Lamia merapatkan jaket tebal di tubuh kurusnya karena angin yang berembus malam ini tidak main-main dinginnya. Ia mempercepat langkah kaki menuju rumah. Masuk ke rumah adalah satu-satunya hal yang diinginkannya sekarang.
Tangannya mengambang di udara ketika ia melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Bau amis menguar kuat dari pintu yang sedikit terbuka itu sampai-sampai membuatnya mual. Bau amis itu semakin kentara saat angin musim dingin membawanya, memaksa masuk ke hidung Lamia. Bau amis yang Lamia yakin adalah bau darah itu semakin menguat seiring dengan pintu yang dibuka lebih lebar.
Lamia tidak mendapati siapa-siapa di ruang tamu. Juga tidak ada hal mencurigakan di sana. Namun, saat hendak menuju dapur pandangannya terkunci pada dua sosok yang terbujur kaku di lantai di dekat pintu kamar. Ibu dan adiknya. Lamia berlari menghampiri. Sesaat kemudian berteriak histeris.
Dua perempuan itu sudah meregang nyawa dengan leher tersayat yang mengeluarkan banyak darah. Menggenang di lantai marmer putih. Mata mereka ditutup dengan kain hitam, mulut mereka disumpal dengan kain berwarna hitam juga, sedangkan tangan dan kaki terikat kuat dengan tali jemuran. Lamia menangis sejadi-jadinya. Meraung. Memanggil-manggil ibu dan adiknya.
Ratapannya didengar oleh para tetangga, semenit kemudian mereka sudah memenuhi rumah Lamia yang kecil itu. Tentu saja para tetangga sangat terkejut. Mereka saling berbisik, entah apa yang mereka bisikkan. Sesaat mereka mengangguk lalu menggeleng, lalu mengangguk lagi begitu beberapa kali sampai polisi datang.
“Aku pergi ke acara reuni SMA sore tadi. Baru pulang lima belas menit yang lalu, tepatnya jam sepuluh lewat lima belas menit.” Lamia menjelaskan panjang lebar kepada dua polisi itu. “Mungkinkah ada seseoarang yang menaruh dendam dengan ibu dan adikmu?” Lamia menggeleng. “Mereka berdua orang baik. Saya yakin tidak ada orang yang dendam.”
Kemudian ia teringat ayahnya. Ayahnya adalah seorang pengangguran dan pecandu alkohol kelas berat. Laki-laki itu sering keluar pada malam hari. Mabuk-mabukan sampai pagi. Siang harinya ia gunakan untuk tidur, mengumpulkan tenaga agar malam bisa mabuk seperti biasa. Jika sudah mabuk, laki-laki itu mulai meracau. Saat sampai di rumah ia mengamuk. Meminta uang kepada mereka bertiga, lalu, selalu saja laki-laki itu memaki ibunya yang berakhir dengan beberapa tamparan yang mendarat di pipi sang ibu. Semua itu diceritakannya pada kedua polisi- yang salah satu polisi- sedang sibuk mengamati mayat.
“Apakah ayah saya yang membunuh mereka?” tanya Lamia geram. Kedua polisi itu menggeleng kecil. Polisi yang mengamati mayat menggelang lalu menjawab, “Kami belum menemukan petunjuk-” perkataannya terpotong ketika melihat secarik kertas tersembul dari kantong baju ibu Lamia. Laki-laki besar itu mengambilnya. Kertas berukuran kecil itu cukup lusuh, hampir robek menjadi dua. Kedua polisi tadi mengamati dengan cermat, sesaat kemudian menyodorkan kepada Lamia. “Anda tahu tulisan siapa ini?” Wajah Lamia berubah pucat ketika kertas lusuh itu berpindah ke tangannya. Jelas sekali tulisan yang berbunyi: Mati saja! Kalian tak pantas hidup! adalah tulisan tangan ayahnya. Lamia memberitahukan dua polisi itu. “Apakah ayah saya yang membunuh mereka? Benar ayah saya? Iya, kan? Pasti. Pasti. Ini tulisan ayah saya. Siapa lagi yang tega menghabisi nyawa keluarganya sendiri selain laki-laki gila itu.” Lamia berjalan mondar mandir. Tangannya meremas kertas itu sampai menjadi bulatan kecil. “Ayah saya adalah pembunuhnya! Kalian harus segera menangkapnya dan balaskan kematian ibu dan adik saya!” Dua polisi itu pamit setelah mereka menenangkan Lamia dan mengatakan akan mencari ayahnya sampai dapat. Lamia mengangguk pasrah lalu mengucapkan terimakasih pada keduanya.
