6 Hari yang lalu, Sabtu 9 Juni 2018 Keesokan harinya, seorang pria berkacamata dengan memakai hoodie lengan panjang berwarna biru tua, berambut agak gondrong duduk di ruangan yang sama. Penampilannya begitu lusuh, mata yang sembab seperti ada lingkaran hitam yang menglilingi matanya.
“Pagi pak Rifky” Sapa Sigit sambil memasuki ruangan dengan membawa binder besarnya. “Pagi pak” Jawab Rifky sangat lirih. Sigit duduk di depan Rifky, dan mengeluarkan 4 foto yang diletakan terbalik di depan Rifky, seperti biasa. Sigit membalikan foto pertama, foto jenazah Evha tergeletak di samping jalan berbatu “Pak Rifky sudah lama kenal dengan Evha?” tanya Sigit sambil menunjuk foto tersebut. Sekilas melihat foto tersebut, kemudian Rifky memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. Sebelum ia menjawab pertanyaan Sigit, ia membalik lagi foto tersebut. Hati Rifky diliputi banyak penyesalan bila melihat foto itu.
“Saya kenal Evha sudah lama sekali pak, sejak kami berdua SMA” jawab Rifky. “Saya teman dekat Evha” Rifky menambahkan. Sigit hanya mengangguk mendengar jawaban Rifky. “Berarti Pak Rifky tahu banyak tentang Evha” tanya Sigit. “Iya Pak” jawab Rifky singkat
Kemudian Sigit membuka foto kedua, ketiga dan keempat di depannya secara berurutan. Rifky mengangguk, ia mengetahui ketiga pria yang terlihat dalam foto tersebut. “Ini Taufik, pacarnya Evha. Ia berkerja di salah satu perusahaan percetakan di Solo pak” kata Rifky menunjuk foto pertama. “Pak Rifky Sudah pernah ketemu Pak Taufik?” tanya Sigit. “Belum pak, saya cuma tahu wajahnya dari foto aja. Jawab Rifky. Sigit hanya mengangguk mendengar jawaban Rifky. “Apa pak Taufik kenal Rifky?” tanya Sigit. “Saya kurang tahu pak, tapi kita belum pernah tatap muka, mungkin hanya tahu sekedar nama saja pak” jawab Rifky
“Itu Beni, pak” kata Rifky menunjuk foto kedua, singkat. “Beni itu siapanya Evha?” tanya Sigit. “Mantan bossnya Evha pak” jawab Rifky, lagi-lagi singkat. Sigit menghela nafas mendengar jawaban singkat Rifky. Sepertinya Rifky butuh di-push lebih, agar berbicara lebih banyak. Sigit mengambil satu foto dari bindernya, dan menunjukannya kepada Rifky. Foto itu adalah foto kost mewah yang ditinggali Evha bila sedang bertemu Beni.
“Beni itu siapanya Evha?” Sigit kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Selingkuhannya Evha, pak” kata Rifky sambil menunduk. “Trus, siapa itu?” tanya Sigit sambil menunjuk foto ketiga. “Itu Pak Mamat, pemilik warung dekat jalur hiking di Cisadon pak” jawab Rifky. “Sering ketemu Pak Mamat?” tanya Sigit. “jarang pak, cuma sekedar tahu nama aja, ketemu kalau lagi hiking sama Evha aja pak.” Kata Rifky tersenggal-senggal, seperti menahan tangis. “Kapan terakhir kali hiking sama Evha?” Rifky menangis mendengar pertanyaan Sigit. Sambil terbata-bata ia berusaha menjawab, “Minggu lalu pak, tanggal 2 Juni” jawab Rifky sambil menangis.
9 Hari yang lalu, Rabu 6 Juni 2018 Sigit masih tidak habis pikir mendengar penjelasan panjang Mamat. Ia yang pertama kali menemukan jenazah Evha di kebun miliknya, tapi tidak lapor polisi, malah memindahkan jenazah tersebut, bahkan kalung milik jenazah ditemukan di rumahnya. Semua hal-hal yang memberatkan dilakukan oleh Mamat. Tetapi ia yakin, Mamat bukan pelakunya tapi ia juga yakin, Mamat adalah sosok penting dalam kasus ini.
