Hari itu, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Rasanya seperti mimpi! Aku tidak ingin melihat ini! Aku ingin bangun!. Siapapun tolong keluarkan aku dari sini!.
—
“Risya, bangun waktunya sekolah”.
Aku mengerjapkan mataku sebentar, melirik jendela dengan tirai terbuka. Mengernyit sebagai refleks dari sinar matahari, aku melirik wanita paruh baya di sebelahku. Aku mengusap mata lalu menyapa ibuku. “Pagi ma..” Ibu membalas sapaanku lalu menyuruhku untuk mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
“Untung aja PR sudah selesai.” Aku bergumam seraya memasukan beberapa buku pelajaran sesuai dengan jadwal sekolah, lalu berlari menuju meja makan untuk sarapan. Sesampainya disana aku bertemu dengan adik laki-lakiku yang super jahil sedunia. “Wah, kakak kenapa bangunnya cepat? Biasanya bangunnya siang banget.” Ia meledekku dengan senyuman miring, benar-benar mengesalkan. Aku menggembungkan pipiku, “Kau pikir cuma kau yang bisa bangun pagi?”. Adikku Ali tertawa remeh, segera mungkin ia menyantap roti panggangnya yang sudah tersedia di atas meja. “Sudah Ali, jangan mengganggu kakakmu, makan yang benar!” Ali yang mendengar itu menunduk sambil mengunyah roti panggang di tangannya. “Iya ma, maaf..” itu ucapnya, walaupun sedikit menggerutu. Aku tertawa dalam hati, rasakan itu, siapa suruh meledek pagi-pagi?.
Setelah berpamitan, aku mulai berangkat ke sekolah sedangkan ibuku pergi ke butik untuk bekerja. Pekerjaan ibuku sebagai seorang designer memang tidak mudah, ia selalu merancang desain pakaian di rumah. Maka dari itu, dibuatlah sebuah ruangan yang berfungsi untuk ruang kerja ibuku. Tadinya ruangan itu bekas gudang lama, barang-barang dan kardus menumpuk secara asal-asalan. Aku tidak tahu pasti itu bekas gudang atau apa karena memang setelah pindah rumah kesini seminggu yang lalu keluarga kami tidak pernah menggubris ruangan itu, langsung saja dijadikan ruang kerja. Dan anehnya di antara banyak tumpukan kardus yang menggunung, ada 3 buah patung manekin yang telah usang. Warnanya yang semula putih mulai berdebu menambah kesan yang suram. Ibuku tidak menyia-nyiakan patung itu, ia mensejajarkan mereka dengan patung-patung yang ia miliki dan menggunakan mereka untuk uji coba pakaian yang telah dibuat.
Entah mengapa, aku merasa tidak enak hati ketika melewati ruangan itu. Sebenarnya sudah bersih, tetapi karena hawanya yang masih lembab makin menambah kesan yang sedikit seram. Setiap ingin berangkat sekolah ataupun keluar rumah aku selalu melewatinya, karena letaknya memang di ruang tamu dekat pintu luar. Dan hari ini sialnya aku harus melewatinya lagi.
Ibuku ada jadwal kerja setiap harinya, beliau hanya membuat desain setiap hari kamis atau sabtu, sisanya ruang kerja ini ditinggalkan, kosong sepanjang waktu. Aku melirik ke dalam, melihat lampu ruangan yang berwarna kuning temaram masih menyala disana. Ibuku bilang jangan membuang listrik, kami harus menghematnya apalagi kalau sudah tinggal di rumah sebesar ini. Dengan sedikit keberanian, aku masuk kedalam, melangkahkan kakiku yang masih terbalut kaus kaki pada lantai ruangan yang terasa dingin. Sedikit berlari, aku menuju saklar lampu yang terletak di pojok, setelahnya aku menekan tombol yang ada disana.
Setelah lampu mati, aku merasakan hawa tidak enak menyelimuti. Kulirik manekin tua di sebelahku, itu adalah manekin yang tinggal di rumah ini sebelum aku pindah. Ia tidak memiliki mata, wajahnya rata. Tapi mengapa aku merasa seperti ditatap dari samping?. Ah, sudahlah! Lebih baik aku pergi saja dari sini, untuk apa mengkhayal tidak jelas dipagi buta?. Sesegera mungkin aku mengambil tasku, memakai sepatu, dan pergi ke sekolah.
Jam menunjukan pukul 15.23, aku mengayuhkan sepedaku agar cepat sampai ke rumah. Tubuhku penuh keringat, aku lelah karena ekskul basket tadi siang.
Beberapa menit kemudian aku sampai di depan rumahku, kuparkirkan sepedaku dan masuk ke dalam rumah besar yang telah aku tempati bersama keluargaku seminggu lalu. “Aku pulang~”. Tidak ada yang menjawab, sampai akhirnya aku mengernyitkan alis. “Kemana anak itu?”. Ya, kemana Ali? Biasanya ketika aku baru pulang ia selalu meledekku bahkan menyambutku dari kamarnya. Tapi hari ini tidak, rumah serasa sepi melompong. Aku mengendikkan pundak, mungkin ia sedang bermain nintendonya di kamar, sehingga tidak mendengarku.
