Darma mengajakku untuk pergi ke rumahnya di akhir pekan ini. Bukannya aku menolak, tapi rumahnya sangat jauh, bagaikan di ujung pulau jawa. Sebuah desa kecil di pedalaman Jawa Barat. Tapi Darma rupanya tidak menyerah semudah itu, ketika aku menolak halus ajakannya. Dia mendeskripsikan bahwa terdapat sungai-sungai yang jernih, perkebunan teh yang luas, udara segar, dan kembang desa yang jelita, masih natural dan bebas polusi. Tentunya berbanding terbalik dengan kondisi disini, daerah kota. Akhirnya hatiku luluh, Darma berhasil membujukku dengan lihainya.
Akhir pekan pun tiba. Sebelumnya, aku dan Darma menyelesaikan tugas mata kuliah terlebih dulu supaya lebih tenang. Kutulis namaku disana sebagai identitas, Bima Suryana.
“Bim, lo udah packing semuanya?” tanya Darma sambil menggerak-gerakkan tangannya menulis jawaban. “Udah, emang harus bawa apa lagi selain baju dan sarung?” kataku seraya menghalau mata dari sinar matahari yang menyilaukan. “lo harus bawa senjata Bim, minimal yang bisa digunain buat mukul” tuturnya. “lah ngaco! Gue kesana kan mau liat-liat cewek bening yang lo sebutin kemaren, bukan mau begal orang Dar,” keluhku. “Bukan gitu Bim, soalnya…” Kalimatnya terpotong seiring dengan nada panggilan yang terdengar nyaring dari gawainya. “Hah? Pengumpulannya dipercepat? Oke-oke makasih ya! Ayo Bim cepetan nulisnya.” Ujar Bima, panik. Sontak aku terkejut karena baru menyelesaikan beberapa soal saja. Kupacu tangan dan otak ini untuk bekerja ekstra demi mengejar waktu pengumpulan.
Dengan motor bebek yang sudah butut ini, Darma membawaku ke desa tempat tinggalnya, yang katanya berada di ujung pulau itu. Sesuai dengan perkiraanku, perjalanan kesana sangat sukar untuk dilewati. Mulai dari jalanan yang terjal dan berbatu, hingga ban motor terselip karena jalanan yang becek dan dan licin,
“Bim turun dulu, dorong!” suruh Darma. “ah”
Masih kurasakan sedikit pegal dan pusing setelah mengerjakan soal tadi. Kupaksakan diri untuk mendorong motor ini walaupun sang lumpur menciprat ke baju dengan lantangnya. “ayo Bim, cepetan dong! Lemah banget sih lo” ledeknya seraya memacu pedal gas. “sialan lo” gerutuku seraya menambah dorongannya. Kelakuan si bedebah yang satu ini terkadang bisa membuatku naik pitam.
Setelah melewati jalanan curam yang dihimpit oleh pohon-pohon tinggi nan lebat, nampak sebuah gapura yang menyapa kami. Dengan sedikit terguncang karena menerjang jalanan yang berbatu, Darma membawaku masuk dan terlihatlah beberapa rumah kayu yang berjejer rapi ditepi-tepi jalan. Semua rumah itu nampak serasi, tidak ada perbedaan yang jelas diantaranya. Orang-orang tersenyum ramah seolah menyambut kedatangan kami. Mataku menyelidik, hanya kulihat para orang tua saja disana. Dimana para gadis yang disebutkan Darma?
Udara segar dan dedaunan hijau yang asri begitu memanjakan mata. Namun langit telah meredup sekarang. Perjalanan yang jauh memaksa kami untuk tiba di waktu sore. Kulihat di sebuah rumah, seorang pria tua sedang duduk bersantai di mulut pintu, sepertinya itu bapaknya. Darma membawa motornya kesana,
“Samlekom!” teriak Darma mengucapkan salam? “Waalaikumsalam” jawab pria tua itu, menoleh. Matanya menyelidik, “eeeh Darma, naha ari maneh te ngabaran dek balik teh!” ucapnya seraya menghampiri kami. “nya hampura bah, da tadi namah moal balik” tutur Darma seraya menyalaminya. “bah, ieu babaturan urang dek mondok cenah. Bae nya?” sambung Darma. “heeh sok weh bae, sukur diimah jadi haneuteun” “Bima pak, hehe” paparku seraya menerima sodorannya.
Perawakan bapaknya begitu seram jika diperhatikan dengan seksama. Dengan dahi yang mengkerut dan rambut panjang yang tergerai sebahu, serta tubuh tinggi dan kekar persis seperti anaknya, sukses membuat nyaliku ciut yang hanya memliki postur tubuh pendek dan wajah unyu. Darma membawaku masuk. Hanya terdapat 3 ruangan di dalamnya, kamar orangtuanya, kamar Darma, dan ruang tengah yang kosong tanpa perabotan apapun. Dan sudah kuduga, tidak ada kamar mandi disini. Katanya, Darma akan mengantarku ke toilet umum jika nanti hendak berhajat.
Udara malam begitu menusuk, aroma lezat tercium dari luar. Aku yang sedang mengobrol dengan bapaknya Darma, begitu tergugah untuk mengetahui makanan apa itu. Aku beranjak,
“pak permisi, saya keluar dulu” “heeh sok jang” “a-apa pak?” tanyaku tidak mengerti apa yang diucapkannya. “iya silahkan dek” jelasnya.
Aku adalah orang Jakarta yang sedang menempuh pendidikan di kota Bandung. Walaupun lingkungan sekitarku juga sering memakai bahasa sunda, tetapi entah kenapa aku masih kesulitan memahaminya.
Dilengkapi dengan nasi putih, sayuran hijau ini terasa begitu lezat, entah apa namanya. Bentuknya seperti pensil yang dipotong-potong menjadi beberapa potongan pendek. Aku, Darma, dan ibunya makan bersama di luar. Bapaknya mungkin sudah makan, karena belum keluar walaupun Darma sudah mengajaknya makan, tadi.
Sedang asyik menyantap, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing dari arah belakang. Aku berbalik dan terkejut melihat seekor anjing besar dengan gigi-gigi runcingnya sedang meronta-ronta, seolah siap untuk menerkamku sekarang. Namun sesuatu yang menuntunnya dibelakang jauh lebih membuatku takut. Sekelompok orang kekar sedang berjalan kemari dengan membawa senjata laras panjang di tangan mereka masing-masing. Pakaian mereka lusuh, dan kotor. Wajah mereka yang sangar dengan beberapa tatto yang terukir di lengan atasnya, sontak membuat jantungku berdebar-debar.
“tenang aja Bim,” ucap Darma. “Hah? Emang mereka siapa Dar?” tanyaku seraya menghela nafas. “Pak Dedi! Hayu atuh urang moro!” teriak salah satu dari mereka. “Heeh! Kela tungguan!” balas bapaknya Darma dari dalam.
Pria tua itu melangkah keluar dari rumah dengan sebuah senapan. Sang ibu menatap tajam bapaknya Darma. Aneh, raut wajahnya seolah menyiratkan sebuah kebencian yang mendalam. Apakah sedang ada perselisihan diantara mereka? Dan untuk apa bapaknya pergi ke hutan dengan senjata dan orang-orang yang sangar itu?
Selesai makan, perutku terasa mengencang, namun mata semakin mengendur. Aku dan Darma menyusul ibunya masuk kedalam rumah. Ibunya lantas berjalan ke kamar tanpa sepatah katapun. Aneh, sejak tadi ibunya tidak berbicara kepada Darma, suaminya, apalagi kepadaku. Apa kehadiranku mengganggu?
Di kamar Darma, kami merebahkan diri beralaskan kasur tipis ini. “Dar, apa kehadiran gue disini bikin ibu lo risih ya?” tanyaku. “enggak ko kata siapa? Ibu gue emang gitu,” tuturnya. “hmmm.”
Tatapanku mengitari sekeliling. Mataku tertuju pada sebuah foto keluarga yang terbingkai rapi diantara poster-poster Roma Irama. Aku mengenal semua orang di foto itu, Darma beserta ibu dan bapaknya berpose layaknya sebuah keluarga bahagia. Namun dahiku mengerut, siapa laki-laki tinggi yang merangkul Darma itu? “Dar, itu siapa?” tanyaku. Tidak ada jawaban. Aku menoleh, ternyata si Darma sudah tertidur, dan seperti biasa mulutnya menganga, Sial.
