Evha berjalan sendiri di sebuah jalan bertanah liat yang becek. Pemandangan di depannya begitu hijau, kabut samar tidak berhasil menutupi indahnya pemandangan tersebut. Di kanan Evha terdapat tebing yang terlihat tampak curam, sedangkan di kirinya terlihat lembah landai yang ditanami hamparan pohon singkong. Tidak percaya Evha ketika menyadari tempat yang begitu indah ini hanya kurang dari dua jam perjalanan dari bisingnya ibukota.
Tiba-tiba Evha merasa kepalanya di bagian belakang begitu sakit, seperti terhantam batu. Sambil mencoba menengok ke belakang, seketika ia tersungkur. Seorang pria mengenakan masker leher, yang menutupi seluruh wajah kecuali matanya, terlihat mengangkat batu besar dengan kedua tangannya. Rupanya kepala bagian belakang Evha benar-benar dihantam batu besar oleh pria itu.
Seketika pria itu kembali mengayunkan tangannya. Sekilas, Evha melihat tattoo yang tidak asing di tangan kanan pria itu. Masker yang dikenakan pria itu tidak mampu lagi menutupi identitasnya buat Evha. Evha kenal pria itu. Tiba-tiba rasa sakit di kepala Evha menghilang, matanya terasa begitu berat.
Hari itu sabtu, 2 Juni 2018, di antara pepohonan singkong, Evha kehilangan kesadarannya.
Hari ini, Rabu 15 Juni 2018 “Izin bang, orangnya sudah datang” kata seorang pria berpakaian dinas kepolisian kepada Sigit, senior yang kini atasannya. Sigit bangkit dari tempat duduknya, sambil mengambil berkas tebal yang dikumpulkan dalam sebuah binder. Tertulis nama “Evha Permata” di binder tersebut.
Sejenak ia melihat tanggal di meja kerjanya, 15 Juni 2018. Sudah hampir dua minggu Sigit menangani kasus pembunuhan pertamanya ini, hitungnya. Kasus dengan empat tersangka utama ini benar-benar menguras tenaga dan pikirannya.
Bagaimana aku bisa membiasakan diri mengurus kasus-kasus pembunuhan seperti ini, pikirnya. Berhari-hari ia sudah mewancarai para tersangka itu, kini ia yakin siapa pelaku sebenarnya. Dengan langkah mantap, sambil membawa binder tersebut.
9 Hari yang lalu, Rabu 6 Juni 2018 Di sebuah ruangan di kantor kepolisian yang terletak di sekitar Kota Bogor, seorang pria berumur sekitar 40-an akhir, mengenakan jaket tipis, duduk sendiri. Terlihat ia menggosok-gosokan dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya ke kedua paha kakinya. Ruangan itu begitu dingin dengan AC yang berhembus keras dari sisi kanan ruangan, tetapi wajah tirus pria itu terlihat begitu berkeringat dan pucat.
Tiba-tiba pintu ruangan tersebut terbuka, nampak jelas pria itu terkejut, Sigit memasuki ruangan tersebut sambil menyapa si pria. “Pak Mamat, kumaha, damang?” sapa Sigit sambil duduk di depan Mamat yang hanya mengangguk tanpa berkata-kata. “Gak usah takut, sok, diminum airnya Pak Mamat” kata Sigit mencoba menenangkan Mamat yang terlihat pucat di depannya.
Setelah meminum air di depannya, Mamat terlihat agak tenang. “Pak Mamat teh, tinggal di mana?” tanya Sigit. “Di Cisadon ndan” jawab Mamat singkat. “Kerjanya apa?” tanya Sigit kembali. “Saya teh, buka warung kecil-kecilan di deket jalur trek hiking” jawab Mamat. “Itu aja? Kan jalur trek sepi kalo bukan sabtu-minggu” selidik Sigit. “Ada kebon singkong kecil ndan, buat tambah-tambah” jawab Mamat ragu.
