memperlihatkan ekspresi yang beragam. Ada yang seperti tak acuh, ada yang melongo dan ada yang penasaran dengan kelanjutan ceritaku. “Ya, lo semua harus percaya sama gue, gue beneran denger, ya, walaupun gue nggak bisa ngeliat yang semacam itu, tapi sepanjang malam tuh gue denger, suaranya nggak hilang-hilang.” “Terus, gimana lo bisa tidur?” tanya Cindy sambil bertopang dagu. “Gue bener-bener nggak bisa tidur sepanjang malem itu. Gila nggak,” ulangku pada teman-temanku. “Wah, wah, rumah lo kayaknya kurang didoain tuh, kurang syukuran.” Mendengar perkataan Rin yang tadi melongo kala pertama aku membuka cerita ini membuatku tertegun—ia mencoba menasihatiku, tetapi aku malah menafsirkan itu sebagai sindiran. “Tiap hari juga gue baca doa sebelum tidur,” ucapku, walau sebenarnya tak tiap hari aku melakukannya. Aku lebih sering ketiduran tanpa sadar. “Iye, semoga aja nggak lagi.” Semuanya mengamini.
Lagi, malam yang sama di jam yang sama tatkala aku ingin terlelap barang sejenak, aku sudah telalu lelah, mataku terasa berat dan tubuhku terasa ingin rontok saja. Namun, suara yang seperti rintihan anak kecil itu malah seakan menjadi lagu nina boboku. Aku menangis, aku tak kuat.
Pada malam ketiga aku mencoba untuk tidur lebih awal—di bawah pukul sepuluh malam, aku yang sempat tertidur hampir di sepanjang mata pelajaran di sekolah telah habis-habisan dibuat malu; Ada guru yang biasa saja dan hanya memintaku untuk membasuh mukaku dengan air; Ada guru yang amat galak dan malah menyuruhku untuk keluar kelas; Ada lagi guru yang membuatku illfeel—salah satu guru termuda di sekolahku. Beliau mengatakan sindiran kepadaku, “Abis begadang nonton bola, ya?” Sial, sejak kapan aku suka bola? Tapi kalau Messi sih, kenal.
Aku mencoba memejamkan mataku kembali untuk yang kesekian kalinya, aku mencoba karena takut. Ketika mataku terpejam dan senyap menemaniku, beberapa menit tak ada suara apa pun kecuali embusan napasku. Hatiku memulai menetralisir dan damai.
Ketika gambaranku telah berganti, yang kusadari aku tengah di garis start. Tiba-tiba suara itu menyeretku keluar dunia yang akan kuarungi. Aku tersentak, ini benar-benar gila, aku dibuat gila dengan sosok yang entah tahu apa? Perasaanku semakin menjadi ketika aku merasakan hal aneh yang bergesekkan dengan tubuhku, aku ingin melontarkan doa-doa, akan tetapi seakan dibekap: aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Anehnya, tanpa sadar seperti ada yang mengembuskan angin ke lubang telingku, aku jatuh terlelap. Di kesunyian alam lain yang biasa disebut sebagai bunga tidur ini aku hanya berjalan sendiri. Kabut tiba-tiba muncul entah dari mana, merubah sekitarku menjadi seperti diriku berada di suatu ruangan yang lembab, kotor, dan berbau anyir. Entah ini tempat apa, akan tetapi aku pastikan ini adalah tempat terburuk yang pernah aku kunjungi walau hanya di dalam mimpi.
Tempat ini remang, di sekitarku seperti tong-tong kosong berukuran setinggi manusia yang terbaring di sembarang tempat dengan posisi yang tak karuan. Ada potongan-potongan kain yang telah tertutupi debu yang menghitam dan sesuatu yang lengket seperti oli? Bensin?
Tiba-tiba terdengar sebuah suara—meski samar—tetapi masih terdengar di telingaku, aku mencoba mendekat dengan langkah ragu, memijaki setiap lantai yang hampir keseluruhannya menghitam. Terdapat genangan di beberapa tempat, aku kembali menebas jarak, terdengar bunyi retakan dari bawah alas kakiku. Ternyata, setelah aku mengangkat kakiku, aku menyadari ada pecahan kaca yang tak sengaja terinjak olehku.
Aku menjadi semakin takut dengan adanya diriku di tempat ini, aku menyilangkan kedua tanganku ke lengan, mengusapnya, menampik hawa dingin yang membuat kejut bulu kuduk, menepiskan rasa gemetar yang menjalar.
Setelah beberapa langkah aku tebas, aku menemukan seorang gadis yang terikat di sebuah kursi kecil (mirip kursi sekolahku) dengan sebuah bola pejal yang terpasang di kaki sebelah kirinya. Aku melihat ke bagian wajahnya dan amat terkejutnya diriku, ketika melihat dua lubang itu, kontan ku membekap mulutku dengan tangan, melangkah ke belakang beberapa senti. Siapa dia? Apa yang terjadi dengannya?
Isak tangisnya semakin kencang, ketika ia menyadari seseorang mendekatinya, awalnya aku berpikir itu aku. Namun, aku kontan melihat orang dengan tubuh bak binaraga masuk ke ruangan ini. Pria itu membawa sebuah belati, ia mengacungkan belati itu ke udara sebelum akhirnya mendarat ke anak itu. Aku tergugu melihat serangkaian gambaran yang terjadi kala itu. Kemudian, sebuah suara seperti benda bertubrukan dengan lantai. Aku kontan mengerling, memandang benda yang jatuh itu mengabaikan suara desir air seperti semburan yang mengenai wajah, dan baju pria bertubuh kekar itu. jantungku seakan mencelos, sedang air mataku tak kuasa lagi kutampung. Aku menjerit sejadinya. “TIDAK!”
Beberapa minggu setelahnya … Setelah kejadian malam itu, aku tidak lagi mendengar tangisannya. Namun, aku tetap mencari di mana tempat itu berada. Saat aku menceritakan kepada teman-temanku, respons yang paling sering kudapati adalah: itu cuman mimpi, aku hanya berhalusianasi, aku pendongeng hebat, dan lainnya.
Untungnya, ada Reno yang bersedia membantuku. Hampir satu minggu aku dan Reno mencari hal yang mustahil ini, aku menemukan di hari keenam, hampir mendekati hari ketujuh. Keesokan harinya, mumpung hari libur aku mengajaknya untuk melihat tempat itu. Tanpa basa-basi, tanpa syarat dia langsung memenuhi permintaanku.
Ketika sampai di tempat yang kita cari. Tempat itu ternyata adalah bekas gudang penyimpanan, entah apa, tapi sepertinya penyulingan minyak. Dari luar terlihat masih kokoh. Aku dan Reno masuk ke dalamnya. Benar saja, tempat ini persis seperti yang ada dalam mimpiku. Aku mengarahkan Reno pada tempat yang kumaksud. Sesekali Reno bertanya padaku karena penasaran, sesekali juga Reno menyapu pandangan untuk memberi rasa aman padaku. Melindungiku.
Aku dan Reno sampai pada ruangan tempat anak tanpa bola mata itu terpenggal. Bangku itu ternyata sudah lapuk. “Apa selanjutnya?” tanya Reno padaku. Aku pun tak tahu harus berbuat apa, hingga aku secara tak sadar terduduk di kursi itu. Kemudian sesuatu keanehan terjadi, gambaran mimpiku kembali berputar seperti rekaman yang aku terjebak di dalamnya. Lebih cepat. Aku menjerit, meronta sebelum akhirnya sebuah tangan menggamit lenganku. Seorang gadis dengan gaun putih, rambutnya yang hitam bak jelaga, sedikit bergelombang, panjang tergerai. Ia tersenyum kepadaku. Ia memberiku sebuah kalung miliknya. Ia membisikiku. Kemudian, secara perlahan ia menjadi asap yang mengudara sebelum akhirnya hilang.
Lagi, getaran yang sama kala aku masuk terulang kembali hingga akhirnya sebuah tangan yang mencengkeram kedua pundakku, menyadarkanku. “Marini.” “Reno.” Kontan aku melingkarkan lenganku ke punggung Reno. Bibirku gemetar, Reno tak mengelak, ia tahu kondisiku dan mengelus bahuku, menepuknya lembut untuk menenangkanku.
Setelah kejadian itu aku dan Reno menghabiskan waktu beberapa bulan untuk mencari alamat orangtua si anak itu. Sesampainya di kediaman orangtua gadis itu, aku mengembalikan kalung dengan liontin itu dan menceritakan pesan dari si gadis.
Tubuh wanita paruh baya yang berdiri di depanku itu luruh, ia berlulut sambil menggenggam kalung dan melekatkannya di dadanya, wajahnya mengerut, sejadinya ia terisak dan menangis. Reno mendekat padaku dan menepuk, mengelus lenganku.
Cerpen Karangan: Ana