Siang itu, beberapa anak desa sedang memetik buah jambu di pohon dekat tepi sungai. Sebagian dari mereka tengah menikmati jambu yang telah susah payah dipetiknya. Sambil sesekali seseorang melemparkan candaan hingga membuat yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Setelah memakan buah, anak-anak itu langsung membuka baju sembari berlari melompat ke dalam sungai.
“Ahggg… segarnya” kata Toto kepada teman-temanya.
Sungai itu memang masih alami, aliranya berasal dari lereng gunung di atas desa. Warga desa biasa memanfaatkanya untuk berbagai aktivitas seperti mandi, mencuci pakaian maupun sekedar membasuh wajah.
Sementara itu, ada seorang bocah yang enggan ikut mandi bersama bocah lainya. Warga desa memanggilnya si “Bocah Sangklen”. Tak banyak orang tau alasan warga menyebutnya begitu. Bocah laki-laki itu bernama raka, ia hanya diam di pinggir sungai sambil sesekali menatap ke arah warga yang lalu lalang di sekitar sungai. Raka tinggal bersama neneknya di gubuk tua. Ia memang terlihat berbeda dengan bocah lain terutama untuk urusan sosial dan pergaulan.
Sudah berulang kali, toto berusaha mengajak si bocah ‘Sangklen’ untuk main tapi bocah itu tetap diam tanpa menggubris omongan toto.
“Hey, raka. Main toh? masa diem aja disitu..” ajak Toto Raka, Si bocah ‘Sangklen’ tetap diam dan tidak berbicara apa-apa. “Ngopo toh? dasar bocah sombong!! Ya sudah terserah..” pungkas Toto agak kesal “Sudahlah, To. Palingan bocah ‘Sangklen’ ini sedang memikirkan rencana detektifnya lagi..” Saut Indra “Hahahaha:….” Sontak seluruh bocah tertawa dengan candaan Indra. Namun Raka tetap diam dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh bocah-bocah itu.
Tingkah bocah ‘Sangklen’ memang tidak sampai membuat warga merasa risih, namun sesekali tingkah anehnya membuat warga merasa heran dan bertanya-tanya. Tak jarang, ia sering dicap sebagai ‘bocah aneh’ karena jarang bicara dan enggan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, anak-anak desa mulai berjalan pulang dengan baju basah dengan beberapa jambu di kantong celana pendek mereka. Raka masih terlihat menulis sesuatu pada kertas kosong. Ia memasukan kertas itu ke dalam botol kaca bekas dari tong sampah. Dan tiba-tiba, “Pyarrrrrr….” Raka membanting botol itu hingga pecah hingga percikan kaca-kaca bertebaran tak karuan. Kebiasaan itu adalah satu dari berbagai tingkah aneh ‘sang bocah sangklen”.
Pada akhirnya tanah lapang itu menjadi tempat yang terbengkalai, sampah kertas tersebar, bau busuk yang menyengat bahkan banyaknya pecahan kaca botol yang berbahaya. Karena ulahnya itu, raka sering mendapat cibiran dari warga dan dituduh sebagai biang kerusakan lingkungan desa. “Aneh” dan “misterius” terus menyelimuti sosok bocah ‘Sangklen’. Namun hal itu berlangsung tanpa menjadi hal yang harus warga permasalahkan.
Setiap pagi Raka berjalan cepat menuju kantor pos di sebelah balai desa sambil membawa kotak berwarna cokelat dengan lubang-lubang panjang seperti hasil sayatan pisau kecil di kedua sisi kotaknya. Tak jarang juga Raka menghabiskan waktu untuk membaca buku di tepi sungai dekat lapang pelampiasanya itu. Pada akhirnya berbagai spekulasi terus bermunculan, ada yang mengatakan Raka yang permasalahan ekonomi jadi alasan bocah itu bertingkah aneh, sebagian meyakini bahwa anak itu ‘tidak waras’ serta beberapa anggapan negatif lainya.
Dua puluh tahun berjalan, kisah tentang bocah “Sangklen” kini menjadi bahan pemberitaan yang mulai redup termakan waktu. Toto, Indra, Ayu dan anak desa lainya mulai beranjak remaja termasuk Raka. Mereka menghabiskan waktu sekolah dengan berbagai aktivitas biasa tak terkecuali si bocah ‘Sangklen”. Namun demikian, Toto dan sahabatnya sudah terbiasa dengan kehadiran Raka dan menganggap bahwa bocah ‘sangklen’ sebagai teman desa seperti biasanya.
Di SMA, Raka terlihat agak berbeda walaupun masih sering tertutup namun ia sesekali terlihat memesan jajanan kesukaanya ‘kerupuk udang’. Satu-satunya teman akrab Raka dalah ibu kantin pojok sekolah bernama Bu Tuti. Ia sudah menganggap Bu Tuti sebagai tempatnya menuai nasihat.
Suatu hari, saat pelajaran tengah berlangsung, Bu Siwi, salah satu guru matematika memperkenalkan murid baru di depan kelas. Suara langkah terdengar dari luar kelas, hingga ketukan pintu sejenak menggema,
“Permisi…” seperti suara anak perempuan. Ternyata murid baru telah datang, tanpa berpikir panjang Bu Siwi meraih gagang pintu dan membukanya: “Kreekkkk” suara pintu terbuka “Eh, ternyata kamu, sudah datang ya… Silahkan masuk” saut Bu Siwi.
Belum habis wajah menghadap, Toto merasa penasaran siapa kiranya sang murid baru. “Bu, Kenapa dia pakai topi ya, bu? Aku kan ndak bisa lihat wajahnya toh, hehe” pungkas Toto. “Toto, Toto… dasar kamu!!” Tegur Bu Siwi.
Belum setengah jam sang murid baru di sekolah tapi berita tentang kedatanganya telah mengusik semua murid laki-laki karena merasa penasaran. Konon katanya, murid baru itu bernama “Citra”, seorang murid perempuan yang cantik dan sangat berbakat dalam menari serta beladiri. Tak sedikit murid laki-laki berusaha mengulik informasi lebih jauh tentang Citra. Namun sekali lagi, hal itu tak lantas membuat bocah “Sangklen’ terusik.
Kedatangan murid baru nyatanya menimbulkan beberapa kejanggalan dengan terjadinya kejadian-kejadian tak biasa di sekolah. Puncaknya berbagai keanehan terjadi tepat satu bulan setelah sang murid baru bersekolah.
Bel sekolah berubah bunyi menjadi lagu aneh yang jarang didengar oleh murid. Beberapa kejadian janggal juga terus berlanjut seperti hilangnya poster dan tulisan di majalah dinding serta ditemukanya buku berisi bocoran jawaban ujian di ruang kelas XI tiap pagi. Satu hal yang lebih janggal dari itu semua adalah bahwa selalu ditemukan jejak sandal ditempat kejadian. Sandal-sandal itu bukanlah sandal sepasang, namun berbeda jenis dan warna alias ‘Sanglir’.
Pada akhirnya kecurigaan para guru dan murid mengarah kepada Raka, si bocah ‘Sangklen’. Pihak sekolah terus berusaha menyelidiki tentang keanehan tersebut. Toto, Ayu dan Indra memutuskan untuk bertemu seusai jam pulang di pondok dekat lapangan basket.
“Mungkin saja nih ulah si Raka” ucap Indra “Mungkin saja sih.. Tapi, apa alasanya ya? Ko aku ndak yakin ya.” Jawab Ayu “Hem… Dahlah lebay, dra. Jangan asal tuduh.. mungkin ini hanya kebetulan” tambah Toto “Alahhhh… Yo ndak mungkin toh, coba kalian pikir, masa kejadian-kejadian iku berjalan berurutan?, Ya toh? Pasti nih kerjaan seseorang.. Siapa lagi kalau bukan si bocah itu” Indra menjawab dengan wajah agak curiga.
Di tengah-tengah pembicaraan Citra datang memakai baju olahraga dengan membawa sebuah buku bersampul merah menemui mereka bertiga. “Hai semua, hehe… Lagi pada ngapain nih? Seru banget” Tegur Citra dengan ceria “Eeh… citra?, duh.. ayune” candaan Toto sambil mendekat ke arah Citra “Halo citra,” Saut Indra dan Ayu
Namun tiba-tiba sang bocah ‘Sangklen” datang, “Hey, gadis kota!!, sudah berhentilah. Rencanamu tak akan berhasil” ucap Raka dengan nada agak tinggi. Toto, Ayu dan Indra menjadi merasa heran, karena ini adalah pertama kalinya ia mendengar Raka berbicara lantang di depan umum.
“Bocah sangklen? Ngapain kamu disini… jangan-jangan mau bikin ulah lagi ya” ucap Indra agak kesal Tanpa disangka-sangka, “Bruggghg…” suara keras, sesuatu jatuh ke lantai. Raka melempar satu pasang sandal ke lantai, anehnya kedua sandal memiliki warna yang berbeda. “Saya Bocah Sangklen akan melawanmu” sorot mata Raka terlihat jelas ke arah Citra Tak jelas apa maksud dari ucapan Raka, namun yang jelas sorot matanya menggambarkan ketidaksukaanya pada sang murid baru. Citra pun hanya terdiam diikuti oleh Raka yang langsung pergi dari tempat itu.
“Sudah ya, cit. Anak itu memang sudah begitu sejak dulu” ucap Toto dengan lembut “Gak apa-apa gengs, Santayyy…” Ungkap Citra.
Kesokan harinya, hal yang tak terduga kembali terjadi. Hari itu semua warga sekolah terlihat kaget: “Ada apa nih? Aduh…” Heran Ayu “Kelakuane siapa nih? Awas aja ya… bocah sanglir… reka.. reka, Raka” Indra terus menggerutu
Tembok dekat ruang kepala sekolah terpasang sepanduk bahwa gedung sekolah dengan segala bangunanya akan digusur dan dihancurkan.
Dahulu, tanah sekolah sebenarnya adalah tanah milik seorang pengusaha yang telah berusaha merebut haknya sejak dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu, sang pengusaha memberikan peringatan kepada Kepala Desa bahwa lapang dekat persawahan akan dibangun pabrik. Namun sang Kepala Desa bernama Supriadi menolak sehingga mendapatkan berbagai ancaman dan tekanan.
Sang bocah “Sangklen”, Seorang anak yang dulu biasa dicaci maki karena membuang tulisan kertas dan pecahan botol ke sebuah lapang pelampiasan dekat sawah. Tanah lapang itu akhirnya menjadi lapang yang berbahaya penuh pecahan kaca, kotor dengan bau busuk menyengat dan telah mendapatkan julukan sebagai tanah pelampiasan yang sering disinggahi oleh si “Bocah Sangklen”. Berkat tindakan Raka, para investor mencabut dananya dan pabrik yang membahayakan bagi persawahan warga tidak dapat dibangun.
Kini sang pengusaha datang kembali bersama anaknya bernama “Citra”, sang murid baru yang datang guna membalaskan dendam ayahnya termasuk menjadi dalang beberapa kejadian janggal sebulan terahir. Mereka berencana menghancurkan sekolah dan membangun pabrik itu kembali.
“Hey… Bocah sangklen!! Sudah lama kita tak bertemu” bentak sang pengusaha di depan semua siswa “Saya sudah menantikan bapak sejak 20 tahun lalu,” ucap Raka “Dasar bocah sangklen!!, gak tau diri.. hew? Bisa apa kamu?” Saut Citra “Dengar. seluruh warga sekolah, pak kepsek.. Guru-guru… Sebaiknya kalian bersiap hari ini, segera pindah dan pergi dari sini. Gedung ini akan kami robohkan!! Jadi kalian silahkan angkat kaki sekarang” Tegas ayah Citra
Semua Guru dan murid sekolah masih merasa bingung dan tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Sekolah yang biasa mereka gunakan akan segera dihancurkan dengan sebegitu mudah.
Namun, tiba-tiba… “Tap… tap.. tap” suara sepatu mendekat “Tunggu dulu….” Seseorang berjas hitam datang “Loh? Pak andi? Bapak ngapain disini?” Cemas ayah citra “Semua tanah di sekolah ini telah SAH dimiliki oleh seseorang, jadi bapak ataupun Citra TIDAK memiliki Hak untuk menggusur sekolah ini” tegas pak Andi “Apa?? Itu tidak mungkin… Siapa yang menjualnya?” Tanya ayah Citra
“Mohon maaf, pak. Semua tanah di kawasan sekolah ini tidak berhak diwariskan ke bapak, namun telah secara resmi menjadi milik anak dari mantan kepala desa, Pak Supriadi yang merupakan kakak kandung bapak.” Ungkap Pak Andi “Apa?! PAPA… ih malu-maluin banget” Citra langsung menarik tangan ayahnya dengan rasa agak menahan malu. Mereka pun pergi dari sekolah dengan perasaan penuh ketidakpercayaan.
Seluruh siswa sontak menertawakan Citra dan ayahnya. Pada akhirnya sekolah tidak jadi digusur dan mendapat jaminan bahwa kegiatan sekolah akan berjalan seperti biasa.
Semenjak hari itu, berhembus kabar bahwa si bocah ‘Sangklen’ merupakan sang anak Kepala Desa. Ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal sebatang kara di sebuah gubuk bersama neneknya. Bocah ‘Sangklen’ pula yang telah membeli tanah lapang itu dari hasil donasi semenjak dua puluh tahun yang lalu.
Raka yang dulu rutin setiap hari mengirim kotak cokelat ke kantor pos sebenarnya merupakan hasil penjualan karya tulisan-tulisanya yang ia kumpulkan sendiri untuk membeli tanah lapang pelampiasan.
Setelah kejadian tersebut, Toto dan warga desa baru sadar bahwa bocah ‘Sangklen’ dengan segala keanehanya telah menyadarkan semua orang bahwa Toto dan warga desa yang sebenarnya telah ‘Sangklen (terbalik)’ menilai Raka. Namun belum sempat ditemui lagi, Raka, Si bocah ‘Sangklen tidak pernah nampak lagi, berhembus kabar bahwa ia bersama sang nenek memilih pergi ke kota untuk mencari jalan hidupnya.
TAMAT.
Cerpen Karangan: Suwandi Aris Wibowo Blog / Facebook: Suwandi Aris Wibowo
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com