Namaku Amadea. Umurku 15. Aku punya ayah dan ibu menyenangkan, tapi sekarang mereka jarang berbicara bersama. Teman temanku banyak, hingga satu waktu aku mendengar mereka membicarakan hal burukku di belakangku.
Suatu petang, aku sedang memeluk lututku, menangis. Aku sedih, mendengar umpatan dan teriakan di luar kamarku. Itu ayah dan ibu, sedang bertengkar. Tiba-tiba di sebelahku, jendela diketuk. Seorang gadis sebaya melambai ke arahku. Aku tersentak, kaget.
Dia berisyarat untuk membukakan jendela untuknya. Awalnya aku tak mau, karena takut, tapi akhirnya aku mengijinkan dia masuk. Rambut dia terurai, hitam. Matanya coklat, dengan wajah tirus. Gadis yang mengenakan kaus pink dan celana biru muda itu menyerahkan tangannya, mengajak berkenalan. Aku ikut menggapai tangannya.
“Namaku Selena, aku gadis remaja sepertimu.” dia memulai percakapan. Aku mengangguk, menyebutkan namaku.
Sejak itu, kami mulai main bersama. Tanpa diketahui siapapun. Aku bermain peran, menonton film hingga membaca buku bersama.
Sebenarnya aku bingung, darimana ia berasal, tapi Selena bilang dia berasal dari dekat sini. Kita berkawan baik, namun kita punya rahasia yang harus dijaga. Selena bilang aku tidak boleh cerita atau mengenalkan dia ke siapapun, termasuk orangtuaku. Aku setuju, tidak keberatan.
Suatu siang, ibu mengetuk pintu kamar, memanggil. Aku sedang bermain peran. “Amadea, buka pintunya. Kamu sedang berbicara dengan siapa?” suara ibu terdengar, membuatku terjaga. Aku panik, melihat Selena, bertanya apa yang harus kita lakukan.
Selena memegang dagunya, berpikir. Lantas ia berkata “Aku akan bersembunyi, kamu buka pintunya dan pura pura kamu hanya berlatih akting.” Baiklah, aku mengangguk setuju.
Ia bergegas masuk ke bawah tempat tidur. Aku membuka pintu dan aku berkata “Tidak ada siapa siapa bu, aku hanya berlatih akting untuk acara audisi sekolah nanti.” Ibu menatapku bingung. Ia mengintip ke dalam kamar, penasaran. Aku refleks menghalangi. Ibu tambah penasaran, memaksa masuk ke dalam. Aku hanya bisa pasrah.
Ibu memeriksa segala penjuru kamar, memastikan tidak ada yang terlewat. Sesaat ibu akan memeriksa ke bawah kasur, aku langsung melarangnya. Aku beralasan bahwa di bawah berantakan, belum dirapihkan. Tapi ibu tidak menghiraukan, tetap memeriksa. Aku panik, badanku mematung, leherku berkeringat dingin.
Ibu kembali berdiri, wajahnya biasa saja. Aku masih mematung, tegang. “Kenapa kamu tegang sekali sih? Ibu hanya memeriksa sebentar. Oh ya, jangan lupa rapihkan bagian bawah kasurmu. Ibu jijik lihatnya.” ibu menegurku lantas berjalan keluar kamar.
Aku seketika diam, bingung. Kok ibu tidak lihat Selena? Padahal dia tepat ada di bawah kasur. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, lalu memanggil Selena untuk keluar. Aku bertanya padanya. Dia hanya menggeleng tidak tahu. Aku tambah bingung.
Selena membuatku kembali sadar, agar melupakannya saja. Aku pun mengangguk. Selena mengajakku kembali bermain. Sejak itu, meski ibu ke kamar, aku tidak panik lagi.
Cerpen Karangan: Billy Dwi Nugroho Blog / Facebook: Billy Dwi Nugroho