Aku melangkah untuk memasuki rumah dan lagi-lagi… Ruangan itu. Lampunya yang gelap semakin membuatku merinding. Dan yang aku lihat adalah pintu kayu yang sudah reot itu sedikit tertutup, bukankah pintu ini rusak sehingga tidak bisa tertutup?. Aku semakin takut, dengan cepat aku berlari kecil menuju dapur untuk mengambil minum.
Saat sampai di dapur, aku melihat piring bekas di atas meja. Dengan malas aku menaruhnya di tempat cuci piring, “pasti anak itu.” Aku mengira Ali habis makan, biasanya setelah pulang dari TK ia langsung mengambil piring dan makan. Setelah minum, aku langsung pergi mandi.
Sore-sore seperti ini, cocok untukku untuk membaca novel di kamar. Tapi rasanya membaca terlalu sepi kalau tidak ada cemilan. Dengan ide cemerlang, aku membuka pintu kulkas, melongok kedalam untuk menemukan cemilan yang aku beli tadi malam. Niatnya untuk kumakan besok. Dan yang aku lihat, puding coklat itu tidak ada di tempatnya. Dimana puding itu? Apakah Ali yang mengambilnya?. Iissh, aku berjanji akan menjewernya.
Belum selesai keherananku, aku menginjak sesuatu yang lengket. Eh.. apa ini?. Berwarna coklat dan… Ini puding?. Aku mengedarkan pandangan, remahan puding itu membentuk jalur menuju ke suatu tempat. Tanpa sadar aku mengikuti arah puding itu, sampai pada suatu ruangan. Ruangan kerja ibuku. Dan yang aku lihat, potong besar puding terakhir jatuh di antara pintu.
Aku tertegun, dengan rasa penasaran yang bergejolak, aku membuka pintu itu sedikit. Gelap, sampai aku melihat deretan patung manekin yang menyeramkan itu. Langkahku tidak berhenti sampai disitu, tubuhku bergerak dengan sendirinya berjalan kedalam dan yang aku lihat adalah….
“A-ali?..” Ali disana dengan mulut ternganga, tubuhnya tergeletak di lantai. Air liur keluar dengan jelas dari sela-sela mulutnya. Matanya yang melotot menatapku lalu tangannya yang bergetar mengibas kearahku seakan memberi kode aku harus pergi. “P-pergi.. kakak–pergi!-” Aku berteriak kencang, dengan cepat aku memeluk Ali. “Ali apa yang terjadi?!” Ali tidak menjawab, hanya terdengar nafas tersengal dari mulutnya.
Blam! Pintu tertutup dengan sendirinya, aku terpaku. “Ali.. tunggu disini”. Dengan cepat aku berlari ke arah pintu, berusaha membukanya tapi mustahil. Apakah ini terkunci?!. “Keluarkan kami! Tolong! Mama!!” Aku menjerit sambil menggedor-gedor pintu. Percuma, pintu sudah tertutup dan tidak ada siapa-siapa di rumah selain kami.
“Kakak!” Aku terkejud, menoleh ke belakang menatap Ali yang sudah tercekik oleh salah satu patung manekin. Jatungku berdegup tidak teratur, aku langsung berteriak memanggil adikku. “Ali! Ali!” Kami saling bersahut-sahutan dalam ruangan sempit. Dan yang aku lihat, beberapa manekin lain bergerak ke arahku. Wajah mereka yang datar, tiba-tiba berbentuk seringai dengan gigi bertaring di mulut mereka. Aku menjerit lagi, menggedor pintu sambil menangis. “Mama! Mama! Tolong!!! Huaaaaaa–!”.
Dan yang aku rasakan adalah tangan dingin menyentuh pundakku, lalu tangan lainnya mencengkram leherku, dan yang lainnya menarikku ke belakang. “Mamaaaa!” “Kakak! Kakak!!!”.
Dan hari itu menjadi hari yang paling mencekam untukku.
—
Pintu rumah terbuka, menampakan seorang wanita masuk ke dalamnya. “Risya? Ali?” Ia memanggil anaknya dari bawah.
Hening, tidak ada yang menjawabnya.
“Mungkin mereka sudah tidur.” Ia melangkah, tepat di depan ruang kerjanya, membuka sedikit pintunya, menyalakan lampunya. Dan yang ia lihat adalah… “Bersih sekali, apakah Risya yang membersihkannya?”.
Karena terlalu lelah, ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan menyapa anak-anak. Tetapi ada sedikit keanehan. Ia melirik ke bawah ketika menginjak sesuatu di tengah ruangan. “Mobil mainan Ali?”. Mobil mainan merah itu tergeletak di tengah ruangan, jelas-jelas itu milik anak laki-lakinya. Kepalanya menoleh menatap keanehan sekali lagi yang ada di belakangnya.
“Patung ini… kenapa posisinya terlihat aneh?”.
-tamat-
Cerpen Karangan: Seren Zia