“Coba sekarang Pak Mamat ceritain, gimana ketemu sama Evha hari itu?” tanya Sigit mencoba sabar. “Jadi pas saya sama istri lagi siap-siap mau ke pasar, teh Evha dateng sama temennya. Buat istirahat sama beli Aqua. Abis itu, sambil nunggu istri siap-siap, saya kasih makan ayam-ayam sama soang di belakang terus…”. “Sebentar sebentar… Evha dateng ke warung Pak Mamat gak sendiri?” potong Sigit sebelum Mamat menyelesaikan ceritanya. “Gak pak, sama temenya, cowok, pake kaca mata, rambutnya teh agak gondrong. Tapi saya teh lupa namanya siapa” jawab Mamat. Lagi-lagi Sigit menghela nafas panjang, sambil mengambil foto pria dan menaruhnya di depan Mamat. “Cowok ini yang dateng ke warung Pak Mamat bareng Evha?” tanya Sigit. Pak Mamat pun mengangguk. “Itu Rifky” kata Sigit. “Oh iya, Kang Rifky” kata Mamat.
“Tapi ndan, Kang Rifky balik ke Bojong Koneng, gak lanjutin hiking” kata Mamat. “Maksudnya?” tanya Sigit. “Jadi pas warung sudah saya tutup dan mau pergi, Kang Rifky juga ikut pergi. Dia nebeng truck pick up yang kebetulan lewat depan warung, gak lanjutin hiking, balik ke Bojong Koneng” terang Mamat. “Trus Evha?” tanya Sigit. “Pas saya sama istri pergi, Evha masih di warung, masih mau istirahat dulu katanya. Ya udah saya tinggal aja” jawab Mamat. Sigit terlihat begitu mengernyitkan dahinya mendengar keterangan Mamat. “Waktu Rifky sama Evha di warung Pak Mamat, ada pembicaraan mereka yang Pak Mamat denger?” tanya Sigit “Gak ndan, pas itu saya teh lagi di belakang, kasih makan ayam sama soang sambil nungguin istri siap-siap” jawab Mamat.
Sambil mengangguk-anggukan kepala, Sigit mengambil foto Beni dan Taufik. “Pak Mamat pernah kenal atau liat dua orang ini?” tanya Sigit. Sambil berfikir sejenak, Mamat kemudian berkata “Jadi pas pergi ke pasar itu, gak jauh dari warung, motor yang saya pakai sama istri teh kepleset. Karena jalanan lagi becek banget. Nah, orang ini bantuin saya pas motor saya kepleset” kata Mamat sambil menunjuk salah satu foto. “Saya inget banget, soalnya cowok itu bajunya aneh. Pakai pakaian kerja rapi di jalur hiking. Pakai sepatu kerja dan pakai celana bahan gitu ndan. Gak cocok buat hiking” terang Mamat. Sigit terdiam mendengar penjelasan tersebut, sambil memandang foto yang ditunjuk Mamat, ragu.
8 Hari yang lalu, Kamis 7 Juni 2018 Beni masih menangis sesenggukan, di depannya terlihat 3 buah foto yang berpotensi besar akan merusak karir politiknya yang baru saja dimulai dan pasti akan merusak rumah tangganya. Ya, tangisan Beni bukan untuk kematian Evha. Tampaknya Sigit, yang sedari tadi duduk di depan Beni, menyadari hal tersebut. Terlihat dari pandangan Sigit ke Beni, seperti melihat sampah.
“Kapan terakhir kali kamu ketemu Evha?” tanya Sigit setengah berteriak “Kamu gak usah pakai nangis, cukup jawab pertanyaan saya” kata Sigit tegas. “Minggu lalu pak, hari kamis” jawab Beni menjawab terbata-bata. Sigit mengecek tanggal di handphonenya. Kamis, minggu lalu, 31 Mei 2018, pikirnya. “Tepatnya kapan? Jam berapa? Dimana?” tanya Sigit. “Siang pak, di Mall Plaza Semanggi” kata Beni singkat “Ketemu untuk apa?” tanya Sigit “Ngebahas soal itu pak” kata Beni sambil menunjuk foto hasil USG di hadapannya. “Kamu maunya janin itu diaborsi sedangkan Evha enggak” kata Sigit sambil melihat foto-foto capture chat antara Beni dan Evha, menyimpulkan. Beni hanya mengangguk.
“Kamu di mana pas hari sabtu tanggal 2 Juni 2018?” tanya Sigit “Karena saya pusing masalah Evha, saya menyendiri di kantor travel pak” jawab Beni. “Kantor kamu lagi direnovasi kan? Hari sabtu berarti gak ada karyawan lain. Berarti gak ada saksi atau bukti bahwa hari sabtu tanggal 2 Juni 2018 kamu ada di kantor itu?” Simpul Sigit, sinis. Beni hanya menggelengkan kepalanya, lemah.
6 Hari yang lalu, Sabtu 9 Juni 2018 “Mestinya saya gak ninggalin dia di sana pak” kata Rifky terbata-bata. “Saya nyesel banget ninggalin Evha di Cisadon. Kalau saya ada di sana, Evha mungkin masih ada” lanjut Rifky masih terbata-bata. “Pak Rifky kapan berpisah dengan Evha ketika hiking?” tanya Sigit tidak peduli Rifky yang menangis di depannya. “Di warungnya Pak Mamat” jawab Rifky singkat. “Kenapa?” tanya Sigit. “Karena ini?” Sigit lanjut bertanya, sambil menunjukan foto hasil USG Rifky pun mengangguk. “Saya kecewa dengan Evha. Saya tahu dia menyelingkuhi Taufik dengan Beni, tapi saya kira itu hanya usaha Evha untuk menyambung hidup. Symbiosis mutualisme. Tapi ketika dia bilang dia akan membesarkan bayinya walaupun sendiri karena itu adalah buah cintanya dengan Beni, saya benar-benar kecewa” Jelas Rifky. Sigit hanya diam mendengarkan Rifky
“Saya bingung apa yang Evha mau, membesarkan anak tidak mudah. Apalagi tanpa bapak, apalagi anaknya adalah hasil selingkuh, apalagi dia tidak bekerja sekarang” lanjut Rifky. “Pasti berat ya Pak Rifky, kalau wanita yang bapak sayangi menghancurkan diri sendiri dan bapak gak bisa berbuat apa-apa” kata Sigit. Rifky hanya menunduk mendengar perkataan Sigit. “Saya tahu dia gak cinta saya, saya bisa mengerti itu. Saya tahu dia selingkuh, saya benar-benar berusaha mencoba untuk mengerti itu. Tapi yang ini, saya gak bisa. Maka dari itu, saya pergi ketika Evha menceritakan semuanya” terang Rifky. “Dan sekarang saya sangat menyesal” kata Rifky kembali menangis.
