“Gi, apakah kau tidak merindukan ibumu di kampung?,” demikian pertanyaan yang tiada henti memberondong bak antrean rakyat jelata korban Corona yang mendapat Banpres(Bantuan Presiden) berupa uang sebesar 600 ribu rupiah pada kasir di kantor pos. Teman-temanku sesama kuli di PTPN perkebunan sawit selalu menanyakan hal itu kepadaku saban hari, saban kami mendadas tandan biji sawit dari pohonnya. Dan aku selalu menjawabnya dengan kalimat singkat dan padat yang selalu diajarkan oleh kaum lemah, “Insya Allah”. Padahal aku memang ingin pulang ke kampung halamanku untuk menengok Ibu, istri dan anak-anakku yang tinggal di rumah tua peninggalan almarhum Bapak. Begitu pula dengan teman-temanku yang datang dari pelbagai daerah dengan latar belakang suku dan bahasa, saban berkumpul sambil minum kopi di teras rumah petak yang tersebar di trans-trans yang memang dikhususkan buat pekerja yang didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka sudah punya planning untuk pulang kampung. Menengok seraya melepaskan rindu kepada anak bini mereka yang sudah menggebu-gebu dalam kalbu.
“Kapankah aku bisa bisa pulang dan merayakan lebaran bersama keluargaku? Apakah lebaran hanya dirayakan ketika Idul Fitri dan Idul Adha saja?”. Tidak ada seorang makhlukpun di atas muka bumi ini yang bisa menjawab pertanyaanku itu. Dan Tuhan pun juga diam membisu sambil tersenyum kepadaku.
Pagi itu, tiba-tiba suasana yang awalnya tenang dan damai menjadi mencekam ketika aku—yang sedang mendadas biji kelapa sawit dari pohonnya dengan menggunakan parang yang diikat di ujung gala—mendengar teriakan Darmaji. “Tolong! Tolong! Tolong!” Ia tampak lari dengan terbirit-birit macam orang yang sedang dikejar-kejar oleh setan hutan. Aku pun melemparkan gala ke semak belukar dan rumput liar lalu menghampirinya. Pria paro baya bertubuh kurus dengan wajah keras itu menghentikan larinya. Napasnya ngos-ngosan dan naik turun tak beraturan. Aku menyodorkan sebotol air mineral untuk diminumnya. Ia menerima botol itu dariku dan meminumnya.
Setelah napasnya kembali teratur, ia mulai bercerita kepadaku, “Ono opo?,” tanyaku. “Anu, anu, Kang!,” sambil menunjuk-nunjuk ke arah tengah kebun sawit yang rimbun tempat monyet dan lintah mencari rezeki. “Mbok seng tenang disik tah.” “Kang Pardijon, Kang! Kang Pardijon!” “Ono opo karo Kang Pardijon?” “Kang Pardijon! Kang Pardijon!” “Kenapa dengan Kang Pardijon, Ji?,” timpal temanku yang satunya yang saat itu habis mengais biji-biji kelapa sawit yang berjatuhan di tanah. “Kang Pardijon meninggal dunia, Kang!”
Awalnya kami berdua sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Darmaji. Pertama karena orangnya memang tidak pernah berkata jujur. Kalau mau membayar utang pada Yu Sri pemilik warung lotek dan pecel sayur di seberang PTPN, dia hanya bayar dengan janji. Dan ketika sudah sampai pada hari H dia tak membayar, malah dia mengumpet di rumah petak. Kedua, dia dulu pernah berkata kepada Mbak Marni si penjual jamu keliling yang cantiknya aduhai dan satu lagi dia masih rapet meski sudah menjanda dan punya anak satu, dirinya masih belum punya istri dan anak. Mbak Marni pun tergila-gila dengan janji manis yang diiming-imingi oleh Darmaji sehingga dia mau menyerahkan kesuciannya kepada kuli brengsek itu. Mereka berdua melakukan hubungan laknat itu di dalam bilik rumah saat kami sedang perjalanan pulang.
Dua bulan kemudian Mbak Marni mengaku kepada kami kalau dia lagi bunting. Kami semua melongo saat dia mengatakan sambil menangis kalau ayah biologis dari bayi yang dikandungnya adalah Darmaji. Ia tampak blak-blakan tentang janji Darmaji yang akan menikahinya tapi sebelum itu Darmaji ingin merasakan kehangatan tubuhnya. Mereka melakukan hubungan badan itu sebanyak lima kali. Ketika Mbak Marni memeriksakan diri karena tidak datang bulan selama dua bulan, dokter kandungan yang berada di dekat rumahnya memvonis kalau dirinya hamil. Oh Mbak Marni, kami haturkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya dan kepadamu Darmaji kami juga minta maaf karena harus membongkar kebohongan kamu, bahwa Darmaji sudah berkeluarga dengan seorang perempuan manis dari Tegal. Dari perempuan itu Darmaji dikaruniai dua anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil-kecil. Mbak Marni benar-benar syok mendengarkan penuturan dari kami.
Kemudian pada keesokan lusanya ketika kami membaca koran Riau Pos, kami membaca sebuah berita yang menggemparkan PTPN, terutama kulih yang dekat dan yang tahu soal hubungan antara Darmaji dan Mbak Marni bahwa Mbak Marni mati mengenaskan dengan gantung diri di dapur rumahnya. Dan lebih mengenaskan lagi, saksi yang pertama kali melihat jasadnya menggantung pada seutas kain selendang yang diikat di loteng adalah putri sendiri.
Sesampai di lokasi yang ditunjukkan oleh Darmaji kami melihat percikan darah yang menempel pada helai-helai rerumputan dan daun semak belukar. Kami bertanya-tanya, darah siapakah ini?. Lalu Darmaji mengajak kami ke tengah semak belukar dan seketika darah kami membeku ketika melihat pemandangan yang mengerikan itu. “Kang Pardijon, Kang. Kang Pardijon, Kang” Darmaji yang selama ini selalu bersikap sok-sokan saat itu menangis seperti seorang perempuan. Cengeng.
Di tengah semak belukar yang roboh itu tampak jasad Kang Pardijon yang tertelungkup dan penuh dengan darah yang tidak berhenti mengucur. Aku maju untuk memastikan apakah Kang Pardijon masih bernapas atau sudah meninggal dunia. Kedua temanku awalnya melarangku untuk mendekati jasad korban takut aku disangka sebagai pembunuh Kang Pardijon oleh pihak berwajib. Namun setelah aku meyakinkan kepada mereka kalau tidak bakal terjadi apa-apa akhirnya mereka tidak bisa membendungku. Aku pastikan wajahnya apakah itu benar-benar Kang Pardijon. Kulihat di bagian tengah batok kepala dan keningnya hancur karena sebuah hantaman benda keras. Selain itu berlubang sehingga mengeluarkan banyak darah. Aku yakin kalau luka itu diakibatkan oleh kelapa sawit.
Mayat Kang Pardijon diotopsi atas permintaan kepolisian untuk menjadi alat penyelidikan karena setelah mendapat surat keterangan hasil otopsi dari rumah sakit yang ada di Pekanbaru, Kang Pardijon tewas karena murni sebuah pembunuhan. Bukan karena sebuah kecelakaan karena ditimpuk oleh tandan biji sawit yang mengenai batok kepalanya hingga pecah. Kami bertanya-tanya dan akhirnya saling curiga, siapakah pelaku pembunuhan Kang Pardijon?.
“Saya yakin ini adalah tandan sawit yang digunakan oleh pembunuh Kang Pardijon untuk menghancurkan kepalanya, Pak.” “Baik. Kami akan memeriksa sidik jari siapakah yang menempel pada tandan sawit ini sehingga kita tahu siapa pembunuhnya.”
Keesokan harinya Pak Polsek dan anggotanya kembali datang menemui kami. Tentunya mereka sambil membawa hasil laboratorium untuk mengungkap siapa pemilik sidik jari dari pembunuh Kang Pardijon. Darmaji dicekam rasa ketakutan dan bersalah. Kami curiga kepadanya. Apakah dia orang yang telah membunuh Kang Pardijon?.
“Sesuai dengan hasil penyelidikan kami terhadap pemeriksaan sidik jari. Adapun kematian Saudara Pardijon murni karena sebuah pembunuhan.,” kata Pak Kumendan seperti seorang detektif handal dalam novel Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doley. “Kami menduga kalau motif pembunuhan ini karena rasa sakit hati. Menurut keterangan dari pihak PTPN bahwa Saudara Pardijon memang memiliki sebuah hubungan spesial dengan seorang perempuan.”
Kami tercengang dengan apa yang dikatakan oleh Pak Kumendan soal kehidupan Kang Pardijon yang penuh dengan rahasia yang tidak pernah kami ketahui selama ini. Orangnya memang tertutup. Dia tidak banyak berbicara dengan kami kecuali seperlunya saja. Kalau bekerja memang selalu serius dan fokus.
“Kang Pardijon memiliki hubungan spesial dengan seorang perempuan, Pak?” tanyaku. Pak Kumendan menganggukkan kepalanya. “Perempuan itu adalah seorang penjual jamu” Kami makin kaget. Penjual jamu? Apakah dengan Mbak Marni? Karena penjual jamu hanya satu yang sering mampir ke PTPN. Siapa lagi kalau bukan dengan dia?.
“Memang sayalah pembunuh Kang Pardijon, Pak,” kata Darmaji yang membuat kami tercengang sekaligus kaget. “dia telah memaksa saya agar mengakui bahwa saya telah menghamili penjual jamu itu” Tampak ada mendung penyesalan yang menggantung di wajah Darmaji.
Medan, Oktober 2020 Cerpen ini ditulis saat penulis berkeliling Kota Medan untuk observasi set novel.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Khairul Azzam El Maliky, novelis. Penulis novelette Sang Nabi (Liezer Publisher,2021), Metamorfosa(Galaxystar Publishing,2021) dan ke 20 novel lainnya. Fb: @khairulazzamelmaliky. Twitter: @kh_elmaliky