Berita tentang pembunuhan di jalan yang menghubungkan antara desa Jetis dan desa Wringin semakin menyebar luas ke seluruh penghuni desa sekitar. Jalan itu memang sepi dan tidak pernah dilalui seorangpun jika malam tiba. Jika ada yang melewati jalan itu saat hari sudah gelap, pasti keesokan harinya jasadnya sudah tergeletak di ujung jalan dengan kondisi tidak sewajarnya. Kejadian seperti ini memang sudah sering terjadi.
Kali ini korban pembunuhannya mati begitu mengenaskan, dengan kepala terpisah dari tubuhnya, biasanya hanya ada beberapa tusukan benda tajam atau bekas sayatan di seluruh tubuhnya. Mengerikan memang, hingga warga di sini pun jika malam tiba tidak akan ada yang melewati jalan itu.
“Ben, kau tau? Pelaku pembunuhan itu bukanlah manusia, melainkan penunggu jalan itu yang dulu pernah menjadi korban perampokan, dan sampai saat ini si hantu itu terus saja membunuh siapapun yang melewati jalan itu kalau sudah malam, mungkin dia sedang membalas dendam.” Ikal sahabatku bercerita sambil sesekali memegang lehernya yang terasa merinding. Ya, kabar tentang siapa pelaku pembunuhannya memang sudah tersebar luas dan hampir semua warga mempercayainya. Sekitar 2 tahun yang lalu memang pernah ada tragedi perampokan di jalan itu, korbannya seorang perempuan, dia dirampok dan dibunuh dengan banyak luka tusukan di sekujur tubuhnya, dan bahkan tangan kanannya sampai terpisah dari tubuhnya.
“Sudahlah Kal, aku penasaran siapa yang sudah menyebarkan rumor begitu, aku bahkan tidak percaya jika aku belum melihatnya sendiri, barangkali itu memang perbuatan manusia.” Aku bahkan rasanya tidak percaya dengan berita itu. “Jelas-jelas itu perbuatan makhluk ghoib Ben, Mbah Parja yang merupakan orang pintar di desa ini pun bilang kalau itu perbuatan penunggu jalan itu, makanya warga di sini percaya dan tidak ada yang berani melewati jalan itu jika malam tiba.” Jelas Ikal dengan nada suaranya agak meninggi, mungkin dia agak kesal kepadaku karena dari dulu hanya aku yang tidak percaya dengan mitos itu. Jika siang aku sering melewati jalan itu, tapi memang aku tidak pernah melewati ketika malam tiba. Sebagian orang pasti akan memilih memutari desa lain jika ingin ke desa seberang daripada harus melewati jalan itu, dan hingga kini walau siangpun jalan itu menjadi sepi.
“Kal, aku mau pulang dulu, ini sudah jam 4 sore.” Rumah Ikal memang berada di desa Jetis, sedangkan rumahku berada di desa Wringin. Sebenarnya jarak rumah kami dekat, hanya terpaut jarak kurang lebih 500 meter saja jika melewati jalan mistis itu. Tapi jika harus memutar lewat desa lain menghindari jalan itu, jaraknya menjadi kurang lebih 1.5 km. “Ya, ini sudah sore Ben, tapi ingat jangan lewat jalan itu.” Ikal mengingatkanku, tapi aku memang berniat akan melewati jalan itu, toh ini masih sore, masih ada beberapa jam lagi hingga malam tiba, dan aku perkirakan tidak akan sampai 30 menit untuk sampai rumah. “Masih jam 4 Kal, kau tenang saja.” Jawabku “Beni, kubilang jangan.” Ucapnya lagi, kemudian aku hanya tersenyum menanggapinya sambil berjalan pulang.
Suasana di jalan ini masih sama seperti hari biasanya jika aku melewatinya, Sepi. Baru jam 4 lebih 10 menit tapi suasananya sudah hampir seperti malam. Mendung, dan pohon pohon di sekitar jalan ini terlalu rimbun jadi nampak gelap. Aku merasakan ada air menetes di mukaku. “Ah, gerimis. Aku harus lebih cepat sampai di rumah sebelum hujan.” Begitu pikirku.
Panjang jalan itu hanya sekitar 100 meter saja. Sampai di tengah jalan aku merasa ada seseorang yang memanggil namaku. Aku mengabaikannya. Tapi berulangkali memang seperti ada yang memanggil namaku. Ah, itu hanya perasaanku saja, pikirku.
Beberapa langkah berjalan aku melihat sekelebat bayangan hitam melintas di depanku. Aku kaget. Kali ini aku merasa jantungku sudah berdebar tak karuan. Aku kemudian mempercepat laju langkahku, namun yang kudapati aku melihat sosok perempuan berdiri di depanku. Wajahnya hancur, noda darah terlihat jelas di pakaiannya. Disamping perempuan itu berdiri, tergeletak tangan yang berlumuran darah, dan aku lihat tangan kirinya memegang pisau yang ukurannya seperti pisau daging. Sosok itu mendekat kepadaku sambil mengacungkan pisaunya. Aku melotot, tubuhku kaku, dan bibirku bergetar hebat, untung melangkah mundur pun serasa ada yang memegangi kakiku.
“Si..Siapa kau?” dengan sisa keberanianku aku melontarkan kalimat tak bermutu. Mulutku sudah mulai berkomat kamit membaca doa yang sekiranya aku bisa. Sosok di depanku kemudian menghilang, aku kemudian berlari agar lebih cepat sampai rumah.
Beberapa meter lagi aku berhasil melewati jalan itu, tapi aku merasakan ada sesuatu menyentuh punggungku, saat kuraba ternyata ada pisau yang menancap di punggungku. Lama-lama aku merasa pandanganku mulai gelap, aku melihat sosok itu lagi di depanku membawa pisaunya lagi dan ia tancapkan di dadaku. Dan kini aku merasakan duniaku benar-benar gelap. Aku sudah mati.
Cerpen Karangan: Eka Yuniati Blog / Facebook: Eka Yuniati (kayun) Nama Eka Yuniati, panggil saja semesta 🙂 instagram @ekayunn28
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 12 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com