Hari ini, Rabu 15 Juni 2018 Sigit memasuki ruangan dengan membawa binder besarnya. Seorang pria sudah menunggu di ruangan tersebut, memakai kaos lengan panjang berwarna hitam duduk rapi dan terlihat sangat santun. Sigit duduk di hadapan pria tersebut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah foto dan sebuah dokumen. Pria itu melihat foto dan dokumen yang ada di hadapannya. Tersenyum Seketika, pria itu merubah posisi duduk santunnya, kaki kirinya kini ditumpangkan ke lutut kaki kananya. Kemudian ia menyisingkan lengan kaos panjangnya dan melipatnya di depan dada. Terlihat sebuah tattoo di tangan kanannya tersikap. Sambil tersenyum, pria itu berkata singkat, tanpa sedikitpun terlihat penyesalan diwajahnya “Ya, saya pembunuh Evha”
—
“Pak Taufik, atas alasan apa, Pak Taufik berpergian ke Bekasi pada 1 Juni 2018, dengan menggunakan mobil milik kantor bapak” tanya Sigit kepada pria di depannya. “Apa untuk membunuh Evha?”. Tanya Sigit sambil menunjukan foto mobil kantor Taufik bernopol Kota Solo yang tercapture cctv rumah di depan kost Evha di Bekasi. Masih dengan sikap yang santai, Taufik menjawab “Gak, saya sama sekali tidak ingin membunuh Evha, takdir yang menginginkan saya membunuh Evha, hari itu saya pergi jauh-jauh dari Solo untuk menyelamatkan hubungan kami yang sudah Evha rusak”
“Takdir?” tanya Sigit “Iya, saya sampai di Bekasi tanggal 1 Juni, sore hari. Ketika itu Evha tidak ada di kost, saya kembali ke mobil untuk menunggu Evha. Malam itu, Evha kembali ke kostnya dengan diantar oleh laki-laki dengan menggunakan mobil. Takdir menentukan saya melihat Evha kembali dengan pria itu” jawab Taufik. “Mereka tidak langsung turun mobil. Sekitar setengah jam kemudian baru mereka keluar mobil” lanjutnya
“Pemandangan yang pasti bikin pak Taufik marah kan?” simpul Sigit. “Iya, siapa yang tidak marah? saya jauh-jauh dari Solo untuk berusaha menyelamatkan hubungan kami. Sampai di Bekasi, saya malah melihat Evha malah diantar oleh laki-laki lain” Jawab Taufik “Siapa yang mengantar Evha?” tanya Sigit sambil menunjukan foto Rifky dan Beni kepada Taufik. “Dia, cowok itu yang mengantar Evha” kata Taufik sambil menunjuk foto Rifky Sigit diam saja mendengar jawaban Taufik. Padahal ia tahu kalau sebenarnya Taufik marah kepada pria yang salah. “Tapi saya masih mencoba menenangkan diri, saya mencoba menenangkan diri dan tidak bertemu dulu dengan Evha dalam keadaan marah. Saya putuskan untuk tinggal di mobil malam itu, dan paginya ketika emosi saya mereda, saya baru akan bicara dengan Evha” kata Taufik
“Kemudian ini” kata Sigit sambil menunjukan dokumen di depan Taufik. “Itu record GPS tracking di mobil perusahaan yang Pak Taufik pakai. Tanggal 2 Juni terekam pergerakan mobil ke arah Sentul. Pak Taufik ke mana ketika itu” tanya Sigit. “Hari itu, pagi-pagi buta, mobil yang sama datang lagi menjemput Evha. Saya mengikuti kemana mereka pergi” jawab Taufik. “Kemudian ketika keduanya hiking, Pak Taufik juga mengikuti mereka hiking?” tanya Sigit. Taufik hanya mengangguk. “Saya benar-benar marah ketika itu. Saya sebenarnya tidak tahu kenapa saya mengikuti mereka hiking. Yang saya tahu, saya merasa sangat marah” kata Taufik.
“Kapan pak Taufik membulatkan tekad untuk menghabisi Evha? apa ketika Evha sendiri? Apa Pak Taufik berusaha mencoba membunuh keduanya, tapi yang ada hanya Evha?” “Tidak tahu pak, saya tidak berfikir apapun ketika itu, yang ada hanya marah” kata Taufik. “Lalu, kenapa bapak pesan tiket pesawat Solo-Jakarta tanggal 9 Juni 2018? Untuk nutupin jejak?” tanya Sigit. Taufik hanya mengangguk lemah.
Sigit kembali ke meja kerjanya. Taufik sudah diamankan oleh petugas kepolisian. Ia membolak-balik berkas kasus pembunuhan pertamanya. Dilihatnya foto Rifky. Ia sadar, bila Rifky tidak berpisah dengan Evha di warung pak Mamat, mungkin Rifky juga akan menjadi korban pembunuhan Taufik yang sedang dibutakan kemarahan. Atau malah sebaliknya, pembunuhan Evha Permata tidak akan pernah terjadi.
Entahlah. Ditutupnya binder bertuliskan “Evha Permata” itu, kemudian ia taruh di lemari yang penuh dengan binder-binder berdebu lainnya.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono