Malam yang semakin larut diikuti dengan angin yang berhembus lewat celah lubang berukuran 30 X 30 cm tepat diatas jendela berkaca bening yang memiliki ukuran 2 kali lipat celah lubang. Hujan rintik-rintik yang sejak dari sore tanpa henti masih meneteskan airnya. Suara ranting pohon yang saling bergesekan seakan membuat sebuah irama dan daun yang melambai-lambai menambah kesan malam itu semakin menyeramkan. Aku yang tiduran berselimutkan selimut tebal memeluk kucing abu-abu yang tertidur melingkar. Adanya kucing itu membuatku berani sendirian meskipun suara ranting itu menyeramkan. Kucoba memejamkan mataku dan terlelap tidur.
Prankk… Suara itu membangunkanku pada tengah malam. Aku terkejut dan tak menampik suara itu. Aku bangun untuk duduk dan kuputuskan membuka HP ku. Kulihat layarku yang belum sempat kupencet tombol on. Saat itu kulihat bayangan hitam di belakangku. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, tidak ada apa-apa. Mungkin hanya halusinasiku saja. Aku pencet tombolnya dan layar HP ku menyala, ada pesan dari Mama. Kubuka pesan itu tertulis ‘Betharia, Mama pulang ya’. Pesan itu dikirim oleh mama pada pukul 00.13. Sebuah pesan singkat itu seakan mengisyaratkan sesuatu.
Aku yang masih menatap layar itu, tiba-tiba kucingku mengeong dengan keras diikuti ekornya yang berdiri. Aku yang terkejut hanya mengelus makhluk imut ini. Mino sebutan kucing abu-abuku. Mino mengeong lagi dengan keras sambil wajahnya menatap ke atas. Aku mencoba menengok ke arah Mino melihat. Pada jendela kecil ukuran 30 X 30 cm di pojok atas, sesosok wajah berkulit putih pucat bermata kosong dan hitam serta senyum menyeringai memandangku tajam. Bagaimana mungkin manusia bisa ke atas jika tanpa tangga? Itu hanya jendela kaca yang menempel di pojok atas. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku.
Srekk.. dug… srek… dug… Suara langkah kaki berat yang seakan diseret bersamaan dengan suara seperti bola basket yang dipantulkan. Aku terbangun dan bangkit untuk duduk. Suara itu seperti di depan kamarku. Aku hanya menatap pintu yang tak kukunci. Kutatap lekat pintu itu tak sedetik pun ku berpaling. Selang 10 menit suara itu menghilang, suasana kembali sunyi dan mencekam. Aku yang masih takut langsung mengambil Hp dan ku menelepon mama, namun mama tak mengangkatnya hingga panggilan yang ke-6 kalinya. Tuuttt… tuttt.. teleponku diangkat yang ke 7 kali ini.
“Halo Ma.” Ucapku Kudengar hanyalah keheningan. “Psstt… psstt… tolongg.. tolong aku Nak..” sebuah suara wanita yang berat merintih meminta tolong. Suara ini berasal dari telepon mama. Kumatikan hpku dan angin menghembus tengkuk leherku seakan ada yang meniupnya.
Ting-tong ting-tong ting-tong bel berbunyi 3 kali itu membuatku bergegas turun ke bawah menuju sumber suara. Kubuka pintu, mamaku berdiri di depan pintu dengan keadaan basah kuyup. Aku yang tanpa ragu mengajak mama masuk dan duduk di meja makan. Saat itu aku hanya menyalakan lampu kuning redup, yang menggantung di langit-langit atas meja, karena hanya ada kami berdua. Kuambil handuk kering di dekat kamar mandi bawah dan kulingkarkan ke tubuh mamaku. Aku berniat membuat teh hangat untuknya dengan menyalakan kompor untuk mendidihkan air. Tak selang berapa lama air itu matang dan kutuang ke cangkir berisi sejumput remahan teh. Aku membawa teh hangat tersebut ke mama. Mama hanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
“Ma, diminum ya tehnya. Mumpung masih hangat apalagi Mama basah kuyup begini.” Ucapku yang merasa kasihan melihat kondisi mama. Mama hanya diam, bibirnya yang berwarna putih pucat seakan diam membisu tak mau bicara. “Ma, Mama kenapa? Mama sehat kan?.” Ucapku yang ketakutan karena tiba-tiba saja bau anyir darah memenuhi ruangan ini. Aku yang takut hanya menundukkan kepalaku, sesaat kemudian ada hembusan nafas tepat di pipi sebelah kiriku. Aku yang masih menunduk mengangkat kepala dan ku menoleh ke arah kiriku tepatnya mamaku. Saat ku menoleh, wajah menyeramkan itu berada di depanku hanya berjarak 1 cm. Aku berteriak histeris yang ketakutan terjatuh, saat itu kuketahui bahwa itu bukan mamaku tapi sosok yang ada di jendela. Dia dengan tatapan kosong, matanya berwarna hitam, tidak! Dia tak memiliki mata hanya lubang kosong yang berwarna hitam, senyum menyeringai lebar dari ujung telinga kiri dan kanannya disertai tanpa gigi. Pada lehernya terdapat sayatan melingkar di leher, darah mengalir dari bekas sayatan itu, darah itu berwarna hitam dan mengalir tanpa henti. Bau anyir darah berasal dari matanya yang kosong. Aku berjongkok sambil memeluk lututku. Aku takut hatiku hanya berkata “Mama dimana Ma, aku takut Ma”. Sosok itu mengikutiku terus. “Aku salah apa Ma? Apa aku salah membawa kalung liontinnya. Kan dia yang kasih Ma” Ucapku dengan bohong.
Hpku berdering dengan keras. Panggilan itu berasal dari nomor asing, aku yang teringat hal tadi seakan ragu mengangkatnya. Ku memilih mengangkat telepon asing itu. Deg… deg… deg… Suara itu hilang seketika. Ternyata mamaku ditemukan tewas di tempat dengan keadaan bisa dibilang tidak utuh, menurut saksi dia meninggal kecelakaan saat mencoba menghindar truk di depan yang mengerem secara mendadak. Aku yang terkulai lemas pun pingsan saat itu juga.
Aku bangun dan sekitarku hanyalah kobaran api. Aku yang kalut mencoba keluar rumah dan meminta tolong dan ternyata rumahku saat itu terbakar. Aku hanya menangis sendu mengingat kenangan yang ada di dalamnya. Kenangan indah bersama mama. Papa? Papa itu siapa?. Aku yang sedari kecil hanya ada mama yang selalu menghiburku dan merawatku hingga sekarang.
“Hai Nak” suara laki-laki dewasa. Kucoba mencari, ternyata dia di belakangku sekitar 5 meter. Aku hanya terdiam dan tertegun. Lelaki itu menggunakan jubah hitam dan tudung kepala yang berwarna serasi yang nampaknya itu satu kesatuan. Hingga tangan, kaki dan wajahnya pun tak nampak. Hanya hitam seperti angin yang mengenakan jubah itu. Di kanan tangannya terdapat sebuah tongkat panjang seperti tombak yang ujungnya terdapat pedang bengkok tajam dan berukuran besar. Dia seperti tak memegangnya seakan-akan tongkat itu berjalan mengikuti kemanapun langkahnya. Saat laki-laki itu melangkah tepat di belakangnya terdapat gumpalan awan hitam yang mengikutinya. Gumpalan awan hitam itulah yang membuatku tak bisa melihat wajahnya seakan-akan awan hitam itu menutupi identitasnya. Hembusan angin kencang tak menggoyangkan keadaan di sekitar, semua terlihat baik-baik saja meskipun angin itu berhembus kencang.
“Hai Betharia, ayo ikuti saja aku. Aku akan membawamu ke suatu tempat. Dan pastinya kamu pasti akan senang disana”. Ucap pria itu.
Seketika Ia mengulurkan tangan kirinya. Aku yang seperti tertarik oleh magnet hanya menganggukkan kepala dan menggapai tangan itu. Seketika itu, aku yang sedang bersamanya melihat sebuah tubuh yang terpanggang dan memiliki ukuran tubuh sama denganku. Aku melihat Moni dan dia mengikutiku dengan pria itu. Pandanganku tiba-tiba kabur seperti ada dinding gelap yang tak bisa kulihat. Aku hanya ingin tahu siapa itu? Apakah orang dengan suara kaki yang diseret itu atau hantu itu?. Semua pertanyaan memenuhi kepalaku. Saat aku menoleh menghadap pria itu, kulihat ruangan itu berwarna putih dan sunyi, sangat sunyi namun tenang dan damai. Saat itu kusadari kalau aku sudah MATI.
Cerpen Karangan: Ajeng