Setelah polisi pergi bersama kedua mayat itu, Lamia hanya terduduk lesu di lantai berhadapan dengan noda darah yang masih bertengger di sana. Lamia kembali terisak. Ia mengutuk ayahnya dalam hati. Empat orang tetangga yang masih setia di sana berusaha menenangkan Lamia. “Ikhlaskanlah.” “Ini adalah kehendak Tuhan.” “Berdoalah semoga pembunuhnya cepat tertangkap.” Lamia memejamkan mata. Mendengar kata-kata sampah itu membuatnya sakit kepala. Ia akan merasa lebih baik jika para tetangga itu diam saja. Tidak usah terlalu menampilkan rasa simpati padanya. Rasa simpati yang Lamia yakin seratus persen dibuat-buat.
“Kasihan sekali. Ibu dan adiknya dibunuh. Ayahnya pasti sedang mabuk entah dimana.” “Siapa pelakunya?” “Tentu saja ayahnya” “Kupikir bukan.” “Mengapa tidak? Ayahnya punya tabiat sangat buruk. Mabuk-mabukan tiap hari dan suka main tangan. Aku tidak heran kalau dia yang membunuh istri dan anaknya.” “Tidak mungkin laki-laki itu bisa membuhuh istri dan anaknya. Ia takkan mampu menyayat leher serapi itu. Berjalan saja ia sempoyongan. Hahaha.” “Benar sekali.” Tawa para tetangga lepas begitu saja membentur lantai dan memenuhi rumah yang dingin karena pintunya dibiarkan terbuka. Lamia menggeram tertahan, seharusnya yang mati adalah para tetangganya ini. Mulut mereka bahkan lebih kotor dari pada tempat sampah di seberang jalan.
Belum selesai Lamia mengutuk tetangga dalam hati, ponselnya berdering. Temannya yang tadi bertemu dengannya di acara reuni menelepon. Dengan ragu Lamia menjawab. “Mia, seorang warga menemukan mayat mengapung di pinggir sungai. Aku mencoba merapat ke sana dan aku mendapati wajah mayat itu adalah wajah yang kukenal,” kata temannya yang sontak membuat Lamia gugup. Gadis itu menggigit bibirnya. Lalu suara temannya terdengar lagi. “Sepertinya mayat itu ayahmu. A-aku tidak begitu yakin, sih. Bisa saja bukan, kan? Jadi maukah kau kemari dan memastikannya?” “Ayahku?” ulang Lamia. “Wajahnya mirip dengan wajah ayahmu. Namun sumpah, aku tidak yakin dengan ingatanku.”
Lamia langsung bangkit dan bergegas memanggil taksi kemudian pergi menuju sungai yang dimaksud oleh temannya. Sungai itu terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Perlu waktu tiga puluh menit perjalanan dengan mobil jika jalanan lengang seperti sekarang.
Lamia sampai tepat tiga puluh menit kemudian, polisi sudah tiba jauh sebelum dirinya. Setelah membayar tip taksi Lamia hanya berdiri di pinggir jalan. Matanya menatap kerumunan manusia berdiri di depan bentangan garis berwarna kuning, garis polisi. Para polisi sibuk mengamankan warga yang mencoba menerobos, masuk melewati garis kuning itu.
“Apa yang terjadi padanya?” “Entahlah! Sepertinya bunuh diri.” “Mungkin jatuh dari jembatan karena mabuk berat.” “Sepertinya meninggalnya sudah lama.” “Mungkin kemarin malam.” “Ya, ya. Mayatnya baru ditemukan mengapung oleh seorang pemancingkan?” “Ya benar.” Para warga yang berdiri agak jauh dari mayat saling menimpali satu sama lain. Lamia yang mendengar itu hanya mendengus kecil, terukir senyum tipis yang tidak terlalu kentara pada wajahnya. Entah ia tersenyum karena apa.
Lamia hanya menatap mayat yang telah ditutupi kain dari kejauhan. Matanya yang sedari tadi menyiratkan kesedihan kini telah berganti. Ada rasa puas yang terpancar di sana. Ia lalu pergi menjauh. Baru beberapa langkah, para warga di belakangnya berteriak saat kain penutup itu tertiup angin dan menampilkan setengah badan si mayat.
“Lihat! Lihat lehernya!” “Lehernya menganga!” Tanpa menoleh, lagi-lagi Lamia tersenyum. Kali ini lebih lebar menampilkan barisan giginya. Seseorang menatap Lamia. Lamia menyadari itu lalu berjalan menghampirinya. “Terimakasih.” kata Lamia sambil menepuk pundak orang yang berbaju hitam itu. Orang itu mengangguk, ia menyerahkan sesuatu kepada Lamia. Sebuah foto keluarga seukuran telapak tangan dengan sedikit bercak darah di pinggirnya. Di foto itu tampak tiga orang yaitu ibu, ayah dan adiknya yang tengah tersenyum bahagia.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea IG: @zaijeelea