Sore harinya, cahaya matahari pulang lebih awal dari biasanya. Sebab gaun kelabu yang bergulung-gulung menutupi tubuh langit yang masih perawan. Burung-burung juga kembali ke sarangnya masing-masing. Mereka memastikan tidak ada satupun anggotanya yang terperangkap oleh hujan yang hendak turun. Bibir angin meniup awan-awan dan mendung menjadi satu sehingga gaun langit bertambah pekat dan berat. Lalu gaun itu berputar-putar seperti puting beliung. Dan saat itu petir dan gemuruh saling bersahut-sahutan. Katak di lumbang bernyanyi riang memanggil hujan. Kilat saling sambar-menyambar seperti cambuk listrik yang dipukulkan ke punggung alam. Langit seketika memerah seperti terbelah. Setelah itu gerimis pun turun dari gerombolan mendung dengan perlahan tapi pasti kemudian menjelma menjadi hujan. Bumi, pepohonan dan kehidupan pun basah. Kalau di musim penghujan begini emak dan ibuku sibuk memasang ember-ember di lantai untuk menampung genting rumah kami yang berlubang. Tapi sejak dipasang lembaran-lembaran karet di genting, bocornya tidak terlalu parah. Bahkan dulu pernah lantai rumahku yang sebagian berupa tanah kebanjiran macam lambung kapal karam. Karena saat itu hujan turun dengan deras dan lama, hampir lima jam. Sedangkan saluran air tersumbat. Tidak hanya saja, listrik juga sempat padam sehingga kampung kami berubah menjadi kampung kegelapan.
“Mad, yuk mandi hujan!,” ajak Fauzan dan Arif yang saat itu sudah basah dengan air hujan seperti orang yang tidak pernah mandi selama bertahun-tahun.
Aku pun keluar dari rumah dan bergabung dengan anak-anak yang lain. Kami mandi air hujan di jalan kampung. Namun hujan yang sedari tadi turun dalam curah kecil pun berubah menjadi deras. Mendung semakin tebal dan tampak seperti kain wol yang terbuat dari bulu serigala. Kami pun mandi sambil berlari ke arah kota. Kadang kami berjalan dengan melewati rumah-rumah dan pekarangan penduduk. Jika ada yang melihat mangga manalagi atau arum manis yang matang di pohonnya mereka langsung melemparkan batu dan mangga pun jatuh. Lalu anak yang menyolong buah mangga tadi membaginya ke anak-anak yang lain. Mereka menggigit dagingnya yang legit seperti seekor codot. Tapi entah kenapa aku tidak tertarik untuk menikmati mangga manalagi hasil colongan, dan aku menolaknya dengan halus.
Saat itu kami melewati sepanjang sungai besar yang memisahkan dua kampung. Air sungai banjir dan mengambang-ngambang. Lalu kami mencari buah kapuk yang sudah tua dan sudah kering untuk diambil kulitnya saja. Biasanya di bawah pohon kapuk, buah kapuk akan berserakan seperti bangkai-bangkai manusia tak berguna. Aku dapat buah kapuk yang sudah kering lalu kubelah menjadi dua. Kemudian aku mencari bilah pohon bambu kecil dan ketemu. Aku tancapkan dua bilah pohon bambu kecil pada kulit kapuk dan kulengkapi dengan dua lembar daun pohon mangga. Jadilah kulit buah kapuk itu sebuah sampan nelayan di zaman penjajahan dulu. Ada juga yang menemukan kulit batok kelapa dan dijadikan perahu. Kami pun berlomba sampan tradisional di sungai yang banjir. Tampak perahu kapukku melaju dengan kencang dengan mengikuti arus sungai.
Perahuku melaju dengan kencang hingga sampailah aku di sebuah rimbun pohon bambu besar yang berdiri di belokan sungai yang menikung tajam. Aku pernah mendengar sebuah cerita dari emak kalau usia pohon bambu besar sudah puluhan tahun. Bahkan ketika Jepang masih menjajah kota kecil kami, pohon bambu besar itu sudah ada. Bahkan sampai masa-masa PKI mengadakan pemberontakan dan membunuh orang-orang beragama, pohon bambu itu menjadi saksi bisu pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang biadab itu. Ketika ibuku sudah besar dan pergi buang air ke sungai bersama emak, dari pohon bambu itu muncul sesosok anak kecil berambut merah, mata merah, dan tubuh juga ditumbuhi bulu lebat berwarna merah. Kata emak sosok mirip anak kecil itu baru saja keluar dari kakus dan langsung berjalan menuju ke arah pohon bambu raksasa itu lalu hilang. Tapi aku sama sekali tidak merasa takut kepada pohon bambu raksasa yang dianggap angker oleh penduduk itu. Lalu saat aku mendekati pohon tersebut, aku melihat sesajen berupa nasi bubur empat warna yang kelak kuketahui bahwa warna itu sangat penting dan berkaitan dengan asal-usul kejadan manusia, kue kering, bunga tujuh rupa dan kemenyan yang merayap naik ke atas bersama angin. Setelah itu aku melihat kue kering getas yang terbungkus plastik dan mengambilnya.
“Mad, jangan diambil!,” teriak Fauzan memperingatkan aku agar tidak mengambil kue itu. “Kenapa?,” aku bertanya. “Itu makanan buat roh penunggu pohon bambu angker itu. Nanti kamu kena kualat!” “Ah, tidak apa-apa. Mana ada roh bisa makan,” aku tidak percaya kalau ada roh yang bisa menelan dan mengunyah makanan. Aku tetap mengambilnya dan memakannya.
Setelah puas bermain perahu di sungai kami masih bermain hujan dengan lari ke pusat kota. Kami melewati Pasar Niaga yang sudah dibangun sejak kota ini dulunya bernama Banger. Dulunya, pasar itu berbentuk kotak seperti kolam yang dalam dan di tengahnya terdapat anak tangga yang menurun ke bawah. Tapi sejak Belanda berkuasa di Indonesia termasuk di kota kami, kolam berbentuk persegi yang dijadikan pasar itu ditimbun dan diratakan dengan tanah sekitarnya lalu di atasnya dibangun sebuah pasar. Aku tidak begitu mengetahui sejarah pasar tersebut secara detil karena aku tidak pernah bertanya soal asal-usulnya dari emak yang memang sudah lahir ketika Belanda datang. Tapi yang jelas di sekitar pasar dulunya pernah menjadi tempat mangkal mobil-mobil jip tua milik bangsa penjajah atau tuan tanah yang parkir serta dokar-dokar sapi maupun kuda untuk mengangkut barang maupun pedagang pasar. Dan di sepanjang jalan ini dulu pernah ditumbuhi pohon asem raksasa yang buahnya berjatuhan ke tanah. Ah pasti zaman dulu sangat menarik sekaligus mengerikan karena dimana-mana hanya ada prajurit Belanda yang selalu siaga dengan popor senjata apinya. Di jalan ini aku yakin dulunya banyak mayat-mayat manusia yang menjadi korban kebiadaban Belanda yang tidak suka kepada para pahlawan yang dianggap sebagai pemberontak.
“Jang,” aku memanggil Fauzan yang biasa dipanggil dengan nama Ujang. “kamu bilang tadi kalau aku akan kena kualat kalau makan kue sesajen yang dipersembahkan untuk roh penunggu pohon bambu angker itu? Lalu lebih kualat mana di antara memakan kue sesajen milik setan dengan memakan buah mangga hasil colongan yang sudah jelas bukan milik kita?” Fauzan diam. “Mencuri milik orang lain kan adalah suatu perbuatan dosa karena melanggar hukum agama? Sementara memakan kue sesajen tidak ada larangannya? Justru yang membuat sesajen itulah yang berdosa karena memberikan makanan buat setan?”
Aku sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran yang berada di dalam otak teman-temanku ini. Meski mereka ngaji di musallanya Kyai Sa’i tapi mereka masih suka nyolong mangga dan anggur milik tetangga. Misalkan seperti salah seorang temanku yang bernama Edi. Bocah gemuk dan gagah mirip tentara itu sejak kecilnya memang sudah nakal. Pernah temanku juga yang bernama Ruli bermain gulat-gulatan dengan Edi dijatuhkan ke kolam air comberan sampai anaknya nangis-nangis dan ibunya mengira kalau akulah yang menceburkan Ruli ke kolam comberan. Tapi ibuku yang menjadi saksi mata satu-satunya membelaku kalau Edilah yang menceburkan Ruli. Bawaan sifat nakalnya itu terus bersarang sampai dia besar. Pernah suatu kali dia bermain Play Station, ia mencuri memori PS saat pemilik sewaan PS lengah lalu disimpannya di saku celananya. Padahal Edi adalah salah satu santri Kyai Sa’i yang lancar bacaan Al-Qurannya. Apakah dia tidak tahu kalau nyolong milik orang lain tanpa izin bukan perbuatan dosa?. Bukan itu saja, pernah suatu kali saat dia bermain di rumah mbak sepupuku. Suami dari mbak sepupuku itu berjualan bakso. Saat orangnya sedang mempersiapkan kuah baksonya di dapur, Edi celingak-celinguk mirip maling lalu mengembat uang dari dalam laci rombong bakso dan pergi. Lantas lebih dosa mana antara nyolong dan memakan makanan sesajen?.
Pulang dari basah-basahan mandi air hujan kami melintasi sebuah gang yang sepi dekat dengan perkampungan warga dan Plaza Probolinggo. Lantas di ujung gang aku melihat seorang kakek-kakek tua sedang berteduh di sebuah pos ronda yang merangkap sebagai gudang alat-alat kematian. Kakek-kakek tua itu sedang duduk-duduk seraya menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung bekas yang sudah bertambal. Aku sangat kasihan sekali pada kakek-kakek tua itu. Di sebelahnya bertumpuk bungkusan plastik berupa makanan yang dikasih oleh setiap orang yang lewat. Namun anehnya kakek tua itu tidak kotor dan tidak bau. Meski baju yang menempel di tubuhnya sudah kusam dan bertambal. Lalu kakek tua itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku dan memanggilku. Lantas aku datang menghampirinya.
“Maaf. Ada kakek memanggilku?,” aku bertanya dengan penuh penasaran padahal kami belum saling kenal. “Nak, apakah kamu tadi memakan buah mangga hasil colongan temanmu itu?,” kakek tua itu balik bertanya sambil menunjuk ke arah Erik yang tadi melempar mangga milik tetangga. Aku bertanya kenapa kakek tua ini tahu kalau Erik yang menyolong mangga. “Kok kakek tahu kalau temanku itu yang nyolong buah mangga?,” aku kembali bertanya dan kakek itu menjawabnya dengan sebuah senyuman penuh arti. “Apakah tadi kamu ikut memakannya?” Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Kek. Aku sama sekali tidak memakannya. Karena makanan yang berasal dari hasil colongan dapat mengotori jiwaku” Kakek tua itu tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulutku.
“Oh iya, Kek. Saya tadi memakan makanan sesajen yang katanya untuk roh penunggu pohon bambu. Apakah saya akan kena kualat?” “Mana ada roh makan sesajen? Semua roh itu berzikir kepada Tuhan bukan makan, Nak”
Hatiku menjadi lega dengan jawaban yang keluar dari mulut kakek tua itu. Aku tidak jadi kena kualat sama setan karena makanan mereka telah aku makan. Lalu kakek tua itu menjulurkan tangan kanannya dan mengusap-ngusap keningku dengan lembut. “Nanti kamu akan menjadi orang yang akan meluruskan teman-temanmu ini,” ujar kakek tua itu dengan lembut. Aku mengernyitkan dahi, tidak paham apa yang dikatakan oleh kakek tua tersebut. “tapi jalan hidupmu akan berkelok dan penuh dengan ujian.”
Lalu kakek tua itu menawariku kue pisang goreng yang masih hangat dan menyodorkannya di hadapanku. Dia memintaku untuk mengambilnya namun aku menolaknya dengan halus karena aku merasa iba dengan nasib hidupnya yang malang. Setelah itu aku pamit undur diri dari kakek tua yang membawa tongkat itu, dengan membawa pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa memecahkan jawabannya. Aku bertanya-tanya siapakah sosok kakek tua itu. Dan keesokan harinya saat aku lewat di gang itu, aku sudah tidak bertemu dengannya lagi.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengguyur ubun-ubunku dengan air hangat supaya malam harinya aku tidak demam dan sakit. Setelah mandi aku makan bakso yang dibelikan oleh emak. Sambil makan dengan duduk-duduk di atas balai-balai bambu aku menanyakan soal kakek-kakek tua yang aku temui kepada emak. Aku berharap emak bisa memberiku jawaban yang dapat meringankan rasa penasaranku akan kakek tua pembawa tongkat misterius tersebut.
“Mak, tadi aku gang dekat Plaza Probolinggo bertemu dengan seorang kakek-kakek tua yang membawa tongkat. Dia duduk-duduk di bawah pos ronda. Pakaiannya seperti gembel. Tapi anehnya meski dia tidak mandi selama berhari-hari, tubuhnya sama sekali tidak bau dan kotor. Apakah emak tahu siapakah kakek tua itu?,” tanyaku pada emak. “Emak juga tidak tahu siapa kakek-kakek tua itu. Tapi emak juga pernah bertemu dengannya di dekat makam lalu setelah dia mengangguk pada emak, dia menghilang,” sahut emak. “Apakah mbah buyut juga pernah bertemu dengan kakek tua itu?,” aku menyelidik. “Mbah buyutmu juga pernah bertemu dengan kakek tua itu saat emak dan Emak Jamunanya masih kanak-kanak. Saat itu kami bertiga hendak berangkat ke pasar untuk berdagang beras ketan. Lalu kakek tua itu mengusap kening emak dan Emak Jamunanya dengan lembut sambil mengatakan, “kelak kalian berdua akan melahirkan seorang anak yang akan meluruskan umat ini. Mereka akan lahir ketika manusia sudah bosan dengan dalil-dalil. Sebab kelak manusia akan disibukkan oleh dongeng-dongeng yang ditulis oleh orang-orang yang menuhankan dirinya.” Emak sama sekali tidak tahu siapa kakek tua itu. Oh iya, apakah kamu pernah memerhatikan telapak tangannya?” “Telapak tangannya begitu lembut dan bersih” “Kelak kamu akan menemukan jawabannya sendiri dan mengetahui siapa sebenarnya kakek tua pembawa tongkat itu.”
Otakku benar-benar digerogoti oleh jawaban yang berputar-putar macam gasing tentang siapa sejatinya kakek tua itu. Apakah dia orang sakti? Apakah dia seorang malaikat? Apakah dia seorang nabi? Atau apakah dia seorang resi yang turun dari surga?. Tidak ada jawaban yang pasti.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky