Sudah tiga hari terakhir ini, media cetak dan online mewartakan kasus pembunuhan berantai. Bermula tiga hari yang lalu, ditemukan dua sosok tidak bernyawa di dua lokasi yang berjauhan. Namun, yang menarik, ciri kedua mayat itu mirip; laki-laki, usia sekitar 30 tahun, dibunuh dengan dengan cara diracun, dan dibunuh bukan di lokasi tempat mayat itu ditemukan.
Semula, polisi dan masyarakat mengira kemiripan ciri dari kedua mayat itu hanya kebetulan belaka. Ternyata, esoknya ditemukan kembali mayat dengan ciri yang sama. Kemudian kemarin, dua hari setelah ditemukan mayat pertama, ditemukan kembali dua mayat lagi, masih sama, dengan ciri-ciri yang mirip mayat sebelumnya.
Sejak itulah, polisi dan masyarakat menyimpulkan, kelima mayat itu dibunuh oleh orang yang sama. Hebohlah kemudian masyarakat di kotaku, bahwa sekarang sedang berkeliaran pembunuh berantai. Seorang psikopat.
Siang itu aku hendak kembali ke kantor setelah istirahat makan siang, ketika tiba-tiba di seberang jalan terlihat Toni. Aku tidak mungkin salah, dia pasti Toni teman SMA, walaupun sudah berpisah sejak lulus SMA. Sepuluh tahun yang lalu.
Aku kemudian mengejarnya. “Toni! Hey Toni,” panggilku seraya menghampirinya. “Kamu Toni, kan? SMA 4 Bandung!” Dia sedikit kaget. “Andi? Kau kah Andi?” tanyanya gugup. “Iya! Masa kau lupa sama teman sekelas.” “Bukan begitu, ga ngira ketemu kamu di sini.” “Aku memang kerja di sini. Sudah tiga tahun aku tinggal di sini. Aku juga kaget melihatmu di sini. Kamu kok ada di sini?” tanyaku tak kalah kaget. “Aku sedang ada riset. Aku baru lima hari di sini,” jelas Toni. “Riset? Riset apa, emang kamu kerja di mana?” tanyaku penasaran. “Bagaimana kalau kita ketemu lagi nanti? Sekarang aku lagi buru-buru.” “Oke, aku juga harus sudah masuk kantor. Bagaimana kalau jam enam nanti?” pintaku. “Oke, di mana?” “Di rumahku saja.” Jawabku seraya menyerahkan kartu nama. “Oke. Sampai nanti.”
Pukul enam lewat, Toni memenuhi janjinya. “Kamu tinggal sendiri?” tanyanya setelah kupersilahkan duduk. “Ya. Istri dan anakku masih di Bandung. Nantilah, kalau sudah punya rumah, aku boyong ke sini.” “Jadi di sini kamu nge-kost?” “Ya … begitulah. Kamu sendiri, riset apa yang mengharuskanmu datang ke kota kecil ini?” Toni tidak segera menjawab. Dia sedikit gugup. Terlihat saat mengambil gelas dan minum. Seolah itu untuk menutup kegugupannya.
“Aku kerja di media online,” jawabnya setelah meletakkan gelas. Toni kemudian menyebutkan nama sebuah media online. “Hobimu nulis di majalah dinding rupanya kau teruskan, ya?” “Ya, aku bertugas di bagian investigasi. Rubrik kriminal. Sudah hampir empat tahun aku jadi reporter kasus-kasus kriminal.” “Wow, menarik kayaknya.” “Awalnya iya. Setahun dua tahun aku menikmatinya. Beberapa kasus aku terlibat menyelidikinya bersama polisi. Tapi lama kelamaan bosan juga.” “Lalu?” tanyaku penasaran dengan ceritanya. “Aku tadinya mau mengundurkan diri. Tapi bosku menantangku untuk menjadi penulis,” lanjutnya. “Penulis? Apa bedanya?” tanyaku lagi. “Maksudnya menulis fiksi. Bosku menantangku untuk menulis cerita bersambung di mediaku. Kalau ceritaku nanti banyak yang ‘read’, ratingnya tinggi, aku akan mendapat bonus tambahan yang lebih besar dari sekedar meliput kasus.” “Oh ya? Lalu, kau sudah mulai nulis ceritanya?” “Sudah! Sudah jalan 12 chapter. Sampai saat ini yang ‘read’ lumayan. Tapi aku belum puas. Aku harus menulis cerita yang betul-betul mirip dengan kenyataan.” “Ooh … jadi itu alasan kamu sedang riset?” tanyaku. “Ngomong-ngomong kamu nulis cerita tentang apa?” Aku makin tertarik dan penasaran.
“Pembunuhan!” jawabnya singkat. “Pembunuhan?” “Ya. Tapi tidak seperti pembunuhan yang aku temui dalam kasus-kasus selama ini. Pembunuhan dalam ceritaku ini penuh misteri. Sampai-sampai polisi tidak bisa mengungkap kasusnya, walaupun korban sudah jatuh sembilan orang.” “Sembilan?” tanyaku kaget, “Berarti itu pembunuhan berantai?” “Ya. Pembunuhan berantai sangat jarang terjadi. Bahkan selama aku meliput kasus pembunuhan, perasaan belum pernah terjadi.” Toni terlihat bersemangat menjelaskannya. “Pembaca harus menikmati cerita yang berbeda. Yang lain daripada yang lain.”
“Lalu, riset apa yang kamu kerjakan, sampai harus jauh ke sini?” tanyaku memotong penjelasannya. Toni terbatuk-batuk, terlihat gugup lagi. Tak menyangka kupotong dengan pertanyaan itu. Aku pun merasa aneh dengan perubahan sikapnya yang mendadak itu. Tapi keanehanku terganggu saat telepon berdering. Aku pun bangkit, setelah memberi kode pada Toni untuk minta izin untuk menerima telepon. Aku hampiri gagang telepon di atas kulkas. Rupanya dari kantor, mengkonfirmasi beberapa pekerjaan tadi siang.
Aku kembali menghampiri Toni. Dia sedang menutup tas tangannya saat aku duduk kembali. Dia pun sudah tidak terlihat gugup lagi. “Pertanyaanku belum dijawab ya? Jadi, riset apa?” tanyaku Kembali. “Yaa … riset yang bisa mendukung jalan ceritaku,” Toni mengambil gelas dan meminumnya. Aku pun turut mengambil gelasku dan minum. Lalu lanjutnya, setelah meletakkan gelasnya, “Supaya aku sebagai penulis bisa lebih menjiwai.” “Maksudmu?” Aku belum mengerti maksud dari riset yang dia jelaskan.
Toni tidak menjawab, dia malah minum lagi. Aku pun jadi terbawa, kuminum lagi minumanku. Namun, setelah tegukan ketiga kepalaku pusing. Pandanganku kabur. Toni terlihat senyum, lebih tepat menyeringai, saat semakin kabur bayangan wajahnya di mataku. Sampai kemudian semua gelap.
Cerpen Karangan: Urip Widodo Blog: uripwid.blogspot.com