Malam semakin larut dan semakin hening. Kutarik paksa selimut yang tidak terbagi secara adil ini “sorry Dar, ini demi kebaikan kita bersama.” Batinku. Aku tidak bisa tidur. Bukan hanya karena udara dingin yang begitu menusuk-nusuk, namun juga karena terdengar suara aneh dari luar rumah yang tidak kunjung berhenti. Seperti sesautu sedang berjalan bolak-balik, dari tadi. Bulu kudukku berdiri menegang dan keringatpun membasahi dahi. Aku ingin berlari dan berteriak rasanya. Kubangunkan Darma,
“Apaan sih Bim!?” tanya Darma dengan mengantuk. “Dar gue ta-takut! Itu diluar ada apaan?” ucapku gemetar “Ah, cemen lo! paling suara ayam, udah tidur aja!” serunya dengan menarik selimut menutupi kepalanya.
Matahari perlahan mulai terbit. Darma terbangun seraya meregangkan tangan. Dia menoleh padaku. “Heh!? Mata lo kenapa Bim? Merah banget.” “Gue belum tidur.” Ucapku lemas. “haha lo kenapa sih? Oh lo pasti ketakutan gara-gara suara tadi malam ya? Tenang aja, paling juga ayam” jelasnya. “hmmm” aku mengangguk pelan, walaupun aku tidak tau bagaimana suara ayam jika berjalan bolak-balik.
Darma mengajakku untuk pergi jalan-jalan mengelilingi desa. Walaupun belum tidur, aku tidak ingin hilang kesempatan untuk bertemu para kembang desa, mumpung masih jomlo. Kususul Darma yang tengah beranjak keluar kamar. Terlihat ibunya Darma sedang menyapu lantai kayu sambil sesekali menatap bapaknya sinis yang tengah tertidur di ruang tengah, baru pulang sepertinya.
“Pagi bu,” sapaku. Dia hanya tersenyum padaku dan tanpa berkata-kata. Sebenarnya ada apa sih? Aku lantas menghampiri Darma yang telah berada diluar rumah. Namun, “eh bentar HP gue” ucapnya seraya berlari kembali ke dalam. Aku pun penasaran dengan suara aneh tadi malam. Aku menyusuri sekitar rumah kayu ini, pergi ke belakang dan berdiri persis dihadapan kamar Darma, dari luar. Nihil, tidak ada apa-apa.
Warna jingga membentang di langit. Aku kembali ke rumah kayu Darma dengan perasaan kecewa. “Sialan lo! Mana kembang desa yang lo sebut?” gerutuku kesal “hehe sorry Bim, gak balik kayaknya minggu ini. Seperti gue, mereka juga merantau. Ada juga yang sudah menikah dan hidup di kota bersama suaminya.” Paparnya. “hmmm” “tapi pemandangannya keren kan? Sungainya juga jernih bikin adem hati.” “iya sih” jawabku.
Darma membuka pintu, kosong. Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. “Darma! Kadie!” sebuah panggilan terdengar dari kamar orangtuanya. Darma berjalan kesana. “Ada apa Dar?” tanyaku ketika ia kembali. “bapa gue demam, minta disampein ke temen temennya nanti, bapak gak ikut ke hutan” “hmmm. Eh kalo ibu lo kemana?” tanyaku. “ya paling ke wc umum, lo mau ke wc gak? Kalo mau mending sekarang aja. Jauh soalnya” “enggak”
Tak lama kemudian suara gonggongan anjing kembali terdengar dari luar, seperti kemarin. Darma pun melangkah keluar rumah.
Langit semakin gelap. Aku dan Darma sudah berada di dalam kamar, membaringkan diri. “eh Dar, jangan tidur dulu deh. Takutnya suara kemaren ada lagi” “gue kan udah bilang, itu ayam Bim!” “HEH! Gue udah periksa tadi! Gak ada! Dan waktu kita keliling desa juga, gue gak liat ada yang piara ayam! Gimana sih Dar!?” “hmmm iya juga ya, hehe. Sorry gue ngebohong biar lo tenang haha” ledeknya. “yaudah gue gak tidur dulu deh” sambungnya.
Udara dingin malam ini membuatku bergetar hebat. Sontak kutarik selimut dari Darma, namun aneh, tidak ada respon. Aku menoleh untuk memastikan. Dan benar saja dugaanku, si bedebah ini sudah menganga dengan mata yang tertutup rapat. Aku sangat lelah, namun tidak bisa tidur karena membayangkan apa yang terjadi kemarin. Mataku seolah tertopang oleh suatu benda.
Suara itu kembali terdengar. Lagi, seperti orang yang berjalan bolak-balik. Bulu kudukku berdiri dan jantung bekerja begitu cepat. Kupasang telinga dan mengamati suara itu dengan seksama, berharap malam ini suara itu akan menghilang.
Beberapa saat kuamati, suaranya kini menjauh. Kupikir mungkin sesuatu itu sudah pergi sekarang. namun tiba-tiba sebuah benturan keras terdengar dari pintu utama. Aku terperanjat dan semakin takut, karena kini benturan itu tidak kunjung henti. Seperti sesuatu sedang memaksa untuk masuk. Kugoyangkan bahu Darma kencang untuk membuatnya terbangun.
“Apaan sih lo!?” seraya mengucek-ngucek matanya. Seolah terwakili, suara benturan itu telah menjawab pertanyaan Darma. “Hah!? itu apaan?” ucapnya panik. “ya itulah yang gue maksud kemaren” jawabku seraya menghela nafas.
Suara benturan itu menghilang seiring dengan benturan terakhir yang sangat keras. Kami saling bertatapan, “mu-mungkin di-dia udah ma-masuk ke dalam Dar!?” Darma mengangguk ragu. Kami terdiam sejenak dengan jantung yang semakin berdebar. Namun aku tersentak, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan seorang wanita dari luar kamar. Sontak Darma beranjak keluar kamar, disusul olehku dengan mengekorinya.
—
Seorang wanita tua terbaring dan tak sadarkan diri di hadapanku, berbalut perban yang hampir menutupi sekujur tubuhnya. Dialah Heti, istriku dan pahlawanku. Tak kuasa aku menahan air mata yang mengalir deras setelah kejadian itu.
Aku beranjak dari kursi kecil ini dan melangkah keluar. Kuhampiri anakku yang sedang mengobrol bersama dengan teman sekolahnya itu.
“keadaan ibunya sudah mendingan pak?” tanya anak yang pendek itu. “gitulah dek, masih kritis.” “emang kajadian mimitina kumaha pak? Naha jadi kie!?” tanya anakku.
Dengan sedikit terisak-isak, kujelaskan bahwa ketika aku sedang terbaring lemah di kasur, tiba-tiba aku terperanjat dengan suara keras di arah pintu utama, namun aku tidak menghiraukan karena badanku sangat lemas saat itu. Tiba-tiba masuk sesosok makhluk besar berbulu lebat dengan sihung dan moncong yang meruncing, babi hutan. Aku terkejut dan mematung, seolah tidak ada kekuatan untuk menggerakkan tubuh. Mataku tidak berhenti menatapnya waspada.
Ketika dia hendak menerkam, Heti datang dari mulut pintu dan memukulnya keras dengan sapu. Namun, makhluk besar itu rupanya lebih kuat dari yang diduga. Butuh lebih dari sekedar ‘sapu’ untuk melumpuhkannya. Babi itu berbalik, kemudian mengejar Heti yang berlari terbirit-birit kearah dapur. Sontak aku mengejarnya bersama anakku dan temannya yang terkejut dengan suara teriakan Heti. Aku terperanjat, terlihat babi itu sedang menggerogoti setiap sisi tubuh Heti hingga bersimbah darah. Tak pikir panjang, kuambil pisau dapur dan menusukkannya ke tubuh makhluk besar itu hingga dia tergeletak mati.
Heti selalu mengkhawatirkanku setelah kematian anak pertama kami. Dia selalu marah Jika aku akan pergi berburu karena mengkhawatirkan keselamatanku.
END
Cerpen Karangan: Noname Blog: mikhwanulkirom.blogspot.com