Sigit terlihat, hanya sekilas, tersenyum mendengar jawaban Mamat. Ia mengambil 3 buah foto dari dalam binder dan menaruh foto-foto tersebut di depan Mamat, terbalik, sehingga Mamat tidak bisa melihat foto tersebut. “Pak Mamat tahu ini foto siapa?” tanya Sigit sambil membalik salah satu foto dan menunjukannya kepada Mamat. Seorang jenazah wanita dengan pakaian hiking lengkap berposisi terlungkup di semak belukar di samping jalanan berbatu terlihat di foto itu. “Itu teh, jenazah yang ditemuin seminggu lalu, jauh dari warung saya itu ndan” kata Mamat. “iya jauh dari warung Pak Mamat, kalo dari kebon singkongnya Pak Mamat?” tanya Sigit. “Jauh juga ndan, ada kali sekiloan” jawab Mamat. Sigit pun mengangguk mendengar jawaban Mamat.
“Kemaren polisi datengin rumah Pak Mamat?” tanya Sigit. “Iya ndan, ngagledah warung saya, makanya saya teh takut banget dipanggil ke kantor polisi, saya mah cuma rakyat kecil ndan, gak tau apa-apa” jawab Mamat, dengan logat sunda yang kental. “Bapak tahu apa yang ditemuin polisi di warung bapak?” tanya Sigit, sambil membalik foto kedua di depan Mamat.
Di foto itu terlihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk huruf E. Mamat terlihat pucat melihat foto tersebut. “Bapak tahu, ini kalungnya siapa?” tanya Sigit. Mamat diam saja tak menjawab. “Si Ninis masih sering telpon pak Mamat dari Saudi?” Tanya Sigit menanyakan Anissa, anak perempuan Mamat yang saat ini bekerja sebagai TKI di Arab Saudi. “Masih, ndan” jawab Mamat sangat lirih. Sambil mengangguk, Sigit membuka foto ketiga. Seorang wanita mengenakan kalung dengan liontin berinisial huruf E, diapit kedua orangtuanya terlihat di foto tersebut. “Kalung itu punyanya Evha, yang jenazahnya ditemukan di Cisadon. Kenapa kalung Evha bisa ada di warung punya pak Mamat?” tanya Sigit yang kini sangat terdengar tegas. “Saya khilaf ndan” kata Mamat sambil tiba-tiba menangis keras.
8 Hari yang lalu, Kamis 7 Juni 2018 Di hari yang berbeda tetapi masih di ruangan yang sama, seorang pria berjas rapi tanpa dasi, duduk santai sambil menumpangkan kaki kanan ke kaki kirinya. Wajahnya terlihat begitu familiar. Bila seseorang sering melewati jalan-jalan di Kota Bogor, wajah pria ini sangatlah tidak asing. Nampaknya salah satu partai banyak berinvestasi pada pria tersebut di masa Pilkada ini, dengan banyak memasang balihonya di setiap penjuru kota.
Sigit membuka pintu ruangan tersebut. Pria berjas tersebut terkejut, tapi terlihat sangat berusaha menutupi keterkejutannya. Sambil membawa binder besarnya, Sigit duduk di hadapan si pria. “Pagi Pak Beni, terima kasih sudah datang” sapa Sigit “Iya, selama ini saya sangat berusaha untuk kooperatif dengan kepolisian. Tapi masalah ini benar-benar mengganggu kampanye saya. Belum kalau nanti media tahu saya bolak-balik kantor polisi” jawab Beni mengeluh panjang. Sigit diam saja mendengar jawaban Beni. “Begini saja, ini adalah kali terakhir kali saya ke kantor polisi mengenai masalah Evha Permata. Jika pihak kepolisian ingin bertanya lebih lanjut, silahkan temui saya. Dan lagi, saya sudah sampaikan semua yang saya tahu tentang Evha Permata. Dia hanya mantan karyawan perusahaan travel dan umroh milik saya, dan berhenti 8 bulan lalu, atas kemauan Evha sendiri, katanya mau lanjut kuliah, jadi bukan saya pecat” kata Beni panjang lebar. Sigit terlihat diam saja, tidak mengindahkan penjelasan panjang lebar Beni.
“Kapan terakhir kali Pak Beni bertemu dengan Evha” tanya Sigit, sambil mengeluarkan tiga buah foto dari binder yang kemudian ia taruh di depan Beni secara terbalik. Sebelum Beni menjawab, Sigit sudah menanyakan pertanyaan lain, “Pak Beni tahu di mana Evha tinggal?” “Evha tinggal di Bekasi, di dekat kampus swasta tempat ia kuliah, kost kecil sederhana tanpa AC dengan kamar mandi di luar. Tetapi ia punya tempat tinggal lain” jawab Sigit menjawab pertanyaannya sendiri. Sambil membuka foto pertama di depan Beni, Sigit mengatakan “Itu adalah tempat tinggal kedua Evha. Kost mewah di Jakarta Pusat”.
Beni tidak lagi duduk santai seperti sebelumnya, kini ia duduk rapi, bagai seorang murid yang sedang dihukum gurunya. “Seorang perempuan kuliah S2 di kampus swasta, tanpa biaya dari orangtua, tanpa bekerja dan tinggal di dua kost yang berbeda”. Kata Sigit, Beni hanya diam mendengar penjelasan Sigit. “Banyak yang kami temukan di Kost mewah itu. Salah satunya ini” Sigit membuka foto kedua. “nomor dari Hp ini tidak teregistrasi atas nama Evha, tapi atas nama Ujang, OB yang bekerja di kantor Pak Beni” lanjut Sigit sambil menunjukan foto Hp model terbaru dari sebuah merek ternama. Kepala Beni tertunduk lemas melihat foto handphone tersebut. Ia sangat tahu apa yang ada di dalam handphone tersebut.
“Kami juga menemukan ini” kata Sigit melanjutkan, sambil membuka foto ketiga. Foto hasil USG terlihat di hadapan Beni. Seketika kedua tangan Beni memegang kepalanya yang menunduk, ia menangis. “Jadi, sekali lagi saya tanya, kapan Pak Beni terakhir kali bertemu dengan Evha?” tanya Sigit tegas.
9 Hari yang lalu, Rabu 6 Juni 2018 “Gimana Pak Mamat, kita ulang pertanyaan-pertanyaan tadi, tapi sekarang Pak Mamat harus jujur jawabnya” kata Sigit kepada Mamat. “bapak kenal Ini siapa?” tanya Sigit sambil menunjuk foto janazah Evha di pinggir jalanan berbatu. “Itu teh Evha, ndan” jawab Mamat singkat. “Pak Mamat kenal Evha sudah lama?” tanya Sigit. “Belum ndan, cuma kenal muka aja. Soalnya teh Evha udah beberapa kali hiking di jalur itu. Biasanya istirahatnya di tempat saya” jawab Pak Mamat. “Ada kali, 3-4 kali teh Evha ke warung saya” tambah Mamat.
“Kapan terakhir kali Pak Mamat lihat Evha” tanya Sigit. “Ya hari sabtu itu, ndan. Jadi saya sama istri teh mau ke pasar beli jajanan buat warung. Biasanya istri sendiri yang belanja, tapi karena pagi-pagi itu habis hujan deres, jalanan becek banget. Istri saya gak berani bawa motor pas becek-becek gitu, minta dianterin. Nah, pas siap-siap mau berangkat itu, teh Evha dateng ke warung buat beli Aqua. Abis itu, sekitar setengah jam, saya sama istri berangkat ke pasar”, terang Mamat panjang lebar.
“Habis itu gak ketemu lagi?” selidik Sigit Mamat tidak sempat menjawab pertanyaan Sigit, ia kembali menangis. “Demi Allah wa Rasulullah ndan, saya gak ada maksud jelek. Saya panik, takut juga. Saya nyesel banget abis itu, tapi gak tau harus gimana”, kata Mamat sesenggukan. “Yang penting, Pak Mamat jujur aja. Ceritain apa yang Pak Mamat tahu” Kata Sigit menenangkan Mamat.
Sambil menarik nafas panjang, Mamat berkata “sekitar 2 jam-an dari pasar, saya sama istri balik ke warung. Trus saya ke kebon singkong punya saya. Pas di kebon, saya ngeliat gundukan daun-daun. Di situ saya liat teh Evha. Kepalanya berdarah dan udah gak nafas” cerita Mamat. “Saya panik ngeliatnya. Pas itu saya bingung banget mau gimana, akhirnya saya balik ke warung” lanjut Mamat. Sigit mengernyitkan dahi mendengar penjelasan Mamat. “Kenapa gak langsung panggil polisi?” tanya Sigit. “Saya teh cuma rakyat kecil ndan. Saya takut urusan sama polisi” jawab Mamat. Giliran Sigit yang kali ini menghela nafas panjang. “Lanjutin Pak Mamat” pinta Sigit.
“Nah pas di warung, saya teh berharap ada orang lain yang nemuin jenazahnya teh Evha. Tapi kemudian saya inget, kalo jenazahnya gak di deket jalur trek hiking. Ada di tengah kebon singkong yang udah gede-gede. Jadi gak bakal keliatan” kata Mamat. “Pas udah sore, saya cek lagi, masih di situ jenazahnya. Trus sebelum malam, saya pindahin jenazahnya teh Evha pake gerobak punya saya, supaya agak jauh-an dari kebon saya dan supaya ada yang nemuin” terang Mamat. Terkejut Sigit mendengar cerita Mamat. “Gak ada yang ngeliat Pak Mamat mindahin jenazah?” tanya Sigit. “Gak ada ndan, hari itu hujan pas sore-sore, jadi gak ada orang yang lewat” jawab Mamat.
“Terus kenapa mindahin jenazahnya jauh banget? Sampe sekiloan? di pinggir jalan berbatu? Supaya bisa diliat orang?” tanya Sigit. “Supaya bisa diliat orang dan supaya jenazahnya gak di tempat becek ndan, kasihan, teh Evha mah orang baik, selalu bayar lebih kalo jajan. Saya nyesel banget abis mindahin jenazahnya teh Evha, tapi saya gak tahu harus gimana” kata Mamat kembali menangis
“Trus kenapa kalungnya Evha, ada di rumahnya Pak Mamat?” tanya Sigit sambil menunjuk foto kalung inisial E milik Evha. “Besok paginya, pas saya balik ke kebon, saya ngeliat kalung itu di kebon saya. Saya mau taruh di deket jenazahnya teh Evha, tapi orang kampung udah pada rame, nemuin jenazahnya teh Evha. Udah ada polisi di situ. Trus saya simpen, sapa tahu nanti ada yang nyari nanti” jawab Mamat. Setelah mendengar cerita panjang Mamat, Sigit hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala, kemudian mendongakan kepanya sambil memejamkan mata dan menghela nafas panjang.
7 Hari yang lalu, Jumat 8 Juni 2018 Satu hari setelah Sigit mewawancarai Beni, Sigit mewawancarai tersangka berikutnya. Seorang pria berkemeja muslim lengan panjang warna hitam, dengan potongan rambut, jenggot dan kumis yang rapi duduk di ruangan yang sama. Ia terlihat duduk dengan sikap yang santun dan tenang, terlihat kalung dengan inisial O melingkar di lehernya.
Sigit membuka pintu ruangan, membawa binder besarnya, duduk di hadapan pria tersebut. “Pertama-tama, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya, Evha Permata, Pak Taufik” kata Sigit. Taufik diam saja, hanya mengangguk pelan
“Sudah lama, pak Taufik mengenal Evha?” tanya Sidik sambil mengeluarkan 2 foto dari binder yang ia bawa dan meletakannya terbalik di depan Taufik. “Saya mengenal Evha sejak 5 tahun lalu, dan kami berpacaran sejak 3 tahun lalu” jawab Taufik sangat tenang. “Hampir 4 tahun” tambah Taufik. “Hampir 4 tahun?” tanya Sigit tertarik. Sambil menghela nafas panjang, Taufik menjelaskan “Evha tiba-tiba minta putus, kamis sore sekitar seminggu lalu”. “Kenapa Evha minta putus?” tanya Sigit sambil membuka foto pertama yang berisi isi percakapan chat antara Taufik dan Evha tanggal 31 Mei 2018, di mana Evha memang minta memutuskan hubungan mereka berdua, Taufik terlihat tidak membalas chat tersebut.
“Ya, hari itu Evha tiba-tiba chat saya untuk putus, saya langsung menelepon untuk menanyakan ada masalah apa. Evha tidak bilang banyak, ia hanya bilang minta maaf dan bilang akan mengirim kalung yang saya berikan kembali secepatnya” jelas Taufik “Kalung ini?” tanya Sigit sambil mengeluarkan foto kalung milik Evha dari bindernya. “Iya” jawab Taufik singkat. “Apa yang Pak Taufik rasakan ketika Evha tiba-tiba minta putus tanpa alasan jelas?” tanya Sigit. “Kalo boleh jujur, saya patah hati. Saya mengurung diri di kost saya di Solo sampai beberapa hari” jawab Taufik. “Tidak kepikiran untuk menemui Evha secara langsung? Selidik Sigit. “Iya, saya ingin langsung mengkonfrontir Evha sebenarnya, kenapa tiba-tiba ingin putus. Tapi setelah saya pikir, lebih baik saya kasih waktu Evha untuk berpikir lebih jernih. Mungkin dia lagi ada masalah di pekerjaannya atau masalah di kampus dan keputusan untuk memutuskan hubungan hanya karena imbas dari masalah itu” jawab Taufik Sambil menuliskan beberapa catatan di notebook kecilnya, Sigit mengangguk-angguk dan bertanya “Pak Taufik tahu Evha kerja dan tinggal di mana?”. “Iya, di perusahaan travel umroh. Evha tinggal di kost dekat kampusnya, di Bekasi” jawab Taufik.
Dari situ, Sigit menyadari bahwa Taufik kemungkinan tidak mengetahui banyak hal tentang kekasihnya, Evha. Ia tidak mengetahui Evha sudah berhenti kerja sekitar 8 bulan lalu, ia tidak mengetahui keberadaan kost mewah Evha di Jakarta dan keberadaan pria lain di hubungan mereka berdua. Pria ini bakal lebih patah hati bila tahu hal yang sebenarnya tentang Evha, pikir Sigit dalam hati.
“Kapan Pak Taufik berencana untuk bertemu dengan Evha?” tanya Sigit. “ “Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, sebenarnya. Saya pikir seminggu adalah waktu yang cukup buat Evha untuk menenangkan diri. Awalnya saya berencana untuk ketemu Evha besok” jawab Taufik sambil menundukan kepalanya. Sigit hanya menganggukan kepala, membalik foto di depannya berisi capture pemesanan tiket pesawat Solo-Jakarta atas nama Taufik tertanggal 9 Juni 2018.
“Dari ketiga foto ini, ada yang bapak kenal?” tanya Sigit sambil menunjukan foto Beni, Mamat dan satu pria lainnya yang terlihat berkaca mata. Taufik hanya menggeleng lemah. Sigit mengangguk mendengar jawaban Taufik sambil berkata “Saya turut berduka cita, Pak Taufik”.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono