Terkadang aku hanya memandang jendela, melihat keluar, menatap langit, lalu pikiranku melayang kemana-mana. Aku sadar? Justru aku tidak sadar. Mereka melayang tinggi, setinggi langit yang kutatap. Bahkan mungkin, jauh lebih tinggi dari langit yang kutatap itu. Bertanya pada awan itu tidak baik. Awan? Iya awan, sebuah benda, sepertinya, karena awan berada di langit. Berwarna putih, empuk, seperti banyak yang ditayangkan di TV, lebih lagi bisa membawa kita terbang mengitari langit. Bertanya pada awan itu tidak baik, karena awan adalah fatamorgana. Fatamorgana dalam alam bawah sadar yang membuat kita jatuh ketika melihatnya.
“Dari mana saja kamu?” Kata pertama yang keluar dari mulut dia saat aku sedang membuka sepatuku di ambang pintu. “Tempat biasa aku mencari ide” jawabku. “Ya lanjutkan” katanya lalu meninggalkanku berjalan masuk ke dalam rumah. Seperti biasa aku membuang tasku, lalu menjatuhkan diri ke kasur. “Mandi” satu kata yang dia ucapkan. Kata itu hanya lewat dalam rentang waktu 3 detik di otakku, aku memejamkan mata dan menghiraukan suasana sekitar kamar.
Brakkk Setelah itu aku hanya berjalan pelan kearah kamar mandi. “Sabun” lagi-lagi satu kata yang keluar. Tentu saja tetap kuhiraukan kata itu. Byarrr sudah sekitar sembilan kali ia menumpahkan satu botol sabun ke badanku, sudah sekitar sembilan kali pula aku membeli sabun mandi bahkan sepertinya lebih.
‘Tak ada habisnya’ batinku.
Setelah menumpahkan seluruh isi botol sabun, dia berjalan keluar dari kamar mandi tanpa menutup pintu. “Asshhh” saat kunyalakan air, yang keluar dari shower adalah air bersuhu dingin. Padahal sudah kuatur agar keluar hangat tapi tetap saja yang keluar bersuhu dingin, bahkan lebih dingin daripada suhu air biasa, ini serasa seperti mandi dengan es batu.
‘Pasti ini adalah ulahnya’ lagi-lagi batinku.
Aku memang tidak ingin mandi karena airnya dingin, tetapi sabun telah memenuhi tubuhku. Jadi, mau tidak mau aku harus mandi untuk membersihkan sabun-sabun ini. Keseharianku memang seperti ini, tidak kurang tetapi lebih. Lebih di apa? Menyakitkannya. Tak ingin terikat tetapi sudah terlanjur terikat. Menyakitkan bukan?
Makin hari berat badanku semakin berkurang, seminggu yang lalu berat badanku empat puluh lima kilogram hari ini genap tujuh hari sudah berkurang lima kilogram. Bagaimana bisa begitu? Tentu saja pagi hari aku hanya meneguk satu gelas susu, siang hari aku pergi ke café tempat biasa aku mencari ide hanya dengan memesan satu tuna croissant dan segelas latte, lalu malam hari di rumah aku kembali dengan hanya meminum segelas susu, ini terjadi terus-menerus selama satu minggu penuh.
—
“TIDAAAKK! LEPAS! LEPAS! UGHH” teriaknya sekeras mungkin. Dia mencoba melepaskan rantai yang terikat. “CEPAT LEPASKAN! INI SANGAT SAKIT! LEPASKAN! INI MENUSUK, KAU TAHU?!” Teriaknya lagi lebih keras dari sebelumnya. Tetapi rantai itu tak kunjung lepas, orang yang berada tepat dibelakangnya pun tidak bergeming. Sedikit dia tau bahwa cahaya yang mengarah pada orang yang berada di belakang dia, yang tersorot hanyalah senyumannya yang selebar telinga. Dia berusaha melangkah kedepan tetapi tidak bisa, kakinya menempel lekat dengan tanah yang dia tapaki. Iya menempel tidak terkubur. Karena memang benar perasaannya belum terkubur sepenuhnya.
