Pagi ini, Ian memandang halaman rumahnya, tepatnya menatap tukang kebun asing yang sibuk merapikan tanaman hias disana.
“Bukankah seharusnya Tuan Maden yang membersihkan kebun ini? Kenapa nenek memanggil tukang kebun lain?” tanyanya. “Yah, tidak biasanya. Maden tak kunjung datang. Aku tidak tahan melihat halaman ini penuh dengan tanaman yang tak beraturan, jadi kupanggil saja orang lain.” jelas sang nenek yang tengah sibuk membelai kucing putih di pangkuannya. Ian hanya mengangguk-angguk.
Tak lama terdengar suara langkah sepatu di belakang mereka berdua. Nampak seorang perempuan muda menenteng tas kecil, “Aku akan pergi ke perpustakaan untuk beberapa menit, kau ikut, Ian?” tawarnya. Sekali lagi, Ian hanya mengangguk menanggapi perempuan itu, kakaknya. “Pastikan kau membawa makanan kucing saat pulang nanti, Elisa!” pinta neneknya. “Tentu!” balas mereka berdua bersamaan.
Cuaca cukup sejuk pagi ini, menjelang siang, namun tak begitu banyak orang memenuhi jalanan. Ian berjalan sembari menenteng karton pembungkus berisi makanan kucing, sementara Elisa mendekap beberapa buku yang ia idamkan dari perpustakaan tadi. “Akhirnya aku bisa meminjam buku ini setelah berminggu-minggu!” ujar Elisa sembari tertawa kecil. “Ya, ya. Kau sudah mengatakannya, nona kutu buku.” goda Ian pada kakaknya.
Mereka terus berjalan, hingga mata Ian menangkap sesosok gemuk yang ia kenal tengah duduk sendirian di kursi sebuah taman, “Tuan Maden!” Tuan Maden, si tukang kebun andalan mereka. Orang yang Ian panggil menoleh dan tersenyum sambil melambaikan tangannya, mengisyaratkan mereka berdua agar mendekat. “Hei, kalian,” sapa pria gemuk itu.
“Kenapa anda tidak datang pagi ini? Nenek menunggumu tadi,” tanya Elisa. Si tukang kebun itu tersenyum dan menjawab, “Maaf, aku sungguh minta maaf karena tidak bisa membersihkan halaman kalian. Aku benar-benar sedang tidak bisa pergi.” “Tidak bisa pergi? Tapi anda pergi menuju taman ini.” tanggap Ian sembari menatap pria berkaos putih dan berompi coklat usang itu. “Ya, karena aku harus mengurus beberapa urusan sebelum terlambat, agar aku bisa merasa tenang.” jelas Maden santai, sambil menyisir rambut berubannya. Elisa menatap pria itu dengan sedikit simpati. “Anda memerlukan bantuan untuk urusan ini?” tanya Elisa. Maden nampak berpikir sejenak, dan dengan tenang mengatakan, “Aku tak bisa mengabaikan bantuan kalian,”
“Bisakah kalian pergi ke rumahku? Aku ingin kalian mengambil rompi coklatku dan sebuah botol berisi pil.” tanyanya. Ian sedikit memiringkan kepalanya, “Ada rompi lain? Kukira anda hanya memiliki satu rompi,” ujarnya sambil menunjuk rompi coklat yang dikenakan pria itu, yang mereka tahu, Tuan Maden hanya memiliki sebuah rompi coklat kesayangan. Yeah, sudah lama, mereka saling mengenal dengan cukup baik, hingga mereka hampir bisa mengerti kebiasaan satu sama lain. “Dan botol pil? Seperti apa bentuknya, warnanya?” tanya Elisa. Wajah Maden nampak lega. “Botol putih. Hanya ada satu botol pil di rumahku, aku meletakannya diatas televisi.” jelas Tuan Maden. “Baiklah. Tapi untuk apa?” Ian penasaran. “Sekedar untuk berjaga-jaga. Aku sedang menunggu teman lamaku disini, akan aneh jika ia tiba dan aku malah tidak ada disini. Karena itu aku minta tolong pada kalian. Oh ya, masuk saja ke kamarku untuk mengambil rompi miliku.” terang pria itu.
Tak lama Maden menepuk dahinya, mengusap wajahnya seperti orang bingung, “Astaga, kenapa aku tidak mengunci pintu rumahku tadi?!” sesalnya. “Hah? Anda lupa untuk mengunci pintu? Baiklah, baik. Kami akan segera kesana.” tegas Elisa. Si tukang kebun itu mengangguk lega, “Baiklah, aku menunggu.”
Elisa dan Ian berjalan beriringan dengan sedikit cepat, melakukan apa yang diminta Tuan Maden. “Pil? Aku tidak tahu jika Tuan Maden sakit.” ucap Ian memecah keheningan. “Tidak ada yang tahu diantara kita.” jawab Elisa, ia tampak berpikir.
Mereka mendekat ke arah sebuah rumah yang usianya nampak cukup tua, sebuah papan kayu kecil bertuliskan ‘Maden’ menggantung di pintunya. Sudah lebih dari lima kali mereka mampir ke rumah ini. Cahaya matahari sedikit menyinari teras.
Hanya ada sebuah rumah yang menjadi tetangga Maden, jaraknya tidak begitu dekat. Tidak ada siapapun, tidak ada aktivitas apapun di sekitarnya. Elisa kemudian mendahului Ian. Dengan perlahan, perempuan itu membuka pintunya. Elise terkekeh, “Hei, benar-benar tidak dikunci.” Kakak beradik itu memasuki rumah Maden.
Beberapa furnitur sederhana tertata rapi di dalamnya, terdapat jam menunjukkan 10.05 AM. Ian meletakkan makanan kucing yang ia bawa tadi diatas meja kecil.
Tak lama Ian melirik sebuah televisi yang ada di depan sebuah sofa dan meja tua, matanya menangkap sesuatu yang ia cari. “Ah, ini pilnya!” ujarnya. Ian menggenggam botol putih berisi pil itu. “Aspirin” gumam Ian membaca tulisan yang tertera di botol itu.
“Kita ambil rompinya,” ucap Elisa sedikit tergesa. Ia masih mendekap buku-bukunya, seolah buku itu hanya akan aman jika berada di tangannya. Mereka berjalan lebih ke dalam, mendekati sebuah pintu kamar. Elise memegang knop pintunya, sambil menoleh kearah Ian. “Hanya ada satu kamar yang digunakan, kan? Akan lebih mudah untuk kita menemukan rompi–” “AAAHH!” Elisa dan Ian berteriak. Buku-buku di tangan Elisa berjatuhan.
Teriakan keluar begitu saja setelah Elisa membuka pintu kamar. Nafas mereka memburu, kaki mereka bergetar. “Astaga!” jerit Elisa sambil menyembunyikan wajahnya di pundak adik laki-lakinya. Mata Ian melebar, tak percaya apa yang mereka lihat.
Di dalam kamar itu, di depan mereka, tergeletak seorang pria gemuk beruban, tergeletak dengan kaos putih dan rompi coklat usang terpasang di tubuhnya pria itu, pria yang mereka kenal, Maden. “Bagaimana bisa?!” bingung Ian. Ia baru saja berjumpa dengan pria itu, dan sekarang apa?! Ia malah ditemukan tergeletak di rumahnya?
“T- Tuan Maden? Tuan?” Ian berjongkok di samping tubuh yang tergeletak, ia menekan nadi Maden, tak ada detak nadi. Ia lalu meletakkan jari tangannya di bawah hidung pria itu, tak ada hembusan napas, terakhir, Ian tak merasakan detak jantung Maden. Kulit pria itu dingin.
“Di-dia… bagaimana?” tanya Elisa dengan suara bergetar. Ian hanya menggeleng, “Aku tak bisa merasakan napas dan detak jantungnya, tubuhnya mendingin.”
Elisa memberanikan diri untuk mendekat, sebuah benda menarik perhatiannya. Sebuah pisau. Pisau itu tergeletak tepat di samping tangan dingin Maden. “Apa-apaan pisau ini? Ti- tidak ada luka apapun di tubuh Tuan Maden!” panik perempuan itu. “Ini bukan pembunuhan, kan?” gumam Ian.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki masuk, disusul teriakan seseorang memanggil, “Maden! Kenapa kau mengabaikan ketukkanku? Aku kembali! Aku akan mengambil barangku—” ucap seorang pria terputus, matanya melebar, mulutnya menganga saat melihat dua anak muda menatapnya dengan kaget sambil berjongkok di dekat sebuah tubuh yang tergeletak.
“Apa yang kalian lakukan?!”
—
Beberapa orang berseragam menggotong tubuh Maden dan membaringkannya diatas stretcher. Mereka memasukannya ke dalam mobil putih bertuliskan ‘ambulance’.
Tampak dua orang polisi bercakap-cakap, berdiskusi rumah itu. Semua dimulai dari hal sederhana, dimulai ketika Maden meminta tolong pada mereka.
“Apakah polisi itu akan menganggap kami gila? Maksudku, kami baru saja bertemu dengan Tuan Maden, atau tepatnya hantu Tuan Maden? Dan tidak lama kami menemukannya dalam keadaan tak bernyawa, dengan pakaian yang sama!” lenguh Ian pada pria yang ‘memergoki’ mereka berdua tadi.
Kejadian yang sulit diterima akal baru saja terjadi. Elisa yang berdiri di samping Ian masih menunjukkan ekspresi kosongnya. “Tadi… anda bilang akhir-akhir ini Tuan Maden kerap mengeluh karena melihat sesuatu, Tuan Jackson?” tanya Elisa perlahan pada pria tadi, Jackson, tetangga Maden.
Pria itu menghela napas sejenak dan menjawab, “Ya, begitulah. Maden bercerita padaku, ia kerap melihat orang lain di dalam rumahnya. Aku kesini hampir setiap hari, dan akhir-akhir ini ia kerap berbicara aneh! Dia berteriak, ‘hei, ada orang di sampingmu! Orang jahat!’. Kau tahu? Maden mengatakan itu sambil melemparkan sebuah vas ke arah sampingku, entah apa yang menjadi sasarannya. Hah, itu membuatku takut,” jelas Jackson pelan. “Mungkinkah dia mengalami halusinasi? Sebab dia semakin khawatir dengan kesehatannya, hingga ia kesulitan untuk tidur karena memikirkan kondisinya.” sambungnya.
Elisa dan Ian terdiam, memikirkan ucapan pria itu. “Tentang kesehatan Tuan Maden… anda bilang dia memiliki penyakit serangan jantung?” tanya Ian, hampir berbisik. “Karena kami menemukan sebotol pil aspirin di dalam, dan seingatku aspirin digunakan untuk menghambat penggumpalan darah yang bisa mencegah serangan jantung.” sambung Elisa.
Jackson menghela napas panjang, tak habis pikir dengan kejadian yang terjadi, “Belum lama ini Maden memang dinyatakan memiliki serangan jantung.” ungkapnya. “Omong-omong, aku minta maaf karena berteriak pada kalian tadi. Aku terlalu kaget, aku baru saja kembali dari dua hari urusan bisnis dan malah disambut dengan Maden yang tak bernyawa.” sesal Jackson pada dua anak muda di depannya. Ian dan Elisa mengangguk, “Tidak masalah, siapa juga yang tidak akan terkejut?”
Mereka kembali hening, tak lama, kakak beradik itu saling bertukar tatapan. Teringat akan pisau dan aspirin, obat serangan jantung. “Mungkinkah Tuan Maden mengalami halusinasi karena kesulitan tidur?” tanggap Ian. “Dan pisau itu, bisa saja ia gunakan untuk menyerang seseorang yang menjadi halusinasinya,” kini Elisa yang mulai tenang pun ikut bersuara. “Dan saat akan melemparkan pisau ke arah sosok halusinasinya, Tuan Maden mengalami serangan jantung. Karena itulah tak ada luka apapun di tubuhnya!” tegasnya.
“Bisakah begitu?”
Pambajeng L. Klaten, Jawa Tengah.
Cerpen Karangan: Pambajeng L. Facebook: facebook.com/profile.php?id=100058300676365