Lima menit penuh berusaha melepaskan diri, akhirnya ia dapat berjalan tetapi tetap dengan rantai terikat. Satu langkah yang ia jalankan, merobek satu persatu bagian dari hatinya. Ia menyadari hal itu dalam tiga langkah, lalu ia berhenti. Dia terjatuh, bunyi rantai yang jatuh bergesekkan sangat nyaring di telinga. Dia terbaring, menjadi lekat dengan tanah, matanya menerawang langit yang dipenuhi dengan kegelapan, kekelaman, kesunyian dan kesepian. Orang itu masih berdiri tegap tetapi kali ini senyumannya sudah tidak terlihat.
“Tolongg…” “Lepaskan aku…” “Tolongg…” Lirihnya. Suaranya sudah mulai tersendat-sendat seakan ada sesuatu yang mengganjal pita suaranya. Ia berusaha mengangkat tangannya mengarah ke atas langit, tetapi saat dia mengangkat tangannya, angin membawa tangannya pergi. Tangannya buntung. “AAAAAAAAAAAAAAAAA”
—
Braakkk “Masak” dia menjatuhkanku dari tempat tidur. Punggungku terasa nyeri walau kejadian seperti ini sudah sering kulewati, tetapi rasanya masih tetap nyeri. Organ dalamku terasa seperti tercabik. Ada kalanya aku terselamatkan oleh bantal atau guling yang tidak sengaja sudah jatuh lebih dahulu saat aku tidur di malam hari. “Rasanya aku ingin sekali untuk terus menempel dengan kasur tanpa harus memasak”
Brakkk “Cepat! Aku lapar” “Mau apa kau ke halaman belakang?” tanyaku. “Masak aja, tidak usah banyak tanya”
Aku berjalan menuju dapur, membuka kulkas, meratapi isi kulkas yang bahkan isi dari kulkas itu hanya cukup untuk digunakan pagi ini. Bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai hijau, tiga butir telur, dan setengah ikat bawang bombay. “Kau mau telur dadar atau dicampur dengan nasi?” Hening tak ada jawaban. Ada sekitar setengah jam lebih kuhabiskan untuk memasak nasi goreng. “Makanan sudah siap! Cepat masuk!” Teriakku dari ambang pintu yang menuju ke halaman belakang.
“Sampah.” Walau begitu dia tetap melahap habis nasi goreng yang kubuat karena dia tidak makan dari kemarin siang. Tentunya aku tidak ikut makan nasi goreng yang ada, karena porsi nasi tidak cukup untuk dua orang. Dalam perjalanan menuju café, ibu-ibu tetangga menyapaku dengan ramah yang hanya kubalas dengan senyuman. Ingin sekali ku berbaur dengan ibu-ibu tetangga tetapi aku tidak bisa. Pagi tetap pagi, siang tetap siang, malam tetap malam.
—
Nafasku tersendat-sendat. Melewati tiga rumah lagi padahal aku akan mencapai rumahku, tetapi aku sudah tidak kuat dan aku terjatuh. Kali ini tidak sekejam kemarin. Lagi-lagi kakiku menempel dengan tanah, sekali lagi menempel, lalu badanku masih terikat dengan rantai tanpa ujung, dan tanganku buntung. Kali ini pemandanganku adalah halaman belakang rumahku. Bingung? Sama halnya denganku. Oh! Aku ingat. Ini adalah tempat dimana dia selalu berdiri setiap kali aku membuatkan dia sarapan.
Aku mencoba berjalan mendekati titik dimana dia selalu berdiri. Tetapi semakin dekat dengan titik tersebut, semakin kepalaku terasa sakit. Sesampainya di titik, kepalaku pecah. Kepalaku pecah. Kali ini benar-benar pecah.
Pagi menjadi malam, malam tetaplah malam. Aku terbangun di dalam mimpi. Mimpiku terbangun dalam dunia nyata. Dia menghilang. Sekali lagi pagi menjadi malam. Apa yang terjadi? Setiap kali aku membuka pintu kamarku, anehnya langsung menuju ke halaman belakang rumah. Sekali, dua kali, tiga kali, hampir sepuluh kali kuulangi tetapi tetap saja menuju halaman belakang rumah. Akhirnya aku mencoba melangkah keluar menuju halaman belakang rumah. Aku ingat, di sini, dia selalu berdiri di satu titik. Aku coba berdiri di tempat dimana dia selalu berdiri. Sampai di titik, dia berbicara. “Ingat. Kau selalu terikat. Perasaan itu tidak terkubur. Kau tidak pernah mengikhlaskan. Kau tidak mau belajar. Tidak mau melupakan begitu juga tidak mau mengingat. Siapa yang bersalah?” Suaranya berasal dari semua arah, tidak menusuk tetapi menikam. Jujur aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh dia. Tetapi aku senang, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah dia ucap selama hampir seminggu dia hanya mengeluarkan sepatah kata, atau dua, atau paling banyak satu kalimat.
“Lihat bawah” kuikuti apa yang dikatakan oleh dia. “Tanah? Ada apa dengan tanah ini?” dia tidak menjawab. Tetapi ada dorongan dari dalam diriku yang ingin menggali tanah ini. Kucoba gali dengan satu tangan, terus-terus menggali seperti tikus tanah. Sudah sekitar sepuluh menit aku menggali tanah, tetapi nihil.
“Hei! Sebenarnya ini maksudnya apa?” tetap saja hening tidak ada jawaban. Lelah, aku duduk di atas tumpukan tanah bekas galian. Baru saja mataku akan tertutup, suara dia muncul lagi. “Sabar” Sabar? Maksudnya aku disuruh mengali lagi?
Lima menit berlalu setelah aku mencoba untuk menggali lagi, sampai pada titik dimana jari-jariku tidak sengaja menyentuh sesuatu. Penasaran, tanah itu terus-menerus kugali. Tidak sampai satu menit, aku menemukan titik terang. Dia. Ah aku ingat. Aku membabi buta.
—
“HAHAHAHAHAHAHAH LUCU SEKALI PERMAINANMU!” teriak Angie sembari menghancurkan barang-barang yang berada di sekelilingnya. “Hentikan, hentikan. Cukup Ngie, cukup!” Teriaknya sembari mencoba menghentikan tangan Angie yang terus-terusan membanting dan menghancurkan barang-barang disekitarnya. “Cukup kau bilang?! Yang benar saja!” teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. “Angie udah Ngie, udah!” teriak John sampai suaranya menjadi serak. Berulang-ulang kali dia meneriakkan kalimat “Angie udah Ngie!” atau “Cukup Ngie cukup!” Tetapi tentu saja semua itu tidak mempan terhadap Angie.
Lelah membabi buta, Angie tertidur. Jauh lebih dulu sebelum John pun ikut tertidur. Nyatanya Angie terbangun lebih dahulu, kepalanya pusing. “Ambil toples itu Ngie, hampiri dia. Kau tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.” Kata mereka. Tepat di hadapan Angie, dia tertidur pulas. “Maafkan aku, maaf, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak akan lupa, aku akan ingat, aku mencintaimu, John.”
Angie menangis, John terbangun. Angie terkejut saat melihat John terbangun, spontan Angie langsung melayangkan toples itu ke muka John. Tetapi ada perlawanan dari John, Angie didorong dengan keras oleh John hingga punggungnya membentur dinding dan terasa sangat nyeri bagi Angie. John menyadari itu dan langsung membopong Angie untuk berdiri. Tetapi nasib tidak berpihak kepada John. Sesaat setelah John membantu Angie berdiri, John langsung dipukul habis-habisan oleh Angie menggunakan toples kaca yang ia pegang. Muka John hancur.
John dibawa ke halaman belakang rumah Angie. Dia diseret, sesekali kepalanya dibenturkan ke lantai yang membuat isi kepala John berceceran kemana-mana. Tentu saja John sudah tidak bernyawa.
—
“HAHAAHAHHAAH LIHAT DIA” unknown “Lucu sekali bukan? Mainan baruku?” John “Benar, benar, kau ini memang pandai dalam memilih orang John” unknown “Tentu saja. Lihat dia, terikat olehku dan terikat oleh cintanya pada John. Sungguh tragis” John
Cerpen Karangan: FNA
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com